Artikel Hukum

 

 

 

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan tersebut untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

Dasar hukum somasi diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa somasi harus dilakukan sebelum tindakan hukum dilakukan. Pasal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Pasal 1238 KUH Perdata sebagaimana berbunyi:

"Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."

Somasi dapat digunakan dalam berbagai macam kasus, antara lain:

1.    Pelanggaran kontrak Jika terjadi pelanggaran kontrak, pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran untuk meminta ganti rugi atau menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

2.    Perkara pidana Dalam kasus perkara pidana, somasi dapat digunakan sebagai tahap awal sebelum mengajukan laporan ke pihak kepolisian. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan tindakan merugikan untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

3.    Perselisihan bisnis Somasi juga dapat digunakan dalam perselisihan bisnis. Jika terjadi perselisihan antara dua perusahaan, salah satu pihak dapat mengeluarkan somasi kepada pihak lain untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Dalam praktik hukum, somasi biasanya digunakan dalam ranah hukum perdata dan pidana untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan.

Dalam hukum perdata, somasi digunakan untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melanggar kontrak atau tindakan yang merugikan dalam sebuah perjanjian. Somasi ini diberikan oleh pihak yang dirugikan dengan tujuan untuk meminta pihak yang melakukan pelanggaran untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi, sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar.

Sementara itu, dalam hukum pidana, somasi dapat digunakan sebagai upaya terakhir untuk menghindari pengadilan atau tindakan hukum yang lebih besar. Somasi dalam hukum pidana dikeluarkan oleh korban atau kuasanya untuk memberikan peringatan kepada pelaku tindak pidana untuk menyerahkan barang bukti atau mengembalikan hak milik korban, atau memberikan ganti rugi sebelum proses pidana dilanjutkan.

Dalam kedua ranah hukum tersebut, somasi memberikan kesempatan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan memberikan perbaikan atau ganti rugi sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pihak yang menerima somasi untuk merespons dengan baik dan menindaklanjuti dengan cepat, agar masalah dapat diselesaikan secara damai.

Solusi Saat Mendapatkan Somasi

Jika Anda menerima somasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai solusi, antara lain:

1.    Cari tahu dan pahami isi somasi Sebelum mengambil tindakan apapun, pastikan Anda memahami dengan baik isi somasi yang diterima. Baca dengan teliti dan cermat setiap poin yang disebutkan dalam somasi.

2.    Tanggapi somasi dengan bijaksana Setelah memahami isi somasi, tanggapi dengan bijaksana dan jangan terpancing emosi. Usahakan untuk menyelesaikan masalah secara damai dan hindari konflik yang lebih besar.

3.    Konsultasikan dengan pengacara Jika Anda kesulitan atau tidak memahami somasi yang diterima, konsultasikan dengan pengacara untuk mendapatkan saran dan bantuan yang tepat.

4.    Segera tindak lanjuti somasi Jangan menunda-nunda untuk menindaklanjuti somasi yang diterima. Jika memang terdapat kesalahan atau tindakan yang merugikan, segera lakukan perbaikan atau ganti rugi yang diminta dalam somasi tersebut. Jangan biarkan masalah berlarut-larut dan berujung pada tindakan hukum yang lebih besar.

  1. Jangan mengabaikan somasi Jangan mengabaikan somasi yang diterima. Jika Anda mengabaikan somasi, pihak yang mengeluarkan somasi berhak untuk mengambil tindakan hukum yang lebih besar dan Anda akan berada dalam posisi yang lebih sulit untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi. Somasi dapat digunakan dalam berbagai kasus, seperti pelanggaran kontrak, perkara pidana, dan perselisihan bisnis. Jika Anda menerima somasi, penting untuk memahami isi somasi dengan baik, tanggap dengan bijaksana, konsultasikan dengan pengacara jika perlu, tindak lanjuti dengan cepat, dan jangan mengabaikan somasi yang diterima. Dengan menyelesaikan masalah secara damai melalui somasi, dapat menghindari konflik yang lebih besar dan menghemat biaya dan waktu yang diperlukan dalam proses hukum.

Dalam menangani somasi, penting untuk memiliki bantuan dari pengacara yang berpengalaman dan ahli dalam hukum perdata. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan masalah hukum Anda, firma hukum kami siap membantu Anda. Kami memiliki tim ahli pengacara yang dapat membantu Anda dalam menangani somasi dan memberikan solusi terbaik untuk masalah hukum Anda. Jangan ragu untuk menghubungi kami dan mempercayakan masalah hukum Anda kepada kami. Kami akan memberikan yang terbaik untuk Anda.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan yang perlu dikonsultasikan atau membutuhkan bantuan profesional dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.

---

Berikut beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan somasi:

  1. Apa itu somasi dalam hukum perdata?
  2. Apa saja dasar hukum penggunaan somasi dalam penyelesaian sengketa?
  3. Bagaimana cara memberikan somasi kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan?
  4. Apa yang harus dilakukan jika menerima somasi?
  5. Apa saja jenis kasus yang dapat diselesaikan melalui somasi?
  6. Apa konsekuensi hukum jika mengabaikan somasi yang diterima?
  7. Kapan waktu yang tepat untuk memberikan somasi dalam kasus sengketa?
  8. Apakah somasi selalu dapat menyelesaikan masalah hukum secara damai?
  9. Apa peran pengacara dalam penanganan somasi?
  10. Apakah ada sanksi yang dapat diberikan oleh pengadilan jika pihak yang menerima somasi tidak menindaklanjuti somasi tersebut?





 

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 

Penadahan adalah suatu tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Penadahan diartikan sebagai tindakan membeli, menyembunyikan, menyimpan, mengangkut, atau menyediakan barang hasil kejahatan, tanpa memperhatikan asal usul barang tersebut.


Di Indonesia, penadahan diatur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "Barang siapa dengan sengaja membeli, menerima, atau menyembunyikan barang-barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."


Penadahan termasuk dalam tindakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat dan pihak yang kehilangan barang. Dalam konteks bisnis, penadahan dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan yang kehilangan barang, karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli kembali barang yang hilang. Selain itu, penadahan juga dapat menyebabkan kerugian moral dan sosial, karena tindakan ini dapat memperkuat praktik kejahatan dan korupsi.


Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penadahan, salah satunya dengan menerapkan sistem pengawasan yang ketat terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku penadahan, baik berupa pidana penjara maupun denda.


Dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap penadahan masih banyak menghadapi tantangan, terutama dalam hal bukti yang cukup untuk menjerat pelaku. Oleh karena itu, pihak kepolisian dan pengadilan harus bekerja sama dengan instansi lainnya, seperti Kementerian Keuangan dan Bea Cukai, untuk mengumpulkan bukti yang cukup dan memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku penadahan.


Dalam upaya mencegah penadahan, masyarakat juga perlu berperan aktif dengan tidak membeli barang-barang yang mencurigakan atau berasal dari sumber yang tidak jelas. Masyarakat juga dapat melapor kepada pihak berwenang jika menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan.


Secara keseluruhan, penadahan adalah tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Oleh karena itu, pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi penadahan agar dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.


Berikut ini adalah beberapa tips dari kami yang dapat membantu Anda untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan dan menghindari penadahan:


1. Periksa asal-usul barang: Pastikan bahwa barang yang akan Anda beli memiliki dokumen atau bukti kepemilikan yang sah dan jelas. Jangan membeli barang yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau mencurigakan.


2. Periksa harga barang: Jangan mudah tergoda dengan harga yang sangat murah atau diskon yang tidak masuk akal. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan.


3. Beli dari sumber yang terpercaya: Beli barang dari toko atau penjual yang terpercaya dan memiliki reputasi yang baik. Jangan membeli dari penjual yang tidak dikenal atau penjual yang baru saja membuka toko.


4. Perhatikan kondisi barang: Perhatikan kondisi barang yang akan Anda beli. Pastikan barang tersebut dalam kondisi baik dan sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh penjual.


5. Hindari pembelian online dari sumber yang tidak jelas: Jangan mudah tergoda untuk membeli barang secara online dari sumber yang tidak jelas. Pastikan bahwa penjual memiliki reputasi yang baik dan memiliki alamat atau nomor telepon yang dapat dihubungi.


6. Laporkan jika menemukan kecurigaan: Jika Anda menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang hasil kejahatan, laporkan hal tersebut kepada pihak berwenang seperti kepolisian atau bea cukai.


Dengan mengikuti tips-tips di atas, Anda dapat membantu mencegah penadahan dan turut mendukung upaya pemerintah dan penegak hukum dalam menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil.


Demikianlah artikel tentang penadahan dan tips untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan yang dapat kami sampaikan. Sebagai firma hukum yang berkomitmen untuk mendorong kepatuhan terhadap hukum dan etika dalam kehidupan sehari-hari, kami mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.


Jangan lupa, konsumen yang cerdas dan berhati-hati tidak hanya dapat menghindari kerugian finansial yang disebabkan oleh pembelian barang hasil kejahatan, tetapi juga turut memperkuat nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita semua berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil.


Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan bantuan dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.


---

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 


Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang terjadi ketika salah satu pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Dalam hal ini, pihak yang gagal memenuhi kewajibannya dianggap telah melakukan wanprestasi.

Menurut hukum, setiap perjanjian harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Untuk menghadapi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil tindakan hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya wanprestasi dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci, melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian, dan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian.

Mengenai ikhal wanprestasi secara hukum telah diatur dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya, maka pihak yang lain berhak menuntut pemenuhan kewajiban tersebut dan/atau ganti rugi atas kerugian yang diderita.

Kemudian, Pasal 1244 KUH Perdata juga menegaskan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan dapat memilih antara meminta pemenuhan kewajiban yang tidak terpenuhi atau meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita. Pemilihan ini bergantung pada kebijaksanaan pihak yang dirugikan.

Namun, dalam praktiknya, proses penyelesaian wanprestasi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis perjanjian yang terlibat dan klausul-klausul yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari kontrak dengan cermat sebelum membuatnya dan mempertimbangkan pengaturan hukum yang relevan dalam kasus-kasus spesifik yang terkait dengan wanprestasi.

Salah satu cara untuk menghadapi wanprestasi adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat wanprestasi tersebut. Pihak yang melakukan wanprestasi dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang merasa dirugikan.

Selain itu, terdapat juga beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghindari terjadinya wanprestasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya ketidaksepakatan di kemudian hari.

Langkah kedua adalah dengan melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian. Dengan melakukan penilaian risiko, pihak yang terlibat dapat menentukan apakah risiko yang dihadapi dapat diterima atau tidak. Jika risiko yang dihadapi terlalu besar, maka perjanjian dapat ditunda atau dibatalkan.

Langkah ketiga adalah dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, pihak yang terlibat dapat mengidentifikasi kemungkinan terjadinya wanprestasi sejak dini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegahnya.

Dalam praktik hukum, perjanjian atau kontrak merupakan salah satu instrumen yang paling penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak para pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk memahami ketentuan hukum yang mengatur perjanjian, termasuk mengenai wanprestasi dan itikad baik dalam pembuatan perjanjian.

Sebagai firma hukum yang memberikan jasa hukum secara profesional, kami memahami betapa pentingnya peran perjanjian dalam transaksi bisnis, dan kami siap membantu para klien kami dalam membuat, mengevaluasi, dan menegosiasikan perjanjian yang menguntungkan bagi mereka. Kami juga siap membantu para klien kami dalam menangani kasus-kasus terkait dengan wanprestasi atau pelanggaran kontrak, dengan tujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi dan dipertahankan dengan efektif.

Dalam menjalankan tugas kami, kami mengutamakan prinsip kejujuran, profesionalisme, dan kerja sama yang baik dengan para klien kami. Kami juga selalu berusaha untuk memberikan solusi hukum yang tepat dan efektif untuk setiap masalah yang dihadapi oleh klien kami.

Jika Anda memerlukan bantuan atau konsultasi dalam hal perjanjian atau wanprestasi, jangan ragu untuk menghubungi kami di firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dan memberikan solusi terbaik untuk kebutuhan hukum Anda.

 


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)

Mati Haqiqi, Mati Hukmy, Mati Taqdiri

Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan ke dalam tiga macam yaitu mati hakiki, mati hukmi, dan mati taqdiri:

a. Mati hakiki (sejati)

Mati hakiki adalah kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian. Dan dapat disaksikan panca indra.

b. Mati hukmi

Mati hukmi adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim, misalnya seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia, sebagai suatu keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

c. Mati Taqdiri

Mati Taqdiri adalah anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya seseorang yang diketahui ikut berperang atau secara lahiriyah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya, setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal dunia.

https://www.suduthukum.com/2014/08/syarat-dan-rukun-waris.ht...

Selanjutnya, menurut kamus hukum Black:

natural death = death from natural causes.

Jadi, ini adalah kematian karena sebab alami, misalnya usia lanjut dan penyakit. Definisi ini sepadan dg pengertian mati hakiki.

legal/brain death = the bodily condition of showing no response to external stimuli.

Menurut definisi ini, orang tsb secara biologis masih hidup tapi secara hukum sudah mati karena sudah tidak bisa melakukan apa2 lagi. Definisi ini selaras dg makna mati hukmi (mati secara hukum) di atas.

presumptive death = death inferred from proof of the person's long unexplained absence, usually after seven years.

Ini adalah keadaan di mana seseorang dianggap sudah meninggal karena menghilang dalam waktu lama tanpa kabar, biasanya setelah tujuh tahun. Definisi ini setara dg mati takdiri di atas.

Garner, Bryan A. 2014. Black's Law Dictionary. 10th Edition. St. Paul: Thomson Reuters.

Penjelasan:

🏝️ mati haqiqi merupakan kematian yang dipastikan (confirmed), utamanya lewat kesaksian, yang kemudian disahkan (mis. surat keterangan dokter, surat pernyataan kepala kampung u/ di pedalaman). Jenazah jelas-jelas disaksikan sudah mati. Argumentasi fikih ada di surjaya ke-1.

🏝️ mati hukmy adalah kematian, sebagaimana tanyaan, yang disahkan lewat proses hukum, tanpa pembuktian fisik (misalnya pesawat terbang hilang di laut, mayat penumpangnya tidak ditemukan). Maka ini adalah death in-absentia, sebagaimana yang dijelaskan di surjaya ke-2 dan 3.

🏝️ mati taqdiri, per contoh-contoh yang diberikan, adalah kematian sebelum diakui hidup [secara hukum] (bayi yang mati dalam kandungan ibunya belum punya NIK). Jadi, kematian anggapan (presumed death) karena secara keyakinan agama, kita sudah mengakui kehidupannya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Maraknya fenomena penutupan usaha dalam dunia bisnis membuat istilah pailit dan bangkrut menjadi tidak asing didengar. Akan tetapi, banyak orang yang masih menganggap bahwa pailit dan bangkrut merupakan hal yang sama, padahal kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda.

Dari segi keuangan misalnya, bangkrut berarti terdapat unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, sedangkan pailit bisa saja terjadi pada perusahaan yang keuangannya dalam keadaan baik-baik saja.

Pailit atau kepailitan berasal dari Bahasa Perancis yang berarti kemacetan pembayaran. Jadi, pailit merupakan keadaan dimana Debitur (orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan) mempunyai kesulitan untuk membayar utangnya kepada Kreditur (orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan). Pailit sendiri telah diatur melalui UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dari aturan tersebut pailit dapat dijatuhkan kepada debitor, jika:

 1. Mempunyai dua atau lebih kreditor;

 2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

 3. Dapat dijatuhkan atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Sehingga apabila sebuah perusahaan memiliki dua utang yang belum dibayar, maka perusahaan itu sudah memenuhi syarat untuk dipailitkan. Beberapa perusahaan yang mengalami kepailitan, biasanya disebabkan oleh:

 1. Tidak mampu menangkap kebutuhan konsumen

 2. Terlalu fokus pada pengembangan produk

 3. Ketakutan berlebihan

 4. Berhenti melakukan inovasi

 5. Kurang mengamati pergerakan kompetitor

 6. Harga terlalu mahal

 7. Terlilit utang

Periswita pailit yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada perusahaan Nyonya Meneer, TPI, Peti Kemas Multicon, Akira, PT Asuransi Jiwa Nusantara, dan Bali Kuta Residence.

Sementara bangkrut berasal dari Bahasa Indonesia yang artinya menderita kerugian besar hingga mengalami kejatuhan baik itu sebuah perusahaan, toko, dan sebagainya.

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Perkara Nomor 18/PUU-VI/2008, Rizal Ramli menyebut kebangkrutan karena dua sebab, yaitu:

 1. Faktor-faktor eksternal di luar kewenangan pengusaha. Sebagai contoh, kebijakan IMF menutup sejumlah bank di Indonesia yang juga mempunyai dampak pada pengusaha-pengusaha maupun buruh.

 1. Missmanagement, seperti pada tahun 1998 IMF memaksa menutup sejumlah bank di Indonesia sehingga bank-bank di Indonesia bangkrut, banyak perusahaan di Indonesia juga bangkrut.

Kebangkrutan perusahaan biasanya ditandai dengan adanya indikator manajerial dan operasional. Pertumbuhan ekonomi yang rendah juga bisa menjadi indikator yang cukup penting pada lemahnya peluang bisnis. Sebenarnya kebangkrutan bisa dicegah dengan cara:

 1. Menganalisis aliran kas untuk saat ini atau masa mendatang,

Menganalisis strategis perusahaan,

 2. Membuat struktur biaya relatif terhadap pesaingnya,

Menjaga kualitas manajemen, dan

 3. Memaksimalkan kemampuan manajemen dalam mengendalikan biaya.

Beberapa perusahaan yang mengalami bangkrut di Indonesia, diantaranya seperti Adam Air, Toshiba Indonesia, Panasonic, dan Panasonic Indonesia. Pada kasus bangkrut, perusahaan masih bisa beroprasi seperti biasa meskipun sudah ditetapkan status bangkrutnya. Namun tetap berada di bawah pengawasan pengadilan dan mendapatkan perlindungan terhadap kreditor mereka sampai kondisinya menjadi lebih baik.

Dilihat dari penjabaran tersebut maka jelas pailit atau bangkrut merupakan hal yang sangat dihindari oleh pelaku bisnis. Meskipun perbedaan pailit dan bangkrut sangat mencolok namun terdapat persamaan dalam menanghindarinya, yaitu dengan cara berikut:

 1. Mengatur keuangan

 2. Jangan terlalu tergoda melihat usaha orang lain

 3. Pisahkanlah antara uang pribadi dan uang hasil bisnis anda

 4. Ciptakan berbagai strategi yang efektif dan efisien

 5. Mengikuti pelatihan yag membahas pengetahuan lebih lanjut

Untuk memahami lebih lanjut mengenai pailit dan akibat hukum yang terjadi dalam keadaan pailit, berlanjut pada pembahasan berikutnya. 

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

PPAT melaksanakan sebagian kegiatan tersebut sebagai bukti atas perbuatan hukum atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran perubahan data yang dihasilkan oleh perbuatan hukum itu.

Perbuatan hukum yang dimaksud diatas adalah hukum yang dapat dilakukan jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (dalam perusahaan), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak, pemberian Hak Tanggungan, pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Hal tersebut didasarkan pada Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan PPAT. Adapun jenis-jenis akta tanah yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 95 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa:

Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah adalah:

sebuah. Akta Jual Beli;

b. Akta Tukar Menukar.

c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan;

e. Akta Pembagian Hak Bersama;

f. Akta Pemberian Hak Tanggungan;

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik.

h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216




 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Ada anggapan di dalam masyarakat umum, bahwa Sertifikat Hak Milik tanah adalah final, sudah tidak bisa diganggu gugat, sehingga bagi pihak yang merasa dirugikan sudah merasa putus harapannya  secara hukum, jika itu benar terjadi maka ketimpangan hukum akan terjadi, dan akan membuka lebar motif kejahatan dalam kepemilikan tanah, padahal dalam hukum, sebenarnya ada ruang bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk melakukan gugatan pembatalan, karena semua warga negara mendapat perlakuan sama dihadapan hukum.

Jika kepemilikan tanah dengan terbitnya sertifikat dianggap final, bagaimana jika ada kekeliruan ukur atau kesalahan administrasi,  apakah tidak bisa diubah? Tentu itu juga jadi permasalahan di masyarakat, maka ruang hukum harus ada untuk membenahi celah-celah kesalahan tersebut.

Modus mafia tanah banyak terjadi, karena minimnya pengetahuan di masyarakat, selain itu tentang prosedur dan ilmu tentang pertanahan hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu,  oleh karena itu dalam tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman secara utuh dan singkat kepada masyarakat umum akan pentingnya faham tentang kepemilikan hak atas tanah serta solusi dalam melakukan pembenahan kekeliruan dalam sertifikat kepemilikan tanah.

Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permen Agraria/BPN 9/1999”) mendefinisikan pembatalan hak atas tanah sebagai pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkracht.

Selain karena alasan administratif, pembatalan sertifikat hak atas tanah juga dapat terjadi dalam hal ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikat itu adalah secara sah dan nyata miliknya dan hal tersebut didukung dengan adanya putusan pengadilan yang telah inkracht.

Tidak ada perbedaan antara pembatalan sertifikat hak atas tanah dengan pembatalan hak atas tanah, karena akibat dari pembatalan sertifikat hak atas tanah, maka batal pula hak atas tanah tersebut.

I. Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah
Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan

Permohonan Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Mekanisme tersebut diatur pada Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999.

Permohonan dapat dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan sertifikat itu sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999 sebagai berikut:

Pasal 106 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999
Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah:
1. Kesalahan prosedur;
2. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
3. Kesalahan subjek hak;
4. Kesalahan objek hak;
5. Kesalahan jenis hak;
6. Kesalahan perhitungan luas;
7. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
8. Data yuridis atau data data fisik tidak benar; atau
9. Kesalahan lainnya yang bersifat administratif

II. Gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara

Sertifikat tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”). Untuk membatalkan suatu KTUN, dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa terdapat jangka waktu untuk menggugat Keputusan TUN, yaitu 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU 5/1986, sebagai berikut:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

III. Pembatalan Berdasarkan Putusan Pengadilan

Pembatalan hak atas tanah juga dapat terjadi karena melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Surat keputusan pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) Permen Agraria/BPN 9/1999, diterbitkan apabila terdapat:
1. cacat hukum administratif; dan/atau
2. melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999, yang menjadi objek pembatalan hak atas tanah meliputi:
1. surat keputusan pemberian hak atas tanah.
2. sertifikat hak atas tanah.
3. surat keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.

Dari rumusan di atas, Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita dalam buku Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah menyimpulkan bahwa (hal. 27):
pembatalan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus suatu hubungan hukum antara subjek hak atas tanah dengan objek hak atas tanah;
 1. jenis/macam kegiatannya, meliputi pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah;
 2. penyebab pembatalan adalah karena cacat hukum administratif dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pemegang hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah serta karena adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian hak bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, ada 3 cara untuk melakukan pembatalan sertifikat hak atas tanah:

1. Meminta Pembatalan Kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan

Alasan pembatalan sertifikat hak atas tanah adalah karena adanya cacat hukum administratif, seperti kesalahan perhitungan dan luas tanah, sehingga menyerobot tanah lainnya, tumpang tindih hak atas tanah, kesalahan prosedural, atau perbuatan lain, seperti pemalsuan surat.

Hal ini dimohonkan secara tertulis kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Lampirkan pula berkas-berkas, berupa:
A. foto copy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (bagi perorangan) atau fotokopi akta pendirian (bagi badan hukum);
B. foto copy surat keputusan dan/atau sertifikat;
C. berkas-berkas lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan tersebut.

 B. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”) Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut hemat kami, sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu bentuk KTUN. Yang juga perlu diperhatikan adalah batas waktu untuk menggugat ke PTUN, yaitu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

C. Gugatan Ke Pengadilan Negeri

Setiap orang yang ingin mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan dasar dan dalil-dalil yang penggugat pikirkan dan penggugat nilai merugikan, seperti contohnya, Anda menjual sebidang tanah kepada pembeli dan pembeli tersebut belum membayarkan sepenuhnya kepada Anda, namun sudah mengajukan proses balik nama sertifikat tanah.

Namun perlu Anda ingat bahwa ada masa daluwarsanya, karena permohonan pembatalan atau gugatan ke pengadilan hanya dapat diajukan maksimal 5 tahun sejak terbitnya sertifikat, sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Namun daluwarsa tidak mutlak selama bisa dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut dilakukan tidak dengan iktikad baik.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang–Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
  5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Referensi:
Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita. Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah. Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2004.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Kejahatan dan Pelanggaran

Agar mudah membedakan antara Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”) dengan Pelanggaran, sebelumnya kita perlu mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran.

Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 106) menyatakan bahwa pembagian delik atas Kejahatan dan Pelanggaran di dalam WvS Belanda 1886 dan WvS (KUHP) Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana, sedangkan Pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang, artinya dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.

Lebih lanjut Andi menjelaskan bahwa mengenai jenis pidana, tidak ada perbedaaan mendasar antara Kejahatan dan Pelanggaran. Hanya pada Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara. Untuk mengetahui mana delik Kejahatan dan mana pula delik Pelanggaran, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) lebih mudah, karena jelas Kejahatan pada Buku II, sedangkan Pelanggaran pada Buku III.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 211). Ia menjelaskan bahwa pembagian dari tindak pidana menjadi Kejahatan dan Pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku II dan Buku III, melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.

Berikut kami rangkum perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran:

Kejahatan

Pelanggaran

Tindakan tersebut mengandung suatu “onrecht” sehingga orang memandang perilaku tersebut memang pantas dihukum meskipun tidak dicantumkan dalam undang-undang sebagai perbuatan terlarang oleh pembuat undang-undang.

 

Dimuat didalam Buku II KUHP Pasal 104 sampai dengan Pasal 488.

 

Contoh pencurian: (Pasal 362 KUHP), Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

 

Orang pada umumnya baru mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dihukum yaitu setelah tindakan tersebut dinyatakan dilarang dalam undang-undang.

 

Dimuat dalam buku III KUHP Pasal 489 sampai dengan Pasal 569.

 

Contoh: mabuk di tempat umum (Pasal 492 KUHP/536 KUHP), penadahan ringan (Pasal 482 KUHP)

 

Dalam kejahatan dikenal adanya perbedaan opzet (kesengajaan) dan culpa (kealpaan).

Undang-undang tidak membuat perbedaan antara opzet (kesengajaan) dan culpa (kealpaan).

 

Keikutsertaan dan pembantuan dalam kejahatan dihukum.

 

Keikutsertaan dan pembantuan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum.

Terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan, karena itu merupakan suatu syarat bagi penuntutan.

 

Tidak terdapat ketentuan adanya suatu pengaduan sebagai syarat bagi penuntutan.

Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana.

 

Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana.

Jangka waktu daluwarsa kewenangan untuk melakukan penuntutan lebih lama dari pelanggaran.

 

Jangka waktu daluwarsa kewenangan untuk melakukan penuntutan lebih singkat yaitu 1 tahun bagi semua pelanggaran.

Kejahatan dikenal adanya pidana penjara.

Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara.


Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”)

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan (hal. 422).

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.

Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP:

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) (“Nota Kesepakatan 2012”).

Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 kali lipat dari denda.[16] Pasal-pasal yang merupakan Tipiring tersebut terdapat dalam Buku II KUHP.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyak Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan.

Jadi Tipiring merupakan tindak pidana atau kejahatan (karena diatur di Buku II KUHP) yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.

Selengkapnya mengenai Tipiring dapat Anda simak dalam artikel Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

Analisis

Jadi jelaslah bahwa perbedaan antara Tipiring dengan Pelanggaran adalah Tipiring sebagai Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP dan Pelanggaran diatur dalam Buku III KUHP.

Kemudian pada Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara, sedangkan pada Tipiring, ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (dengan penyesuaian).

Selain itu, karena Tipiring merupakan kejahatan, maka perbedaan Tipiring dengan Pelanggaran antara lain dapat Anda lihat pada tabel di atas.

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

4.   Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Referensi:

1.    Andi Hamzah. 2014. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

2.   Harahap, Yahya. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

3.    Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia*

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan (hal. 422).

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.

Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”

Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) (“Nota Kesepakatan 2012”).

Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari denda.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyak Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan.

Penahanan Tindak Pidana Tipiring

Anda menanyakan masa tahanan pelaku Tipiring, jika yang Anda maksudkan adalah penahanan, perlu kami luruskan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa dalam hal tindak pidana yang dilakukannya itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.[3] Oleh karena itu, terhadap pelaku Tipiring yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau kurungan tidak dilakukan penahanan.

Penjelasan selengkapnya tentang penahanan dapat Anda simak dalam artikel yang berjudul Kenapa Pelaku Tindak Pidana Ringan Tidak Ditahan?.

Membuang Sampah Sebagai Tindak Pidana Ringan

Dalam Peraturan Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian RI Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) (“Perkababinkam Polri 13/2009”), disebutkan jenis-jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak pidana ringan baik yang diatur dalam KUHP, Non KUHP dan Peraturan Daerah.

Menyorot pertanyaan Anda, larangan membuang sampah sembarangan pada dasarnya diatur dalam peraturan daerah setempat.

Sebagai contoh dapat kita temukan dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”) yang mengatur:

Setiap orang atau badan dilarang:

a. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyebrangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya;

b. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan;

c. membuang air besar dan kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan saluran air.

Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan di atas dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp. 100 ribu dan paling banyak Rp. 20 juta.

Melihat dari ancaman pidananya, maka membuang sampah sembarangan termasuk Tipiring.

Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Yahya (hal. 423 s.d hal. 429) menjelaskan antara lain bahwa:

a. Pelimpahan dan pemeriksaan perkara Tipiring tanpa dicampuri dan diikuti oleh penuntut umum. Penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

b. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua perkara Tipiring yang diterima pengadilan segera disidangkan pada hari itu juga. Pemeriksaan Tipiring diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir.

c.  Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan.

Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut.

d. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum;

4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

5. Peraturan Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian RI Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring);

6. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Referensi:

Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Ditengah masyarakat persoalan tanah hingga sekarang masih saja banyak ditemukan persoalan, baik itu persoalan sengketa waris, sengketa jual beli, sengketa kepemilikan, sengketa batas dan lain sebagainya. Perlu kiranya dalam memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat melalui tulisan ini kami uraikan tentang Surat kepemilikan tanah yang sh dan Surat Riwayat Tanah.

Masyarakat awam masih berfikir bukti SPPT, Petok C adalah bukti kepemilikan tanah, bahkan tidak jarang ditemukan ditengah masyarakat, merasa telah rutin membayar pajak, lalu merasa sudah memenuhi kepemilikan tanah. Lalu sebenarnya seperti apa kepemilikan tanah yang sah menurut Undang-undang? Ini penting untuk kita, terutama yang sudah memiliki rumah pribadi untuk mengurus kepemilikan tanahnya, atau bagi yang berkeinginan membeli tanah harus betul-betul selektif dalam melihat surat kepemilikan tanah yang sah.

Dalam pengurusan surat kepemilikan tanah, maka diperlukan Surat keterangan riwayat tanah.

Surat keterangan riwayat tanah merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.

Pembuktian Hak dan Pembukuannya
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
2. Pembuktian hak dan pembukuannya;
3. Penerbitan sertifikat;
4. Penyajian data fisik dan data yuridis;
5. penyimpanan daftar umum dan dokumen

Pembuktian Hak Baru

Untuk keperluan pendaftaran hak:

a. Hak atas tanah baru dibuktikan dengan:

1) Penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;

2) Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima. hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;

b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;

c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;

d. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;

e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.

Pembuktian Hak Lama

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:

a.   penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

b.  penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti, dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.

Hasil penelitian alat-alat bukti dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri.

Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat, berupa:

a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

d. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau

h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.[10] Penjelasan lebih lanjut tentang pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik dapat Anda simak artikel Pendaftaran Tanah Secara Massal.

Penghapusan Persyaratan SKT/ Surat Keterangan Riwayat

Merujuk pada artikel Untuk Pensertifikatan Tanah Sudah Tidak Perlu Lagi Skt Dari Kelurahan yang dibuat oleh Irma Devita Purnamasari, kini telah terbit Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat yang intinya menyampaikan edaran kepada seluruh Kantor Pertanahan untuk menyederhanakan proses pendaftaran tanah (pensertifikatan tanah). Irma mengutip sebelumnya dalam artikel Syarat Keterangan Lurah Bakal Dihapus yang dimuat dalam laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian ATR/BPN”), yang menginformasikan bahwa salah satu syarat dalam mengurus sertifikat tanah ke Kementerian ATR/BPN adalah adanya SKT. SKT ini dikeluarkan oleh kelurahan setempat.  Persyaratan ini akan dihapus BPN karena seringkali kepengurusannya memakan waktu lama.

Dengan demikian, SKT itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP 24/1997. Namun  SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
3. Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget