Articles by "Bantuan Hukum"

 



Hukum Hak Tanggungan di Indonesia Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996: Permasalahan, Kasus, dan Solusi

Hak tanggungan merupakan salah satu aspek penting dalam hukum perdata di Indonesia. Konsep ini memungkinkan individu atau badan hukum untuk memberikan jaminan keamanan kepada pihak lain terhadap kewajiban tertentu. Dalam artikel ini, kita akan menjelaskan secara mendalam tentang hukum hak tanggungan di Indonesia, termasuk permasalahan yang sering muncul, contoh kasus nyata, dan solusi yang dapat ditempuh.

Hak tanggungan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-undang ini memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi hak tanggungan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi dasar hukum UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan dan implikasinya dalam praktiknya.

 

1.  Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan adalah hak yang melekat pada sebuah benda (biasanya tanah atau bangunan) yang dapat dijadikan jaminan atas pelunasan utang atau kewajiban tertentu. Hak ini memungkinkan pihak kreditur (yang memberikan pinjaman atau memiliki klaim atas seseorang) untuk mendapatkan jaminan jika pihak debitur (yang meminjam atau memiliki kewajiban) tidak memenuhi kewajibannya.

 

2.  Dasar Hukum UU No. 4 Tahun 1996

UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan merupakan landasan hukum utama yang mengatur hak tanggungan di Indonesia. Beberapa aspek penting yang diatur oleh undang-undang ini meliputi:

a. Pendaftaran Hak Tanggungan

   UU No. 4 Tahun 1996 mengatur persyaratan pendaftaran hak tanggungan. Pihak yang ingin mendapatkan hak tanggungan harus mendaftarkannya di Kantor Pertanahan setempat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak tanggungan.

b. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Terkait

   Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam transaksi hak tanggungan, termasuk pihak debitur, pihak kreditur, dan pihak ketiga yang memiliki kepentingan atas benda yang menjadi jaminan.

c. Penarikan dan Pelunasan Hak Tanggungan

   UU No. 4 Tahun 1996 juga mengatur proses penarikan dan pelunasan hak tanggungan. Pihak kreditur dapat menggunakan hak tanggungan jika pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya. Setelah pelunasan, hak tanggungan harus dicabut.

 

3.  Implikasi UU No. 4 Tahun 1996 dalam Praktik

a. Peningkatan Kepastian Hukum

   Dengan adanya UU No. 4 Tahun 1996, kepastian hukum dalam transaksi hak tanggungan meningkat secara signifikan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan memberikan bukti yang kuat tentang kepemilikan dan status hukum benda yang dijadikan jaminan.

 

b. Perlindungan Hak Kreditur

   Undang-undang ini memberikan perlindungan kepada pihak kreditur, memastikan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan jaminan hak tanggungan jika pihak debitur gagal memenuhi kewajibannya.

c. Pengawasan dan Hukuman

   Undang-undang ini memberikan landasan bagi pengawasan yang lebih ketat dan hukuman yang tegas terhadap penyalahgunaan hak tanggungan.

 

4.  Permasalahan dalam Hukum Hak Tanggungan

a. Pendaftaran Hak Tanggungan

   Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya pemahaman tentang proses pendaftaran hak tanggungan. Banyak kasus di mana hak tanggungan tidak didaftarkan dengan benar atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum, sehingga mengakibatkan ketidaksahterimanan hak tersebut.

b. Sengketa atas Hak Tanggungan

   Seringkali, sengketa muncul terkait dengan hak tanggungan, baik antara pihak debitur dan kreditur maupun di antara pihak ketiga yang memiliki kepentingan atas benda yang menjadi jaminan. Sengketa semacam ini dapat memperlambat proses pelunasan utang.

c. Penyalahgunaan Hak Tanggungan

   Dalam beberapa kasus, pihak debitur dapat mencoba menyalahgunakan hak tanggungan dengan cara yang merugikan pihak kreditur atau pihak ketiga yang berkepentingan. Hal ini dapat menciptakan masalah hukum yang serius.

 

5.  Contoh Kasus Hak Tanggungan

Contoh kasus nyata dapat membantu kita memahami bagaimana hak tanggungan bekerja dalam praktiknya.

 

Misalnya, seorang individu, A, ingin meminjam uang dari bank untuk membeli rumah. Bank bersedia memberikan pinjaman dengan syarat bahwa rumah tersebut dijadikan jaminan dalam bentuk hak tanggungan. A dan bank kemudian membuat perjanjian yang memuat detail pinjaman, termasuk jangka waktu dan suku bunga.

Namun, setelah beberapa tahun, A mengalami kesulitan keuangan dan tidak dapat membayar cicilan pinjaman. Bank kemudian menggunakan hak tanggungan atas rumah A dan menjualnya untuk melunasi utang. Sisa uang dari hasil penjualan dikembalikan kepada A. Ini adalah contoh kasus di mana hak tanggungan digunakan untuk melindungi kepentingan kreditur (bank) dalam melunasi utang.

 

6.  Solusi dalam Permasalahan Hukum Hak Tanggungan

a. Pendidikan Hukum

   Salah satu solusi utama adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak tanggungan melalui pendidikan hukum dan peningkatan kesadaran hukum. Ini akan membantu mengurangi kesalahan dalam proses pendaftaran dan penggunaan hak tanggungan.

b. Penyelesaian Sengketa

   Penting bagi pihak yang terlibat dalam sengketa hak tanggungan untuk mencari penyelesaian yang adil dan efisien. Penyelesaian sengketa melalui mediasi atau arbitrase dapat menghindari proses litigasi yang mahal dan memakan waktu.

c. Pengawasan dan Hukuman

   Perlunya pengawasan ketat dan hukuman yang tegas terhadap penyalahgunaan hak tanggungan untuk melindungi hak-hak pihak yang berkepentingan.

Hukum hak tanggungan di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan merupakan dasar hukum yang penting dalam mengatur hak tanggungan di Indonesia, demikian merupakan dasar perlindungan hak-hak kreditur dan pihak yang memberikan jaminan atas pinjaman atau kewajiban tertentu. Namun, seringkali terdapat permasalahan dalam pendaftaran, penggunaan, dan penyalahgunaan hak tanggungan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendidikan hukum yang lebih baik, penyelesaian sengketa yang efisien, serta pengawasan yang ketat. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa hukum hak tanggungan berfungsi dengan baik dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Selain itu, pengawasan yang ketat dan hukuman yang tegas juga merupakan bagian penting dari kerangka hukum ini, yang bertujuan untuk menjaga pemberlakuan dan pelaksanaan hukum hak tanggungan di Indonesia.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan yang perlu dikonsultasikan atau membutuhkan bantuan dan jasa hukum profesional, segera hubungi kami di  Firma Hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.

---

Berikut beberapa pertanyaan yang sering diajukan dalam permasalahan hak tanggungan di Indonesia:

1.    Apa yang dimaksud dengan hak tanggungan dalam hukum perdata di Indonesia?

2.    Bagaimana UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mengatur proses pendaftaran hak tanggungan?

3.    Mengapa pendaftaran hak tanggungan di Kantor Pertanahan penting untuk menciptakan kepastian hukum?

4.    Apa yang diatur oleh UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak dan kewajiban pihak-pihak terkait dalam transaksi hak tanggungan?

5.    Bagaimana proses penarikan dan pelunasan hak tanggungan diatur oleh undang-undang ini?

6.    Mengapa UU No. 4 Tahun 1996 memberikan perlindungan kepada pihak kreditur?

7.    Bagaimana undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa terkait dengan hak tanggungan?

8.    Apa implikasi adanya UU No. 4 Tahun 1996 terhadap peningkatan kepastian hukum dalam transaksi hak tanggungan?

9.    Bagaimana peran pengawasan ketat dan hukuman tegas dalam menjaga integritas sistem hak tanggungan di Indonesia?

 

 

 

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan tersebut untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

Dasar hukum somasi diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa somasi harus dilakukan sebelum tindakan hukum dilakukan. Pasal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Pasal 1238 KUH Perdata sebagaimana berbunyi:

"Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."

Somasi dapat digunakan dalam berbagai macam kasus, antara lain:

1.    Pelanggaran kontrak Jika terjadi pelanggaran kontrak, pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran untuk meminta ganti rugi atau menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

2.    Perkara pidana Dalam kasus perkara pidana, somasi dapat digunakan sebagai tahap awal sebelum mengajukan laporan ke pihak kepolisian. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan tindakan merugikan untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

3.    Perselisihan bisnis Somasi juga dapat digunakan dalam perselisihan bisnis. Jika terjadi perselisihan antara dua perusahaan, salah satu pihak dapat mengeluarkan somasi kepada pihak lain untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Dalam praktik hukum, somasi biasanya digunakan dalam ranah hukum perdata dan pidana untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan.

Dalam hukum perdata, somasi digunakan untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melanggar kontrak atau tindakan yang merugikan dalam sebuah perjanjian. Somasi ini diberikan oleh pihak yang dirugikan dengan tujuan untuk meminta pihak yang melakukan pelanggaran untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi, sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar.

Sementara itu, dalam hukum pidana, somasi dapat digunakan sebagai upaya terakhir untuk menghindari pengadilan atau tindakan hukum yang lebih besar. Somasi dalam hukum pidana dikeluarkan oleh korban atau kuasanya untuk memberikan peringatan kepada pelaku tindak pidana untuk menyerahkan barang bukti atau mengembalikan hak milik korban, atau memberikan ganti rugi sebelum proses pidana dilanjutkan.

Dalam kedua ranah hukum tersebut, somasi memberikan kesempatan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan memberikan perbaikan atau ganti rugi sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pihak yang menerima somasi untuk merespons dengan baik dan menindaklanjuti dengan cepat, agar masalah dapat diselesaikan secara damai.

Solusi Saat Mendapatkan Somasi

Jika Anda menerima somasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai solusi, antara lain:

1.    Cari tahu dan pahami isi somasi Sebelum mengambil tindakan apapun, pastikan Anda memahami dengan baik isi somasi yang diterima. Baca dengan teliti dan cermat setiap poin yang disebutkan dalam somasi.

2.    Tanggapi somasi dengan bijaksana Setelah memahami isi somasi, tanggapi dengan bijaksana dan jangan terpancing emosi. Usahakan untuk menyelesaikan masalah secara damai dan hindari konflik yang lebih besar.

3.    Konsultasikan dengan pengacara Jika Anda kesulitan atau tidak memahami somasi yang diterima, konsultasikan dengan pengacara untuk mendapatkan saran dan bantuan yang tepat.

4.    Segera tindak lanjuti somasi Jangan menunda-nunda untuk menindaklanjuti somasi yang diterima. Jika memang terdapat kesalahan atau tindakan yang merugikan, segera lakukan perbaikan atau ganti rugi yang diminta dalam somasi tersebut. Jangan biarkan masalah berlarut-larut dan berujung pada tindakan hukum yang lebih besar.

  1. Jangan mengabaikan somasi Jangan mengabaikan somasi yang diterima. Jika Anda mengabaikan somasi, pihak yang mengeluarkan somasi berhak untuk mengambil tindakan hukum yang lebih besar dan Anda akan berada dalam posisi yang lebih sulit untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi. Somasi dapat digunakan dalam berbagai kasus, seperti pelanggaran kontrak, perkara pidana, dan perselisihan bisnis. Jika Anda menerima somasi, penting untuk memahami isi somasi dengan baik, tanggap dengan bijaksana, konsultasikan dengan pengacara jika perlu, tindak lanjuti dengan cepat, dan jangan mengabaikan somasi yang diterima. Dengan menyelesaikan masalah secara damai melalui somasi, dapat menghindari konflik yang lebih besar dan menghemat biaya dan waktu yang diperlukan dalam proses hukum.

Dalam menangani somasi, penting untuk memiliki bantuan dari pengacara yang berpengalaman dan ahli dalam hukum perdata. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan masalah hukum Anda, firma hukum kami siap membantu Anda. Kami memiliki tim ahli pengacara yang dapat membantu Anda dalam menangani somasi dan memberikan solusi terbaik untuk masalah hukum Anda. Jangan ragu untuk menghubungi kami dan mempercayakan masalah hukum Anda kepada kami. Kami akan memberikan yang terbaik untuk Anda.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan yang perlu dikonsultasikan atau membutuhkan bantuan profesional dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.

---

Berikut beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan somasi:

  1. Apa itu somasi dalam hukum perdata?
  2. Apa saja dasar hukum penggunaan somasi dalam penyelesaian sengketa?
  3. Bagaimana cara memberikan somasi kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan?
  4. Apa yang harus dilakukan jika menerima somasi?
  5. Apa saja jenis kasus yang dapat diselesaikan melalui somasi?
  6. Apa konsekuensi hukum jika mengabaikan somasi yang diterima?
  7. Kapan waktu yang tepat untuk memberikan somasi dalam kasus sengketa?
  8. Apakah somasi selalu dapat menyelesaikan masalah hukum secara damai?
  9. Apa peran pengacara dalam penanganan somasi?
  10. Apakah ada sanksi yang dapat diberikan oleh pengadilan jika pihak yang menerima somasi tidak menindaklanjuti somasi tersebut?





 

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 

Penadahan adalah suatu tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Penadahan diartikan sebagai tindakan membeli, menyembunyikan, menyimpan, mengangkut, atau menyediakan barang hasil kejahatan, tanpa memperhatikan asal usul barang tersebut.


Di Indonesia, penadahan diatur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "Barang siapa dengan sengaja membeli, menerima, atau menyembunyikan barang-barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."


Penadahan termasuk dalam tindakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat dan pihak yang kehilangan barang. Dalam konteks bisnis, penadahan dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan yang kehilangan barang, karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli kembali barang yang hilang. Selain itu, penadahan juga dapat menyebabkan kerugian moral dan sosial, karena tindakan ini dapat memperkuat praktik kejahatan dan korupsi.


Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penadahan, salah satunya dengan menerapkan sistem pengawasan yang ketat terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku penadahan, baik berupa pidana penjara maupun denda.


Dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap penadahan masih banyak menghadapi tantangan, terutama dalam hal bukti yang cukup untuk menjerat pelaku. Oleh karena itu, pihak kepolisian dan pengadilan harus bekerja sama dengan instansi lainnya, seperti Kementerian Keuangan dan Bea Cukai, untuk mengumpulkan bukti yang cukup dan memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku penadahan.


Dalam upaya mencegah penadahan, masyarakat juga perlu berperan aktif dengan tidak membeli barang-barang yang mencurigakan atau berasal dari sumber yang tidak jelas. Masyarakat juga dapat melapor kepada pihak berwenang jika menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan.


Secara keseluruhan, penadahan adalah tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Oleh karena itu, pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi penadahan agar dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.


Berikut ini adalah beberapa tips dari kami yang dapat membantu Anda untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan dan menghindari penadahan:


1. Periksa asal-usul barang: Pastikan bahwa barang yang akan Anda beli memiliki dokumen atau bukti kepemilikan yang sah dan jelas. Jangan membeli barang yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau mencurigakan.


2. Periksa harga barang: Jangan mudah tergoda dengan harga yang sangat murah atau diskon yang tidak masuk akal. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan.


3. Beli dari sumber yang terpercaya: Beli barang dari toko atau penjual yang terpercaya dan memiliki reputasi yang baik. Jangan membeli dari penjual yang tidak dikenal atau penjual yang baru saja membuka toko.


4. Perhatikan kondisi barang: Perhatikan kondisi barang yang akan Anda beli. Pastikan barang tersebut dalam kondisi baik dan sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh penjual.


5. Hindari pembelian online dari sumber yang tidak jelas: Jangan mudah tergoda untuk membeli barang secara online dari sumber yang tidak jelas. Pastikan bahwa penjual memiliki reputasi yang baik dan memiliki alamat atau nomor telepon yang dapat dihubungi.


6. Laporkan jika menemukan kecurigaan: Jika Anda menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang hasil kejahatan, laporkan hal tersebut kepada pihak berwenang seperti kepolisian atau bea cukai.


Dengan mengikuti tips-tips di atas, Anda dapat membantu mencegah penadahan dan turut mendukung upaya pemerintah dan penegak hukum dalam menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil.


Demikianlah artikel tentang penadahan dan tips untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan yang dapat kami sampaikan. Sebagai firma hukum yang berkomitmen untuk mendorong kepatuhan terhadap hukum dan etika dalam kehidupan sehari-hari, kami mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.


Jangan lupa, konsumen yang cerdas dan berhati-hati tidak hanya dapat menghindari kerugian finansial yang disebabkan oleh pembelian barang hasil kejahatan, tetapi juga turut memperkuat nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita semua berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil.


Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan bantuan dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.


---

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 


Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang terjadi ketika salah satu pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Dalam hal ini, pihak yang gagal memenuhi kewajibannya dianggap telah melakukan wanprestasi.

Menurut hukum, setiap perjanjian harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Untuk menghadapi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil tindakan hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya wanprestasi dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci, melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian, dan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian.

Mengenai ikhal wanprestasi secara hukum telah diatur dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya, maka pihak yang lain berhak menuntut pemenuhan kewajiban tersebut dan/atau ganti rugi atas kerugian yang diderita.

Kemudian, Pasal 1244 KUH Perdata juga menegaskan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan dapat memilih antara meminta pemenuhan kewajiban yang tidak terpenuhi atau meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita. Pemilihan ini bergantung pada kebijaksanaan pihak yang dirugikan.

Namun, dalam praktiknya, proses penyelesaian wanprestasi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis perjanjian yang terlibat dan klausul-klausul yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari kontrak dengan cermat sebelum membuatnya dan mempertimbangkan pengaturan hukum yang relevan dalam kasus-kasus spesifik yang terkait dengan wanprestasi.

Salah satu cara untuk menghadapi wanprestasi adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat wanprestasi tersebut. Pihak yang melakukan wanprestasi dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang merasa dirugikan.

Selain itu, terdapat juga beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghindari terjadinya wanprestasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya ketidaksepakatan di kemudian hari.

Langkah kedua adalah dengan melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian. Dengan melakukan penilaian risiko, pihak yang terlibat dapat menentukan apakah risiko yang dihadapi dapat diterima atau tidak. Jika risiko yang dihadapi terlalu besar, maka perjanjian dapat ditunda atau dibatalkan.

Langkah ketiga adalah dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, pihak yang terlibat dapat mengidentifikasi kemungkinan terjadinya wanprestasi sejak dini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegahnya.

Dalam praktik hukum, perjanjian atau kontrak merupakan salah satu instrumen yang paling penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak para pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk memahami ketentuan hukum yang mengatur perjanjian, termasuk mengenai wanprestasi dan itikad baik dalam pembuatan perjanjian.

Sebagai firma hukum yang memberikan jasa hukum secara profesional, kami memahami betapa pentingnya peran perjanjian dalam transaksi bisnis, dan kami siap membantu para klien kami dalam membuat, mengevaluasi, dan menegosiasikan perjanjian yang menguntungkan bagi mereka. Kami juga siap membantu para klien kami dalam menangani kasus-kasus terkait dengan wanprestasi atau pelanggaran kontrak, dengan tujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi dan dipertahankan dengan efektif.

Dalam menjalankan tugas kami, kami mengutamakan prinsip kejujuran, profesionalisme, dan kerja sama yang baik dengan para klien kami. Kami juga selalu berusaha untuk memberikan solusi hukum yang tepat dan efektif untuk setiap masalah yang dihadapi oleh klien kami.

Jika Anda memerlukan bantuan atau konsultasi dalam hal perjanjian atau wanprestasi, jangan ragu untuk menghubungi kami di firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dan memberikan solusi terbaik untuk kebutuhan hukum Anda.

 


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)

Mati Haqiqi, Mati Hukmy, Mati Taqdiri

Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan ke dalam tiga macam yaitu mati hakiki, mati hukmi, dan mati taqdiri:

a. Mati hakiki (sejati)

Mati hakiki adalah kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian. Dan dapat disaksikan panca indra.

b. Mati hukmi

Mati hukmi adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim, misalnya seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia, sebagai suatu keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

c. Mati Taqdiri

Mati Taqdiri adalah anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya seseorang yang diketahui ikut berperang atau secara lahiriyah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya, setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal dunia.

https://www.suduthukum.com/2014/08/syarat-dan-rukun-waris.ht...

Selanjutnya, menurut kamus hukum Black:

natural death = death from natural causes.

Jadi, ini adalah kematian karena sebab alami, misalnya usia lanjut dan penyakit. Definisi ini sepadan dg pengertian mati hakiki.

legal/brain death = the bodily condition of showing no response to external stimuli.

Menurut definisi ini, orang tsb secara biologis masih hidup tapi secara hukum sudah mati karena sudah tidak bisa melakukan apa2 lagi. Definisi ini selaras dg makna mati hukmi (mati secara hukum) di atas.

presumptive death = death inferred from proof of the person's long unexplained absence, usually after seven years.

Ini adalah keadaan di mana seseorang dianggap sudah meninggal karena menghilang dalam waktu lama tanpa kabar, biasanya setelah tujuh tahun. Definisi ini setara dg mati takdiri di atas.

Garner, Bryan A. 2014. Black's Law Dictionary. 10th Edition. St. Paul: Thomson Reuters.

Penjelasan:

🏝️ mati haqiqi merupakan kematian yang dipastikan (confirmed), utamanya lewat kesaksian, yang kemudian disahkan (mis. surat keterangan dokter, surat pernyataan kepala kampung u/ di pedalaman). Jenazah jelas-jelas disaksikan sudah mati. Argumentasi fikih ada di surjaya ke-1.

🏝️ mati hukmy adalah kematian, sebagaimana tanyaan, yang disahkan lewat proses hukum, tanpa pembuktian fisik (misalnya pesawat terbang hilang di laut, mayat penumpangnya tidak ditemukan). Maka ini adalah death in-absentia, sebagaimana yang dijelaskan di surjaya ke-2 dan 3.

🏝️ mati taqdiri, per contoh-contoh yang diberikan, adalah kematian sebelum diakui hidup [secara hukum] (bayi yang mati dalam kandungan ibunya belum punya NIK). Jadi, kematian anggapan (presumed death) karena secara keyakinan agama, kita sudah mengakui kehidupannya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216




Kita masih ingat kasus perseteruan dan pertengkaran Dewi Persik (Depe) dan Mendiang Julia Presz (Jupe) yang terjadi sekitar tahun 2011 silam, dimana dalam perseteruan tersebut hingga masuk dalam persidangan, namun dalam hal ini kita tidak mau masuk pada pembahasan Gosip atau permasalahan kedua artis tanah air tersebut, yang menarik dari kasus dalam kasus tersebut adalah, ketika jaksa menolak Saksi Ahli yang diajukan Julia perez, pihak Julia Perez mengajukan Barry Prima seorang aktor pemain Film laga tahun 80-90an, Barry Prima dalam kancah perfilman laga cukup populer tahun-tahun itu, namun posisinya ketika dihadirkan dalam sidang sebagai saksi ahli ditolak oleh jaksa dikarenakan seorang Barry Prima dianggap tidak memiliki pendidikan formal yang disebut sebagai ahli dalam bidangnya.

Bagi pihak Jupe, Barry Prima adalah orang yang sudah berpengalaman di bidangnya, mengingat aktor laga tersebut sudah 30 tahun berkecimpung dalam dunia film keras itu. Sering mendapat cidera, Barry Prima dianggap ahli dan berpengalaman.

Berkaca pada kasus diatas, maka kita patut banyak tahu tentang saksi ahli, maka dari itu, agar tulisan ini sistematis dan memudahkan pemahaman pembaca secara umum, saya susun dalam bentuk rumusan masalah, seperti berikut : 

1. Apa dasar hukum saksi ahli dalam persidangan?

2. Apakah fungsi saksi ahli dalam persidangan?

3. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli?

4. Adakah hak dan kewajiban saksi ahli dalam persidangan?

Jawaban dari rumusan masalah diatas seperti berikut : 

1. Dasar hukum saksi ahli dalam persidangan.

Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.

Keterangan ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang. 

Saksi Ahli adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP  : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

2. Fungsi saksi ahli dalam persidangan.

Pada dasarnya bila dilihat dari kebutuhan persidangan, kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang mengarah kepada apa yang dilihat, dirasakan dan dialami atas suatu peristiwa pidana. Sedangkan fungsi Saksi Ahli dalam persidangan ialah suatu bentuk kesaksian yang memberikan pendapat atas sesuatu hal menurut keahliannya.

Itulah sebabnya mengapa kepada saksi tidak boleh ditanyakan pendapatnya atas suatu peristiwa perkara tersebut, melainkan hanya boleh memberikan kesaksian sesuai yang dilihat atau diketahui menurut keahliannya.

Maka itu, menurut keperluannya keberadaan seorang saksi ahli dalam pemeriksaan suatu proses perkara pidana, adakalanya diperlukan atau tidak diperlukan. Tergantung dari bentuk dan jenis suatu tindak pidana.

Dengan demikian, pada akhirnya seorang ahli di dalam memberikan keterangan didepan persidangan, selalu berpedoman pada bidang keahliannya. Sehingga ketika ada pertanyaan yang diluar kompetensi keahliannya, seorang ahli dapat dengan tegas menyatakan tidak dapat menjawab karena diluar keahliannya.

3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli.

Dalam kitab hukum Indonesia, salah satunya KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah “selama ia (yang menjadi saksi ahli) memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan”. Keahlian Khusus tersebut dapat diperoleh seseorang baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dan bisa juga melalui sertifikasi dalam bidang terkait keahlian serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Menurut Debra Shinder (2010), yang mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang dapat digunakan sebagai syarat  menjadi saksi ahli, antara lain adalah :

 1. Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang tertentu;

 2. Mempunyai spesialisasi tertentu;

 3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih dibidang tertentu;

 4. Lisensi Profesional, jika masih berlaku;

 5. Ikut sebagai keanggotaan dalam suatu organisasi profesi; posisi kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus;

 6. Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang;

 7. Sertifikasi teknis;

 8. Penghargaan atau pengakuan dari industri.

Kriteria saksi ahli menurut Yahya Harahap, 

Apabila dilihat dari segi hukum, maka seseorang dapat dikatakan sebagai ahli bila memenuhi kriteria sebagai berikut: 

 1. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut;

 2. Seseorang dikatakan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman; dan

 3. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, serta pengaman.

Pada intinya seorang dianggap saksi ahli diperlukan syarat formal untuk membuktikan bahwa dia adalah memang memiliki keahlian tertentu. 

Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pada dasarnya menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1.    dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:

1.    Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;

2.    Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan.

Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.

Mengenai hak dan kewajiban saksi, sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir. Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Selain itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1.    Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);

2.    Saksi wajib untuk tetap  hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);

3.    Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

Sedangkan hak dari saksi antara lain:

1.    Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

2.    Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);

3.    Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);

4.    Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);

5.    Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);

6.    Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);

7.    Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).


Referensi  dan Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cetakan kelima belas, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.

4. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

6. Kapanlagi.com, Saksi Ahli Kasus Jupe, Barry Prima  ditolak jaksa.






 

Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Pada prinsipnya Hukum Perdata dan Hukum Pidana berbeda, Hukum Perdata Fokus pada Hal-hal Privat sedangkan Hukum Pidana Fokus pada Hal-hal Publik,  makanya masalah privat tidak boleh menjadi konsumsi Publik, namun seiring perjalanan kasus, kadang ada perkara Perdata justru dimasukkan pada perkara pidana, hal itu disebabkan karena ada unsur pidana yang dapat dijeratkan pada terlapor yang dimaksud. 

Bagaimana bisa terjadi hukum Perdata menjadi Hukum Pidana? Berikut ulasannya, namun sebelum pada pokok pembahasan, perlu kiranya kita tahu secara sederhana apa itu hukum perdata dan hukum pidana.

Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Pada dasarnya, hukum yang berlaku di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Adapun yang menjadi sumber hukum dalam sistem hukum ini adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif, aturan-aturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan eksekutif (berdasarkan wewenang yang ditetapkan undang-undang), dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Berdasarkan sumber-sumber inilah, sistem hukum Eropa Kontinental kemudian dibagi ke dalam dua golongan, yakni bidang hukum publik dan bidang hukum privat.

1. Hukum publik merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah bersengketa dengan objek hukum (hukum yang telah ada). Atau dalam kata lain, hukum publik merupakan bidang hukum dengan cakupan peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan antara masyarakat dan negara. Adapun jenis hukum yang termasuk dalam ranah hukum publik ialah hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana.

2. Hukum privat atau yang juga disebut dengan hukum perdata merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah berbenturan dengan subjek hukum lainnya. Atau dalam kata lain, hukum privat alias hukum perdata merupakan bidang hukum yang mengatur urusan antar individu dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Hukum Pidana

Sebagai bagian dari hukum publik bersama dengan hukum tata negara, hukum pajak, dan hukum administrasi negara, hukum pidana merupakan serangkaian aturan yang mengatur tindakan larangan. Menurut Prof. Moeljanto S.H., hukum pidana merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

Menentukan dengan cara bagimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia yang ditulis oleh R. Abdoel Djamali S.H., hukum pidana sesungguhnya bertujuan untuk mencegah gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping sebagai sebuah pengobatan bagi pihak yang terlanjur berlaku tidak baik alias menyimpang. Dengan demikian, tujuan adanya hukum pidana secara konkret adalah:

 1. untuk menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan

 2. untuk mendidik orang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Adapun berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.

Hukum pidana materiil (substantive criminal law) adalah serangkaian peraturan hukum atau perundang-undangan yang menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dihukum atau dilarang untuk dilakukan, siapa saja yang dapat dijatuhi hukuman atas tindakan tersebut, dan hukuman apa saja yang dapat diberikan pada subjek yang melanggar serta hal-hal apa saja yang dapat mejadi pengecualian berlakunya penerapan hukum ini.

Hukum pidana formal (hukum acara pidana) adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan atau penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Atau dalam definisi lain, hukum pidana formal merupakan segala ketentuan terkait prosedur penuntutan pihak-pihak yang diduga melakukan perbuatan pidana ke muka pengadilan.

Dalam menyebut sebuah tindakan sebagai delik alias tindak pidana, maka harus ada syarat-syarat yang terpenuhi, yakni:

 1. harus ada perbuatan yang dilakukan baik oleh seseorang maupun beberapa orang;

 2. perbuatan tersebut memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku;

 3. perbuatan tersebut terbukti sebagai perbuatan yang salah dan dapat dipertanggungjawabkan;

4 . perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan

 5. harus ada ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut.

Hukum Perdata

Sebagai makhluk sosial, keberadaan hukum perdata dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perdata hanya akan berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam hukum perdata terdiri atas hukum perdata adat, hukum perdata Eropa, dan hukum perdata yang bersifat nasional. Adapun dalam perumusannya, hukum perdata juga terbagi menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formal.

Hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan, yakni sebagai berikut.

 1. Hukum pribadi (personenrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan soal hak dan kewajiban manusia dalam bertindak sebagai subjek hukum.

 2. Hukum keluarga (familierecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hal-hal terkait kekeluargaan: hubungan lahir dan batin antara pihak-pihak yang terlibat perkawinan (suami dan istri serta anak). Hal-hal yang menjadi cakupan hukum keluarga adalah keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pendewasaan, pengampunan (curatele), dan perkawinan.

 3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hak-hak perolehan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang memiliki nilai uang (hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang). Bila membahas tentang kekayaan seseorang, maka yang dimaksud adalah jumlah dari hak dan kewajiban orang tersebut yang dinilai dengan uang.

 4. Hukum waris (erfecht) 

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang pemindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada pihak-pihak lain yang berhak menerima hak tersebut.

Hukum perdata formal adalah sekumpuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPerdata), sebuah tindakan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila mengandung unsur-unsur berikut:

 1. adanya suatu perbuatan;

 2. perbuatan tersebut melawan hukum sesuai hukum perdata materiil;

 3. adanya kesalahan pelaku;

 4. adanya kerugian yang dialami korban; dan

 5. adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Perubahan Perkara Perdata Menjadi Perkara Pidana

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka sudah cukup jelas apa-apa saja perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana dan perdata. Selama perbuatan subjek hukum bertentangan dengan hal-hal yang merupakan objek hukum (sesuai hukum perdata materiil), maka perkara tersebut dapat dipidanakan. Sementara itu, setiap perbuatan subjek hukum yang bertentangan dengan subjek hukum lainnya (hubungan antarindividu maupun golongan) akan menjadi ranah perkara perdata.

Kendati demikian, tidak jarang sebuah kasus perdata kini dibuat bias penafsiran dan batas-batasnya sehingga seolah-olah membuat kasus tersebut menjadi sebuah tindak pidana. Pertanyaannya, mungkinkah dua buah perkara yang sudah jelas memiliki ruang berbeda dapat menjadi sedemikian tipis batasannya?

Sebenarnya, kasus perdata tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kasus pidana. Bila dalam prosesnya terjadi perubahan kasus perdata yang ditindaklanjuti di lembaga peradilan sebagai delik pidana, hal ini tidak berarti kedudukan kasus tersebut berubah. Alasan munculnya delik pidana yang diproses adalah tidak lain karena pada dasarnya ditemukan unsur tindak pidana yang memang terjadi dalam kasus perdata yang tengah diperkarakan.

Contoh yang paling banyak terjadi untuk kasus ini adalah perjanjian jual beli atau utang piutang antarindividu. Secara hukum, urusan jual beli dan utang piutang sudah jelas menjadi ranah hukum perdata. Kendati demikian dalam kenyataannya, apabila dalam perjalanan kerja sama tersebut ditemukan bukti penipuan, maka barulah kasus tersebut dapat diproses secara pidana.

Penipuan dalam KUHP

Yang perlu digarisbawahi dari pernyataan di atas adalah pada kata ‘bukti penipuan’. Dalam sebuah perjanjian jual beli atau utang piutang, tidak semua kejadian melanggar janji (wanprestasi) yang dilakukan salah satu pihak dapat dinyatakan sebagai sebuah tindak penipuan. Lantas, bilamana sebuah pelanggaran perjanjian dapat dinyatakan sebagai sebuah penipuan yang menjadi ranah delik pidana?

Untuk menjelaskan hal ini, mari merujuk pada pasal 378 KUHP yang termaktub dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang (Bedrog) seperti berikut ini.

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Maka berdasarkan rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur yang dimaksud dalam perbuatan penipuan, yakni:

tindakan dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang; dan

menggunakan salah satu cara penipuan baik menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan lainnya.

Tiga unsur di atas merupakan dasar untuk menentukan apakah pelanggaran perjanjian yang dilakukan termasuk dalam kategori penipuan atau tidak. Bila dari awal sudah ditemukan adanya niat buruk dari pihak yang mengingkari perjanjian seperti menggunakan nama palsu atau serangkaian kebohongan lainnya, maka perkara jual beli atau utang piutang tersebut dikategorikan sebuah perkara pidana.

Penjelasan dan Keterangan Tambahan Pasal 378 KUHP

Sebagai penjelasan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, R. Soesilo dalam KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa:

Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebeneranya ia tidak akan berbuat demikian itu.

Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedang yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak.

Nama palsu = berarti nama yang bukan namanya sendiri. Nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’ itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.

Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.

Rangkaian kata-kata bohong = satu kata bohong tidak cukup, di sini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.

Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, Soebekti memberi penjelasan bahwa penipuan terjadi jika salah satu pihak memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar dengan sengaja dan disertai oleh tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan perjanjian agar memberi perizinan. Dalam kata lain, pihak yang menipu melakukan tindakan secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.

Sementara itu, KUH Perdata pun tidak memberi definisi yang jelas mengenai penipuan dalam ranah hukum perdata. Namun bila meninjau pengaturan dalam pasal 1328 KUH Perdata sebagaimana yang telah diterjemahkan oleh Prof. R. Soebekti S.H. dan R. Tjitrosudibio, “penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan, tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan pihak pelanggar melakukan kasus penipuan atau wanprestasi harus lebih dulu dilakukan pemeriksaan sebenar-benarnya.  Lantas, bilamana terjadinya sebuah pelanggaran terhadap kewajiban sebuah perjanjian tersebut hanya menjadi sebuah wanprestasi dan tidak dapat diproses secara hukum pidana?

Penipuan atau Wanprestasi?

Untuk lebih jelasnya, mari membuat sebuah permisalan kasus. A dan B menjalani sebuah kesepakatan dengan ketentuan A meminjam dana kepada B sebesar Rp40.000.000,00 dengan bunga sebesar 0,5% setiap bulannya. Dana tersebut akan dikembalikan dengan skema cicilan setiap bulan dan pembayaran setiap tanggal 15.

Dalam enam bulan pertama, A melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dua belah pihak di awal. Namun di bulan berikutnya, A tidak dapat memenuhi kewajibannya dan berkelanjutan hingga ke bulan-bulan berikutnya. Merasa dirugikan, B pun memutuskan untuk memperkarakan hal tersebut ke meja hijau.

Secara prinsip, perjanjian utang piutang yang dilakukan A dan B merupakan hubungan keperdataan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang pengertian pinjam meminjam, “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”

Kendati demikian, perkara pelanggaran perjanjian yang dilakukan A dapat diproses secara pidana bilamana memang ditemukan unsur penipuan dan niat jahat di dalamnya. Bila unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal 378 KUHP terpenuhi, maka kasus dapat diadili dengan dasar delik pidana.

Setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai sebuah perkara pidana haruslah memiliki perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Bila actus reus merupakan sebuah perbuatan melawan hukum, maka yang dimaksud dengan mens rea adalah hal-hal yang mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana.

Dalam kasus ini, seperti contoh, sedari awal A memang berniat jahat untuk melakukan penipuan—menggunakan nama atau status palsu, pembohongan tujuan penggunaan dana pinjaman, atau tahu baru bahwa dari awal dia tidak akan mampu memenuhi kewajibannya akan tetapi tetap menyanggupi untuk memenuhi kewajibannya dengan menciptakan serangkaian kebohongan (tipu muslihat) atau hal-hal lain sebagainya.

Namun kasus akan menjadi berbeda bila ternyata A melakukan sebuah ketidaksengajaan. Saat melakukan kesepakatan di awal, A memberikan data sebenar-benarnya dan mengetahui bahwa dia memiliki dana dan sanggup untuk melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai peminjam dana. Sayangnya dalam perjalanan, terjadi sesuatu yang menyebabkan dia tidak mampu untuk melaksanakan keharusan sebagaimana mestinya seperti sakit parah, PHK, atau faktor lain yang sama sekali di luar prediksi dan kesengajaan.

Selagi A memiliki iktikad baik untuk menjalankan apa yang menjadi kewajibannya, maka B tidak dapat menggugat kasus ini sebagai delik pidana. Hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Artinya pengadilan tidak bisa memidanakan seseorang lantaran ketidakmampuannya membayar utang.erggelapan. Dalam KUHP pasal 372, disebutkan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Terkait hal ini, R. Soesilo juga menjelaskan dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal bahwa, “penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP.” Lalu apa yang menjadi perbedaan antara penggelapan dan pencurian? Perbedaan ini ada pada bahwa pencurian, barang yang dimiliki masih belum di tangan pencuri dan masih harus diambil, sementara pada penggelapan, barang tersebut sudah berada di tangan pelaku.

Itulah informasi mengenai hukum pidana dan perdata dan bilamana sebuah perkara perdata menjadi pidana. Pada dasarnya, setiap pihak yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan kepada pihak berwajib untuk dilakukan proses pidana meski sesungguhnya pihak yang melanggar perjanjian tidak memiliki iktikad jahat. Namun bagaimana pun, penegak hukum tetap harus jeli dan bijak untuk memutuskan apakah perkara tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai pidana atau tidak.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita Nomor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget