Articles by "Advokat Bondowoso"

 

 

 

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan tersebut untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

Dasar hukum somasi diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa somasi harus dilakukan sebelum tindakan hukum dilakukan. Pasal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Pasal 1238 KUH Perdata sebagaimana berbunyi:

"Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."

Somasi dapat digunakan dalam berbagai macam kasus, antara lain:

1.    Pelanggaran kontrak Jika terjadi pelanggaran kontrak, pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran untuk meminta ganti rugi atau menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

2.    Perkara pidana Dalam kasus perkara pidana, somasi dapat digunakan sebagai tahap awal sebelum mengajukan laporan ke pihak kepolisian. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengeluarkan somasi kepada pihak yang melakukan tindakan merugikan untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi.

3.    Perselisihan bisnis Somasi juga dapat digunakan dalam perselisihan bisnis. Jika terjadi perselisihan antara dua perusahaan, salah satu pihak dapat mengeluarkan somasi kepada pihak lain untuk menyelesaikan masalah secara damai sebelum mengambil tindakan hukum.

Dalam praktik hukum, somasi biasanya digunakan dalam ranah hukum perdata dan pidana untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan.

Dalam hukum perdata, somasi digunakan untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap melanggar kontrak atau tindakan yang merugikan dalam sebuah perjanjian. Somasi ini diberikan oleh pihak yang dirugikan dengan tujuan untuk meminta pihak yang melakukan pelanggaran untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi, sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar.

Sementara itu, dalam hukum pidana, somasi dapat digunakan sebagai upaya terakhir untuk menghindari pengadilan atau tindakan hukum yang lebih besar. Somasi dalam hukum pidana dikeluarkan oleh korban atau kuasanya untuk memberikan peringatan kepada pelaku tindak pidana untuk menyerahkan barang bukti atau mengembalikan hak milik korban, atau memberikan ganti rugi sebelum proses pidana dilanjutkan.

Dalam kedua ranah hukum tersebut, somasi memberikan kesempatan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan memberikan perbaikan atau ganti rugi sebelum memasuki proses hukum yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pihak yang menerima somasi untuk merespons dengan baik dan menindaklanjuti dengan cepat, agar masalah dapat diselesaikan secara damai.

Solusi Saat Mendapatkan Somasi

Jika Anda menerima somasi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai solusi, antara lain:

1.    Cari tahu dan pahami isi somasi Sebelum mengambil tindakan apapun, pastikan Anda memahami dengan baik isi somasi yang diterima. Baca dengan teliti dan cermat setiap poin yang disebutkan dalam somasi.

2.    Tanggapi somasi dengan bijaksana Setelah memahami isi somasi, tanggapi dengan bijaksana dan jangan terpancing emosi. Usahakan untuk menyelesaikan masalah secara damai dan hindari konflik yang lebih besar.

3.    Konsultasikan dengan pengacara Jika Anda kesulitan atau tidak memahami somasi yang diterima, konsultasikan dengan pengacara untuk mendapatkan saran dan bantuan yang tepat.

4.    Segera tindak lanjuti somasi Jangan menunda-nunda untuk menindaklanjuti somasi yang diterima. Jika memang terdapat kesalahan atau tindakan yang merugikan, segera lakukan perbaikan atau ganti rugi yang diminta dalam somasi tersebut. Jangan biarkan masalah berlarut-larut dan berujung pada tindakan hukum yang lebih besar.

  1. Jangan mengabaikan somasi Jangan mengabaikan somasi yang diterima. Jika Anda mengabaikan somasi, pihak yang mengeluarkan somasi berhak untuk mengambil tindakan hukum yang lebih besar dan Anda akan berada dalam posisi yang lebih sulit untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Somasi adalah sebuah surat peringatan yang dikeluarkan oleh seseorang atau sebuah badan hukum kepada pihak yang dianggap telah melakukan pelanggaran atau tindakan yang merugikan. Somasi ini diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan untuk segera memperbaiki atau mengganti kerugian yang telah terjadi. Somasi dapat digunakan dalam berbagai kasus, seperti pelanggaran kontrak, perkara pidana, dan perselisihan bisnis. Jika Anda menerima somasi, penting untuk memahami isi somasi dengan baik, tanggap dengan bijaksana, konsultasikan dengan pengacara jika perlu, tindak lanjuti dengan cepat, dan jangan mengabaikan somasi yang diterima. Dengan menyelesaikan masalah secara damai melalui somasi, dapat menghindari konflik yang lebih besar dan menghemat biaya dan waktu yang diperlukan dalam proses hukum.

Dalam menangani somasi, penting untuk memiliki bantuan dari pengacara yang berpengalaman dan ahli dalam hukum perdata. Jika Anda membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan masalah hukum Anda, firma hukum kami siap membantu Anda. Kami memiliki tim ahli pengacara yang dapat membantu Anda dalam menangani somasi dan memberikan solusi terbaik untuk masalah hukum Anda. Jangan ragu untuk menghubungi kami dan mempercayakan masalah hukum Anda kepada kami. Kami akan memberikan yang terbaik untuk Anda.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan yang perlu dikonsultasikan atau membutuhkan bantuan profesional dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.

---

Berikut beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan somasi:

  1. Apa itu somasi dalam hukum perdata?
  2. Apa saja dasar hukum penggunaan somasi dalam penyelesaian sengketa?
  3. Bagaimana cara memberikan somasi kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran atau tindakan merugikan?
  4. Apa yang harus dilakukan jika menerima somasi?
  5. Apa saja jenis kasus yang dapat diselesaikan melalui somasi?
  6. Apa konsekuensi hukum jika mengabaikan somasi yang diterima?
  7. Kapan waktu yang tepat untuk memberikan somasi dalam kasus sengketa?
  8. Apakah somasi selalu dapat menyelesaikan masalah hukum secara damai?
  9. Apa peran pengacara dalam penanganan somasi?
  10. Apakah ada sanksi yang dapat diberikan oleh pengadilan jika pihak yang menerima somasi tidak menindaklanjuti somasi tersebut?





 

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 

Penadahan adalah suatu tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Penadahan diartikan sebagai tindakan membeli, menyembunyikan, menyimpan, mengangkut, atau menyediakan barang hasil kejahatan, tanpa memperhatikan asal usul barang tersebut.


Di Indonesia, penadahan diatur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "Barang siapa dengan sengaja membeli, menerima, atau menyembunyikan barang-barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."


Penadahan termasuk dalam tindakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat dan pihak yang kehilangan barang. Dalam konteks bisnis, penadahan dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan yang kehilangan barang, karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli kembali barang yang hilang. Selain itu, penadahan juga dapat menyebabkan kerugian moral dan sosial, karena tindakan ini dapat memperkuat praktik kejahatan dan korupsi.


Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penadahan, salah satunya dengan menerapkan sistem pengawasan yang ketat terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku penadahan, baik berupa pidana penjara maupun denda.


Dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap penadahan masih banyak menghadapi tantangan, terutama dalam hal bukti yang cukup untuk menjerat pelaku. Oleh karena itu, pihak kepolisian dan pengadilan harus bekerja sama dengan instansi lainnya, seperti Kementerian Keuangan dan Bea Cukai, untuk mengumpulkan bukti yang cukup dan memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku penadahan.


Dalam upaya mencegah penadahan, masyarakat juga perlu berperan aktif dengan tidak membeli barang-barang yang mencurigakan atau berasal dari sumber yang tidak jelas. Masyarakat juga dapat melapor kepada pihak berwenang jika menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang-barang hasil kejahatan.


Secara keseluruhan, penadahan adalah tindakan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta pihak yang kehilangan barang. Oleh karena itu, pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi penadahan agar dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.


Berikut ini adalah beberapa tips dari kami yang dapat membantu Anda untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan dan menghindari penadahan:


1. Periksa asal-usul barang: Pastikan bahwa barang yang akan Anda beli memiliki dokumen atau bukti kepemilikan yang sah dan jelas. Jangan membeli barang yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau mencurigakan.


2. Periksa harga barang: Jangan mudah tergoda dengan harga yang sangat murah atau diskon yang tidak masuk akal. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan.


3. Beli dari sumber yang terpercaya: Beli barang dari toko atau penjual yang terpercaya dan memiliki reputasi yang baik. Jangan membeli dari penjual yang tidak dikenal atau penjual yang baru saja membuka toko.


4. Perhatikan kondisi barang: Perhatikan kondisi barang yang akan Anda beli. Pastikan barang tersebut dalam kondisi baik dan sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh penjual.


5. Hindari pembelian online dari sumber yang tidak jelas: Jangan mudah tergoda untuk membeli barang secara online dari sumber yang tidak jelas. Pastikan bahwa penjual memiliki reputasi yang baik dan memiliki alamat atau nomor telepon yang dapat dihubungi.


6. Laporkan jika menemukan kecurigaan: Jika Anda menemukan kecurigaan terhadap peredaran barang hasil kejahatan, laporkan hal tersebut kepada pihak berwenang seperti kepolisian atau bea cukai.


Dengan mengikuti tips-tips di atas, Anda dapat membantu mencegah penadahan dan turut mendukung upaya pemerintah dan penegak hukum dalam menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil.


Demikianlah artikel tentang penadahan dan tips untuk menghindari pembelian barang hasil kejahatan yang dapat kami sampaikan. Sebagai firma hukum yang berkomitmen untuk mendorong kepatuhan terhadap hukum dan etika dalam kehidupan sehari-hari, kami mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.


Jangan lupa, konsumen yang cerdas dan berhati-hati tidak hanya dapat menghindari kerugian finansial yang disebabkan oleh pembelian barang hasil kejahatan, tetapi juga turut memperkuat nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita semua berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil.


Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika Anda memiliki pertanyaan atau membutuhkan bantuan dalam hal hukum, jangan ragu untuk menghubungi kami di  firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang Anda hadapi.


---

#pengacaraterbaik

#pengacaraprofesional

 


Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang terjadi ketika salah satu pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Dalam hal ini, pihak yang gagal memenuhi kewajibannya dianggap telah melakukan wanprestasi.

Menurut hukum, setiap perjanjian harus dipatuhi oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak yang sering terjadi dalam dunia bisnis. Untuk menghadapi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil tindakan hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya wanprestasi dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci, melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian, dan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian.

Mengenai ikhal wanprestasi secara hukum telah diatur dalam ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya, maka pihak yang lain berhak menuntut pemenuhan kewajiban tersebut dan/atau ganti rugi atas kerugian yang diderita.

Kemudian, Pasal 1244 KUH Perdata juga menegaskan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan dapat memilih antara meminta pemenuhan kewajiban yang tidak terpenuhi atau meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita. Pemilihan ini bergantung pada kebijaksanaan pihak yang dirugikan.

Namun, dalam praktiknya, proses penyelesaian wanprestasi dapat berbeda-beda tergantung pada jenis perjanjian yang terlibat dan klausul-klausul yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari kontrak dengan cermat sebelum membuatnya dan mempertimbangkan pengaturan hukum yang relevan dalam kasus-kasus spesifik yang terkait dengan wanprestasi.

Salah satu cara untuk menghadapi wanprestasi adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita akibat wanprestasi tersebut. Pihak yang melakukan wanprestasi dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang merasa dirugikan.

Selain itu, terdapat juga beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghindari terjadinya wanprestasi. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan terperinci mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya ketidaksepakatan di kemudian hari.

Langkah kedua adalah dengan melakukan penilaian risiko sebelum membuat perjanjian. Dengan melakukan penilaian risiko, pihak yang terlibat dapat menentukan apakah risiko yang dihadapi dapat diterima atau tidak. Jika risiko yang dihadapi terlalu besar, maka perjanjian dapat ditunda atau dibatalkan.

Langkah ketiga adalah dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus terhadap pelaksanaan perjanjian. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, pihak yang terlibat dapat mengidentifikasi kemungkinan terjadinya wanprestasi sejak dini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegahnya.

Dalam praktik hukum, perjanjian atau kontrak merupakan salah satu instrumen yang paling penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak para pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk memahami ketentuan hukum yang mengatur perjanjian, termasuk mengenai wanprestasi dan itikad baik dalam pembuatan perjanjian.

Sebagai firma hukum yang memberikan jasa hukum secara profesional, kami memahami betapa pentingnya peran perjanjian dalam transaksi bisnis, dan kami siap membantu para klien kami dalam membuat, mengevaluasi, dan menegosiasikan perjanjian yang menguntungkan bagi mereka. Kami juga siap membantu para klien kami dalam menangani kasus-kasus terkait dengan wanprestasi atau pelanggaran kontrak, dengan tujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi dan dipertahankan dengan efektif.

Dalam menjalankan tugas kami, kami mengutamakan prinsip kejujuran, profesionalisme, dan kerja sama yang baik dengan para klien kami. Kami juga selalu berusaha untuk memberikan solusi hukum yang tepat dan efektif untuk setiap masalah yang dihadapi oleh klien kami.

Jika Anda memerlukan bantuan atau konsultasi dalam hal perjanjian atau wanprestasi, jangan ragu untuk menghubungi kami di firma hukum Profesional Dedi Rahman Hasyim, S.H., M.H dan Rekan. Kami siap membantu Anda dan memberikan solusi terbaik untuk kebutuhan hukum Anda.

 


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)

Mati Haqiqi, Mati Hukmy, Mati Taqdiri

Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan ke dalam tiga macam yaitu mati hakiki, mati hukmi, dan mati taqdiri:

a. Mati hakiki (sejati)

Mati hakiki adalah kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian. Dan dapat disaksikan panca indra.

b. Mati hukmi

Mati hukmi adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim, misalnya seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud) tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia, sebagai suatu keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

c. Mati Taqdiri

Mati Taqdiri adalah anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya seseorang yang diketahui ikut berperang atau secara lahiriyah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya, setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal dunia.

https://www.suduthukum.com/2014/08/syarat-dan-rukun-waris.ht...

Selanjutnya, menurut kamus hukum Black:

natural death = death from natural causes.

Jadi, ini adalah kematian karena sebab alami, misalnya usia lanjut dan penyakit. Definisi ini sepadan dg pengertian mati hakiki.

legal/brain death = the bodily condition of showing no response to external stimuli.

Menurut definisi ini, orang tsb secara biologis masih hidup tapi secara hukum sudah mati karena sudah tidak bisa melakukan apa2 lagi. Definisi ini selaras dg makna mati hukmi (mati secara hukum) di atas.

presumptive death = death inferred from proof of the person's long unexplained absence, usually after seven years.

Ini adalah keadaan di mana seseorang dianggap sudah meninggal karena menghilang dalam waktu lama tanpa kabar, biasanya setelah tujuh tahun. Definisi ini setara dg mati takdiri di atas.

Garner, Bryan A. 2014. Black's Law Dictionary. 10th Edition. St. Paul: Thomson Reuters.

Penjelasan:

🏝️ mati haqiqi merupakan kematian yang dipastikan (confirmed), utamanya lewat kesaksian, yang kemudian disahkan (mis. surat keterangan dokter, surat pernyataan kepala kampung u/ di pedalaman). Jenazah jelas-jelas disaksikan sudah mati. Argumentasi fikih ada di surjaya ke-1.

🏝️ mati hukmy adalah kematian, sebagaimana tanyaan, yang disahkan lewat proses hukum, tanpa pembuktian fisik (misalnya pesawat terbang hilang di laut, mayat penumpangnya tidak ditemukan). Maka ini adalah death in-absentia, sebagaimana yang dijelaskan di surjaya ke-2 dan 3.

🏝️ mati taqdiri, per contoh-contoh yang diberikan, adalah kematian sebelum diakui hidup [secara hukum] (bayi yang mati dalam kandungan ibunya belum punya NIK). Jadi, kematian anggapan (presumed death) karena secara keyakinan agama, kita sudah mengakui kehidupannya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216




Kita masih ingat kasus perseteruan dan pertengkaran Dewi Persik (Depe) dan Mendiang Julia Presz (Jupe) yang terjadi sekitar tahun 2011 silam, dimana dalam perseteruan tersebut hingga masuk dalam persidangan, namun dalam hal ini kita tidak mau masuk pada pembahasan Gosip atau permasalahan kedua artis tanah air tersebut, yang menarik dari kasus dalam kasus tersebut adalah, ketika jaksa menolak Saksi Ahli yang diajukan Julia perez, pihak Julia Perez mengajukan Barry Prima seorang aktor pemain Film laga tahun 80-90an, Barry Prima dalam kancah perfilman laga cukup populer tahun-tahun itu, namun posisinya ketika dihadirkan dalam sidang sebagai saksi ahli ditolak oleh jaksa dikarenakan seorang Barry Prima dianggap tidak memiliki pendidikan formal yang disebut sebagai ahli dalam bidangnya.

Bagi pihak Jupe, Barry Prima adalah orang yang sudah berpengalaman di bidangnya, mengingat aktor laga tersebut sudah 30 tahun berkecimpung dalam dunia film keras itu. Sering mendapat cidera, Barry Prima dianggap ahli dan berpengalaman.

Berkaca pada kasus diatas, maka kita patut banyak tahu tentang saksi ahli, maka dari itu, agar tulisan ini sistematis dan memudahkan pemahaman pembaca secara umum, saya susun dalam bentuk rumusan masalah, seperti berikut : 

1. Apa dasar hukum saksi ahli dalam persidangan?

2. Apakah fungsi saksi ahli dalam persidangan?

3. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli?

4. Adakah hak dan kewajiban saksi ahli dalam persidangan?

Jawaban dari rumusan masalah diatas seperti berikut : 

1. Dasar hukum saksi ahli dalam persidangan.

Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.

Keterangan ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang. 

Saksi Ahli adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP  : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

2. Fungsi saksi ahli dalam persidangan.

Pada dasarnya bila dilihat dari kebutuhan persidangan, kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang mengarah kepada apa yang dilihat, dirasakan dan dialami atas suatu peristiwa pidana. Sedangkan fungsi Saksi Ahli dalam persidangan ialah suatu bentuk kesaksian yang memberikan pendapat atas sesuatu hal menurut keahliannya.

Itulah sebabnya mengapa kepada saksi tidak boleh ditanyakan pendapatnya atas suatu peristiwa perkara tersebut, melainkan hanya boleh memberikan kesaksian sesuai yang dilihat atau diketahui menurut keahliannya.

Maka itu, menurut keperluannya keberadaan seorang saksi ahli dalam pemeriksaan suatu proses perkara pidana, adakalanya diperlukan atau tidak diperlukan. Tergantung dari bentuk dan jenis suatu tindak pidana.

Dengan demikian, pada akhirnya seorang ahli di dalam memberikan keterangan didepan persidangan, selalu berpedoman pada bidang keahliannya. Sehingga ketika ada pertanyaan yang diluar kompetensi keahliannya, seorang ahli dapat dengan tegas menyatakan tidak dapat menjawab karena diluar keahliannya.

3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli.

Dalam kitab hukum Indonesia, salah satunya KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah “selama ia (yang menjadi saksi ahli) memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan”. Keahlian Khusus tersebut dapat diperoleh seseorang baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dan bisa juga melalui sertifikasi dalam bidang terkait keahlian serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Menurut Debra Shinder (2010), yang mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang dapat digunakan sebagai syarat  menjadi saksi ahli, antara lain adalah :

 1. Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang tertentu;

 2. Mempunyai spesialisasi tertentu;

 3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih dibidang tertentu;

 4. Lisensi Profesional, jika masih berlaku;

 5. Ikut sebagai keanggotaan dalam suatu organisasi profesi; posisi kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus;

 6. Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang;

 7. Sertifikasi teknis;

 8. Penghargaan atau pengakuan dari industri.

Kriteria saksi ahli menurut Yahya Harahap, 

Apabila dilihat dari segi hukum, maka seseorang dapat dikatakan sebagai ahli bila memenuhi kriteria sebagai berikut: 

 1. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut;

 2. Seseorang dikatakan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman; dan

 3. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, serta pengaman.

Pada intinya seorang dianggap saksi ahli diperlukan syarat formal untuk membuktikan bahwa dia adalah memang memiliki keahlian tertentu. 

Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pada dasarnya menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1.    dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:

1.    Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;

2.    Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan.

Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.

Mengenai hak dan kewajiban saksi, sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir. Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Selain itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1.    Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);

2.    Saksi wajib untuk tetap  hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);

3.    Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

Sedangkan hak dari saksi antara lain:

1.    Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

2.    Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);

3.    Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);

4.    Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);

5.    Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);

6.    Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);

7.    Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).


Referensi  dan Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cetakan kelima belas, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.

4. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

6. Kapanlagi.com, Saksi Ahli Kasus Jupe, Barry Prima  ditolak jaksa.






 

Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Pada prinsipnya Hukum Perdata dan Hukum Pidana berbeda, Hukum Perdata Fokus pada Hal-hal Privat sedangkan Hukum Pidana Fokus pada Hal-hal Publik,  makanya masalah privat tidak boleh menjadi konsumsi Publik, namun seiring perjalanan kasus, kadang ada perkara Perdata justru dimasukkan pada perkara pidana, hal itu disebabkan karena ada unsur pidana yang dapat dijeratkan pada terlapor yang dimaksud. 

Bagaimana bisa terjadi hukum Perdata menjadi Hukum Pidana? Berikut ulasannya, namun sebelum pada pokok pembahasan, perlu kiranya kita tahu secara sederhana apa itu hukum perdata dan hukum pidana.

Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Pada dasarnya, hukum yang berlaku di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Adapun yang menjadi sumber hukum dalam sistem hukum ini adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif, aturan-aturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan eksekutif (berdasarkan wewenang yang ditetapkan undang-undang), dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Berdasarkan sumber-sumber inilah, sistem hukum Eropa Kontinental kemudian dibagi ke dalam dua golongan, yakni bidang hukum publik dan bidang hukum privat.

1. Hukum publik merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah bersengketa dengan objek hukum (hukum yang telah ada). Atau dalam kata lain, hukum publik merupakan bidang hukum dengan cakupan peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan antara masyarakat dan negara. Adapun jenis hukum yang termasuk dalam ranah hukum publik ialah hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana.

2. Hukum privat atau yang juga disebut dengan hukum perdata merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah berbenturan dengan subjek hukum lainnya. Atau dalam kata lain, hukum privat alias hukum perdata merupakan bidang hukum yang mengatur urusan antar individu dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Hukum Pidana

Sebagai bagian dari hukum publik bersama dengan hukum tata negara, hukum pajak, dan hukum administrasi negara, hukum pidana merupakan serangkaian aturan yang mengatur tindakan larangan. Menurut Prof. Moeljanto S.H., hukum pidana merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

Menentukan dengan cara bagimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia yang ditulis oleh R. Abdoel Djamali S.H., hukum pidana sesungguhnya bertujuan untuk mencegah gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping sebagai sebuah pengobatan bagi pihak yang terlanjur berlaku tidak baik alias menyimpang. Dengan demikian, tujuan adanya hukum pidana secara konkret adalah:

 1. untuk menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan

 2. untuk mendidik orang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Adapun berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.

Hukum pidana materiil (substantive criminal law) adalah serangkaian peraturan hukum atau perundang-undangan yang menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dihukum atau dilarang untuk dilakukan, siapa saja yang dapat dijatuhi hukuman atas tindakan tersebut, dan hukuman apa saja yang dapat diberikan pada subjek yang melanggar serta hal-hal apa saja yang dapat mejadi pengecualian berlakunya penerapan hukum ini.

Hukum pidana formal (hukum acara pidana) adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan atau penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Atau dalam definisi lain, hukum pidana formal merupakan segala ketentuan terkait prosedur penuntutan pihak-pihak yang diduga melakukan perbuatan pidana ke muka pengadilan.

Dalam menyebut sebuah tindakan sebagai delik alias tindak pidana, maka harus ada syarat-syarat yang terpenuhi, yakni:

 1. harus ada perbuatan yang dilakukan baik oleh seseorang maupun beberapa orang;

 2. perbuatan tersebut memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku;

 3. perbuatan tersebut terbukti sebagai perbuatan yang salah dan dapat dipertanggungjawabkan;

4 . perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan

 5. harus ada ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut.

Hukum Perdata

Sebagai makhluk sosial, keberadaan hukum perdata dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perdata hanya akan berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam hukum perdata terdiri atas hukum perdata adat, hukum perdata Eropa, dan hukum perdata yang bersifat nasional. Adapun dalam perumusannya, hukum perdata juga terbagi menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formal.

Hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan, yakni sebagai berikut.

 1. Hukum pribadi (personenrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan soal hak dan kewajiban manusia dalam bertindak sebagai subjek hukum.

 2. Hukum keluarga (familierecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hal-hal terkait kekeluargaan: hubungan lahir dan batin antara pihak-pihak yang terlibat perkawinan (suami dan istri serta anak). Hal-hal yang menjadi cakupan hukum keluarga adalah keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pendewasaan, pengampunan (curatele), dan perkawinan.

 3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hak-hak perolehan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang memiliki nilai uang (hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang). Bila membahas tentang kekayaan seseorang, maka yang dimaksud adalah jumlah dari hak dan kewajiban orang tersebut yang dinilai dengan uang.

 4. Hukum waris (erfecht) 

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang pemindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada pihak-pihak lain yang berhak menerima hak tersebut.

Hukum perdata formal adalah sekumpuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPerdata), sebuah tindakan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila mengandung unsur-unsur berikut:

 1. adanya suatu perbuatan;

 2. perbuatan tersebut melawan hukum sesuai hukum perdata materiil;

 3. adanya kesalahan pelaku;

 4. adanya kerugian yang dialami korban; dan

 5. adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Perubahan Perkara Perdata Menjadi Perkara Pidana

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka sudah cukup jelas apa-apa saja perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana dan perdata. Selama perbuatan subjek hukum bertentangan dengan hal-hal yang merupakan objek hukum (sesuai hukum perdata materiil), maka perkara tersebut dapat dipidanakan. Sementara itu, setiap perbuatan subjek hukum yang bertentangan dengan subjek hukum lainnya (hubungan antarindividu maupun golongan) akan menjadi ranah perkara perdata.

Kendati demikian, tidak jarang sebuah kasus perdata kini dibuat bias penafsiran dan batas-batasnya sehingga seolah-olah membuat kasus tersebut menjadi sebuah tindak pidana. Pertanyaannya, mungkinkah dua buah perkara yang sudah jelas memiliki ruang berbeda dapat menjadi sedemikian tipis batasannya?

Sebenarnya, kasus perdata tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kasus pidana. Bila dalam prosesnya terjadi perubahan kasus perdata yang ditindaklanjuti di lembaga peradilan sebagai delik pidana, hal ini tidak berarti kedudukan kasus tersebut berubah. Alasan munculnya delik pidana yang diproses adalah tidak lain karena pada dasarnya ditemukan unsur tindak pidana yang memang terjadi dalam kasus perdata yang tengah diperkarakan.

Contoh yang paling banyak terjadi untuk kasus ini adalah perjanjian jual beli atau utang piutang antarindividu. Secara hukum, urusan jual beli dan utang piutang sudah jelas menjadi ranah hukum perdata. Kendati demikian dalam kenyataannya, apabila dalam perjalanan kerja sama tersebut ditemukan bukti penipuan, maka barulah kasus tersebut dapat diproses secara pidana.

Penipuan dalam KUHP

Yang perlu digarisbawahi dari pernyataan di atas adalah pada kata ‘bukti penipuan’. Dalam sebuah perjanjian jual beli atau utang piutang, tidak semua kejadian melanggar janji (wanprestasi) yang dilakukan salah satu pihak dapat dinyatakan sebagai sebuah tindak penipuan. Lantas, bilamana sebuah pelanggaran perjanjian dapat dinyatakan sebagai sebuah penipuan yang menjadi ranah delik pidana?

Untuk menjelaskan hal ini, mari merujuk pada pasal 378 KUHP yang termaktub dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang (Bedrog) seperti berikut ini.

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Maka berdasarkan rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur yang dimaksud dalam perbuatan penipuan, yakni:

tindakan dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang; dan

menggunakan salah satu cara penipuan baik menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan lainnya.

Tiga unsur di atas merupakan dasar untuk menentukan apakah pelanggaran perjanjian yang dilakukan termasuk dalam kategori penipuan atau tidak. Bila dari awal sudah ditemukan adanya niat buruk dari pihak yang mengingkari perjanjian seperti menggunakan nama palsu atau serangkaian kebohongan lainnya, maka perkara jual beli atau utang piutang tersebut dikategorikan sebuah perkara pidana.

Penjelasan dan Keterangan Tambahan Pasal 378 KUHP

Sebagai penjelasan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, R. Soesilo dalam KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa:

Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebeneranya ia tidak akan berbuat demikian itu.

Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedang yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak.

Nama palsu = berarti nama yang bukan namanya sendiri. Nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’ itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.

Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.

Rangkaian kata-kata bohong = satu kata bohong tidak cukup, di sini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.

Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, Soebekti memberi penjelasan bahwa penipuan terjadi jika salah satu pihak memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar dengan sengaja dan disertai oleh tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan perjanjian agar memberi perizinan. Dalam kata lain, pihak yang menipu melakukan tindakan secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.

Sementara itu, KUH Perdata pun tidak memberi definisi yang jelas mengenai penipuan dalam ranah hukum perdata. Namun bila meninjau pengaturan dalam pasal 1328 KUH Perdata sebagaimana yang telah diterjemahkan oleh Prof. R. Soebekti S.H. dan R. Tjitrosudibio, “penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan, tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan pihak pelanggar melakukan kasus penipuan atau wanprestasi harus lebih dulu dilakukan pemeriksaan sebenar-benarnya.  Lantas, bilamana terjadinya sebuah pelanggaran terhadap kewajiban sebuah perjanjian tersebut hanya menjadi sebuah wanprestasi dan tidak dapat diproses secara hukum pidana?

Penipuan atau Wanprestasi?

Untuk lebih jelasnya, mari membuat sebuah permisalan kasus. A dan B menjalani sebuah kesepakatan dengan ketentuan A meminjam dana kepada B sebesar Rp40.000.000,00 dengan bunga sebesar 0,5% setiap bulannya. Dana tersebut akan dikembalikan dengan skema cicilan setiap bulan dan pembayaran setiap tanggal 15.

Dalam enam bulan pertama, A melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dua belah pihak di awal. Namun di bulan berikutnya, A tidak dapat memenuhi kewajibannya dan berkelanjutan hingga ke bulan-bulan berikutnya. Merasa dirugikan, B pun memutuskan untuk memperkarakan hal tersebut ke meja hijau.

Secara prinsip, perjanjian utang piutang yang dilakukan A dan B merupakan hubungan keperdataan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang pengertian pinjam meminjam, “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”

Kendati demikian, perkara pelanggaran perjanjian yang dilakukan A dapat diproses secara pidana bilamana memang ditemukan unsur penipuan dan niat jahat di dalamnya. Bila unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal 378 KUHP terpenuhi, maka kasus dapat diadili dengan dasar delik pidana.

Setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai sebuah perkara pidana haruslah memiliki perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Bila actus reus merupakan sebuah perbuatan melawan hukum, maka yang dimaksud dengan mens rea adalah hal-hal yang mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana.

Dalam kasus ini, seperti contoh, sedari awal A memang berniat jahat untuk melakukan penipuan—menggunakan nama atau status palsu, pembohongan tujuan penggunaan dana pinjaman, atau tahu baru bahwa dari awal dia tidak akan mampu memenuhi kewajibannya akan tetapi tetap menyanggupi untuk memenuhi kewajibannya dengan menciptakan serangkaian kebohongan (tipu muslihat) atau hal-hal lain sebagainya.

Namun kasus akan menjadi berbeda bila ternyata A melakukan sebuah ketidaksengajaan. Saat melakukan kesepakatan di awal, A memberikan data sebenar-benarnya dan mengetahui bahwa dia memiliki dana dan sanggup untuk melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai peminjam dana. Sayangnya dalam perjalanan, terjadi sesuatu yang menyebabkan dia tidak mampu untuk melaksanakan keharusan sebagaimana mestinya seperti sakit parah, PHK, atau faktor lain yang sama sekali di luar prediksi dan kesengajaan.

Selagi A memiliki iktikad baik untuk menjalankan apa yang menjadi kewajibannya, maka B tidak dapat menggugat kasus ini sebagai delik pidana. Hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Artinya pengadilan tidak bisa memidanakan seseorang lantaran ketidakmampuannya membayar utang.erggelapan. Dalam KUHP pasal 372, disebutkan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Terkait hal ini, R. Soesilo juga menjelaskan dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal bahwa, “penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP.” Lalu apa yang menjadi perbedaan antara penggelapan dan pencurian? Perbedaan ini ada pada bahwa pencurian, barang yang dimiliki masih belum di tangan pencuri dan masih harus diambil, sementara pada penggelapan, barang tersebut sudah berada di tangan pelaku.

Itulah informasi mengenai hukum pidana dan perdata dan bilamana sebuah perkara perdata menjadi pidana. Pada dasarnya, setiap pihak yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan kepada pihak berwajib untuk dilakukan proses pidana meski sesungguhnya pihak yang melanggar perjanjian tidak memiliki iktikad jahat. Namun bagaimana pun, penegak hukum tetap harus jeli dan bijak untuk memutuskan apakah perkara tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai pidana atau tidak.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita Nomor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


 


Advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum tentu memiliki Hak dan Kewajiban yang perlu diperhatikan secara hati-hati dan hati-hati. Seorang Advokat tentu tidak hanya memperhatikan haknya untuk memperoleh Honorarium, namun juga perlu memperhatikan kewajiban lainnya baik yang ada dalam Kode Etik Advokat Indonesia maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sebagai profesi yang nyata, seluruh Advokat wajib tunduk kepada Kode Etik Advokat Indonesia. Dalam kode etik yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, dijelaskan dalam Pembukaan, bahwa :

“Bahwa organisasi semestinya profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh pada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah sebagai penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lain harus saling menghargai antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu, setiap Advokat harus menjaga citra dan kehormatan kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya dan harus diakui setiap Advokat tanpa suatu profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya saat konser dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan bisnis, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur ​​dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.”

Dalam Kode Etik Profesi Advokat, seorang Advokat wajib untuk memperhatikan beberapa hal penting seperti tentang Kepribadian Advokat, Bagaimana Hubungan dengan Klien, Bagaimana Hubungan dengan Teman Sejawat, serta bagaimana cara bertindak menangani perkara. Dalam UU Advokat dijelaskan lebih lanjut bahwa advokat memiliki Hak dan Kewajiban. Hal ini dijelaskan dalam BAB IV Hak dan Kewajiban Advokat Pasal 14 sampai dengan Pasal 20, BAB VI Bantuan Hukum Cuma-Cuma Pasal 22 Ayat (1), BAB VIII Atribut Pasal 25, serta BAB IX Kode Etik dan Dewan Kehormatan Advokat Pasal 26 Ayat ( 2) sebagai berikut :

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT

Pasal 14

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawab di sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawab sesuai dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan

Pasal 16

Advokat tidak dapat berjalan baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Pasal 17

Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Pasal 18

(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

(2) Advokat tidak dapat diidentifikasi dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang khusus dan/atau masyarakat.

Pasal 19

(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan oleh Undangundang.

(2) Advokat berhak atas kerahasiaan dengan Klien, termasuk perlindungan berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Pasal 20

(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

(2) Advokat memegang jabatan lain yang mengabdikan diri sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kebebasan dalam menjalankan tugas profesinya.

(3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.

BAB VI

BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA

Pasal 22 Ayat (1)

Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

BAB VIII

ATRIBUT

Pasal 25

Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai peraturan perundangundangan.

BAB IX

KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT

Pasal 26 Ayat (2)

Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Sumber Bacaan :

Kode Etik Advokat Indonesia

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

 



Oleh : Ayopri Al Jufri

Politik dan Hukum adalah sebuah kesatuan yang sulit dipisahkan, apabila kita membuat sebuah permisalan, Politik dan Hukum bagaikan  dua sisi koin, dimana dua sisi tersebut saling terikat nilai dan melekat pada nilai koin. 

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjamahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rech dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Berkaitan dengan istilah ini, belum ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.

Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams dalam acara dies natalis milad Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan hari alumni Fakultas Hukum UMJ, yang bertajuk “Politik Hukum Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam Konteks Pancasila, UUD NKRI 1945, dan Global “ di ruang Aula FH UMJ, pada Sabtu Pagi (22/11) yang lalu, mengatakan : 

"Hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasar, yaitu hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum menjadi arah dan pengendali semua kegiatan pokitik. Kedua, politik determinan atas hukum. Serta yang ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, karena politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), sementara hukum tanpa politik akan jadi lumpuh."

Politik Hukum menurut Prof. Dr. Mahfud MD politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. 

Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksud untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan beberapa pendapat hukum  politik, hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai tujuan Negara.

Hakim Mahlamah Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, hukum di indonesia ada tiga macam, yakni hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Namun, dikotomis ketiga hukum tersebut saat ini sudah jarang didengar karena hukum pada saat ini sudah melingkupi semuanya (global). Menurut Wahiduddin, saat ini konsep politik hukum sudah menjadi bagian dari proses globalisasi yang telah mempersatukan masyarakat dunia sebagai komunitas tunggal, saling bergantung, dan terbuka.

“Perlu diketahui bahwa globalisasi merupakan proses multidimensi yang asimetris atau keadaan yang tidak merata. Di satu sisi akan sering menjadi sumber konflik dan kekerasan, namun di sisi lain terdapat keadaan kerja sama dan harmoni dalam berbagai permasalahan dunia,”

Mahfud MD juga menjelaskan bahwa sumber hukum tidak sama dengan hukum. Kitab suci, kebiasaan, dan adat istiadat bisa menjadi sumber hukum, tetapi bukan lantas merupakan hukum yang diakui. Harus ada penetapan dari negara untuk menyatakan sesuatu itu disebut hukum, dalam hal ini bisa undang-undang, peraturan presiden, ataupun peraturan daerah. 

Khusus di Indonesia Terkonsepnya politik hukum dimulai sejak 1960. Melalui TAP MPR No. 1/MPRS/1960, MPR menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). Setelah itu, politik hukum tergambar dalam  Program Pembangunan Nasional (propenas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Saat ini, kita dapat melihat Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai potret politik hukum. Kepentingan pemerintah, DPR, dan DPD untuk membahas produk hukum yang diprioritaskan pada periode tertentu ada dalam prolegnas.

Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggaran egara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi darih ukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untukm enghukumkan sesuatu.

Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). 

Menurut Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul "Pembaharuan dan Politik

Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional" mendefinisikan Politik hukum sebagais uatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

Jadi jelas sesuai paragraf pendahuluan diatas, bahwa Politik dan Hukum sulit dipisahkan dalam penerapannya di Negara Hukum, tentu konteks ini kaitannya dengan arah kebijakan penguasa demi pembangunan negara, dalam hukum pidana dan perdata unsur-unsur Politik tidak dibolehkan dalam penerapannya, dalam penerapan Hukum pidana dan Perdata menggunakan Asas Kepastian dan Keadilan hukum, namun kadang tidak jarang kita temukan kasus Hukum pidana atau Perdata yang diawali dengan langkah Politik, hal itu banyak ditemukan dalam delik aduan, kadang karena unsur beda politik bisa juga berakibat hukum dengan melakukan aduan kepada penegak hukum, tentu dengan dalil dan bukti-bukti yang telah disiapkan. 

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.





Oleh : Ayopri Al Jufri*

Banyak temuan dikalangan masyarakat, ketika mengalami masalah hukum tidak tahu caranya harus kemana meminta bantuan, kebingungan itu disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang hukum, selain itu juga masalah hukum cukup menyita waktu dan fikiran, baik yang terkena masalah hukum maupun pihak keluarga, selain itu persoalan biaya dalam menjalani proses hukum juga cukup besar, mulai biaya transportasi, hingga jasa pendampingan, pembelaan hukum oleh Kuasa Hukum.

Mengapa harus ada biaya pendampingan, pembelaan hukum?. Untuk menjawab ini perlu saya paparkan secara pajang dalam tulisan ini, namun nanti saya akan sajikan pula solusi mendapatkan pendampingan, pembelaan hukum secara Prodeo (Gratis).

Yang pertama, pendampingan, pembelaan hukum membutuhkan biaya cukup besar. Kita harus tahu biaya itu untuk apa saja, yang jelas, bagi Penerima Kuasa Hukum (Advokad / Pengacara) adalah sebuah keharusan adalah Sarjana Hukum yang telah memiliki Sertifikat Pendidikan profesi, dan harus lulus tes sebagai Advokad / Pengacara, setelah itu baru proses sumpah kemudian memiliki SK (Surat Keputusan) praktek beracara. Oleh karena itu, menjadi praktisi hukum itu memerlukan proses legal formal yang cukup panjang, dan juga membutuhkan biaya cukup banyak, selain itu para profesi Advokad / Pengacara memiliki keluarga yang harus dinafkahi dengan cara bekerja sebagai praktisi hukum tersebut.

Selain proses legal formal profesi yang cukup panjang, seorang praktisi hukum juga memerlukan biaya operasional dalam melakukan pendampingan, tidak jarang pendampingan hukum itu keluar kota bahkan keluar negeri, sedangkan para praktisi hukum tersebut tidak mendapatkan gaji dari pemerintah, karena memang bukan pejabat atau penyelenggaran negara. 

Dengan melihat realita lapangan seperti urain diatas, kita dapat pahami persoalan hukum yang menimpa seseorang cukup menyita waktu, tenaga dan biaya, terutama keluarga, maka dari itu diperlukan ahli yang memang betul-betul profesional, kompeten, pengalaman luas, adapun profesi yang dibolehkan oleh Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 adalah Advokad, selain itu jasa Pendampingan, pembelaan hukum didepan sidang dilarang dan tentu ditolak oleh hakim. 

Kedua pendampingan / pembelaan Hukum Gratis (Prodeo), itu telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer 1 tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Pelayanan Hukum bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan. Dasar hukum ini merupakan angin segar bagi masyarakat tidak mampu apabila mengalami masalah hukum agar menemukan solusi. 

Masyarakat umum Harus tahu tentang ini, terutama organisasi kemahasiswaan dan organisasi masyarakat, dimana peran sosial dalam memberikan arahan kepada masyarakat, bahwa ada cara pendampingan, pembelaan hukum secara Gratis, bagi masyarakat tidak mampu, baik itu Perkata Perdata, Pidana maupun perkara lain. 

Bahwa betul masyarakat yang tidak mampu membayar jasa advokat, dapat mendapatkan jasanya secara gratis. Ada dua cara untuk mendapatkan jasa advokat secara gratis, pertama meminta bantuan hukum (legal aid) ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan. Kedua, meminta bantuan hukum secara cuma-cuma kepada advokat (pro bono). Perlu kita pahami terlebih dulu perbedaannya.

Pertama, istilah bantuan hukum (legal aid) dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, didefinisikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

Sedangkan istilah bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu, yang mengacu pada Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Maka perlu dipahami dan dibedakan terlebih dahulu definisi tersebut. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan dalam artikel Perbedaan Pro Bono dengan Bantuan Hukum (Legal Aid), bantuan hukum merupakan derma atau kebijakan bidang kesejahteraan sosial dari pemerintah, sementara pro bono berasal dari value system para advokat yang harus menjaga kehormatan profesinya itu.

Meminta Bantuan Hukum (Legal Aid) Kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Bantuan Hukum (legal aid) diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non-litigasi. Pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.

Legal aid diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum.

Jika melihat secara cermat, legal aid lebih spesifik karena terbatas kepada pemberi bantuan hukum, yaitu adalah lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan dan melaksanakan bantuan hukum berdasarkan UU Nomer 16 tahun2011. syaratnya adalah:

1. Berbadan hukum

2. Terakreditasi

3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

4. Memiliki pengurus; dan

5. Memiliki program Bantuan Hukum.

Menkumham mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan, serta melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum.

Jika Anda tidak mampu membutuhkan bantuan hukum dari LBH atau organisasi kemasyarakatan sebagai pemberi bantuan hukum, maka Anda disebut sebagai Penerima Bantuan Hukum yaitu setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan).

Adapun untuk memperoleh legal aid ini, pemohon (penerima bantuan hukum) harus memenuhi syarat-syarat:

1. Mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum;

2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, berarti untuk mendapatkan legal aid (bantuan hukum) dari pengacara di LBH atau organisasi kemasyarakatan harus memenuhi syarat di atas salah satunya adalah surat keterangan miskin. Lalu bagaimana untuk pro bono (meminta bantuan hukum kepada advokat)?

Meminta Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Advokat (Pro Bono) 

Apabila melihat kembali perbedaan definisi antara legal aid dan probono pada penjelasan di atas akan jelas terlihat bahwa pro bono diberikan oleh advokat di mana-pun ia berada (tidak terbatas pada LBH atau organisasi kemasyarakatan).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 10 PP 83/2008 dan Pasal 5 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Peraturan Peradi 1/2010) pemberian pro bono tidak terbatas di dalam ruang sidang/pengadilan (pada setiap tingkat proses peradilan), tetapi juga dilakukan di luar pengadilan. Advokat harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium.

Pengaturan mengenai pro bono ini mengacu pada UU 18/2003, PP 83/2008, dan Peraturan Peradi 1/2010. Ketiga peraturan tersebut menyebutkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Untuk memperoleh pro bono, pencari keadilan mengajukan permohonan tertulis atau lisan yang ditujukan:

1. langsung kepada advokat; atau

2. melalui organisasi advokat; atau

3. melalui LBH.

Permohonan tertulis tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:

1. Nama, alamat, dan pekerjaan pemohon; dan

2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.

3. Melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan legal aid (bantuan hukum) atau probono dari advokat, memang membutuhkan surat keterangan miskin atau surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang, hal itu sebagai syarat untuk mendapatkan jasa hukum.

Jadi jelas sudah, peran pemerintah dalam memberikan pelayanan keadilan hukum ditengah-tengah masyarakat sudah sangat benar, dengan adanya pelayanan pendampingan dan pembelaan hukum secara gratis telah terpenuhi Pancasila Sila ke lima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, terutama bidang hukum.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma;

4. Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.

Alamat Kantor : 

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget