Artikel Hukum


Kita masih ingat kasus perseteruan dan pertengkaran Dewi Persik (Depe) dan Mendiang Julia Presz (Jupe) yang terjadi sekitar tahun 2011 silam, dimana dalam perseteruan tersebut hingga masuk dalam persidangan, namun dalam hal ini kita tidak mau masuk pada pembahasan Gosip atau permasalahan kedua artis tanah air tersebut, yang menarik dari kasus dalam kasus tersebut adalah, ketika jaksa menolak Saksi Ahli yang diajukan Julia perez, pihak Julia Perez mengajukan Barry Prima seorang aktor pemain Film laga tahun 80-90an, Barry Prima dalam kancah perfilman laga cukup populer tahun-tahun itu, namun posisinya ketika dihadirkan dalam sidang sebagai saksi ahli ditolak oleh jaksa dikarenakan seorang Barry Prima dianggap tidak memiliki pendidikan formal yang disebut sebagai ahli dalam bidangnya.

Bagi pihak Jupe, Barry Prima adalah orang yang sudah berpengalaman di bidangnya, mengingat aktor laga tersebut sudah 30 tahun berkecimpung dalam dunia film keras itu. Sering mendapat cidera, Barry Prima dianggap ahli dan berpengalaman.

Berkaca pada kasus diatas, maka kita patut banyak tahu tentang saksi ahli, maka dari itu, agar tulisan ini sistematis dan memudahkan pemahaman pembaca secara umum, saya susun dalam bentuk rumusan masalah, seperti berikut : 

1. Apa dasar hukum saksi ahli dalam persidangan?

2. Apakah fungsi saksi ahli dalam persidangan?

3. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli?

4. Adakah hak dan kewajiban saksi ahli dalam persidangan?

Jawaban dari rumusan masalah diatas seperti berikut : 

1. Dasar hukum saksi ahli dalam persidangan.

Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.

Keterangan ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang. 

Saksi Ahli adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP  : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

2. Fungsi saksi ahli dalam persidangan.

Pada dasarnya bila dilihat dari kebutuhan persidangan, kesaksian merupakan salah satu alat bukti yang mengarah kepada apa yang dilihat, dirasakan dan dialami atas suatu peristiwa pidana. Sedangkan fungsi Saksi Ahli dalam persidangan ialah suatu bentuk kesaksian yang memberikan pendapat atas sesuatu hal menurut keahliannya.

Itulah sebabnya mengapa kepada saksi tidak boleh ditanyakan pendapatnya atas suatu peristiwa perkara tersebut, melainkan hanya boleh memberikan kesaksian sesuai yang dilihat atau diketahui menurut keahliannya.

Maka itu, menurut keperluannya keberadaan seorang saksi ahli dalam pemeriksaan suatu proses perkara pidana, adakalanya diperlukan atau tidak diperlukan. Tergantung dari bentuk dan jenis suatu tindak pidana.

Dengan demikian, pada akhirnya seorang ahli di dalam memberikan keterangan didepan persidangan, selalu berpedoman pada bidang keahliannya. Sehingga ketika ada pertanyaan yang diluar kompetensi keahliannya, seorang ahli dapat dengan tegas menyatakan tidak dapat menjawab karena diluar keahliannya.

3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dari saksi ahli.

Dalam kitab hukum Indonesia, salah satunya KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang disebut dalam KUHAP adalah “selama ia (yang menjadi saksi ahli) memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan”. Keahlian Khusus tersebut dapat diperoleh seseorang baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, dan bisa juga melalui sertifikasi dalam bidang terkait keahlian serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Menurut Debra Shinder (2010), yang mengungkapkan beberapa faktor dan kriteria yang dapat digunakan sebagai syarat  menjadi saksi ahli, antara lain adalah :

 1. Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang tertentu;

 2. Mempunyai spesialisasi tertentu;

 3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih dibidang tertentu;

 4. Lisensi Profesional, jika masih berlaku;

 5. Ikut sebagai keanggotaan dalam suatu organisasi profesi; posisi kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus;

 6. Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa saksi ahli mempunyai pengalaman jangka panjang;

 7. Sertifikasi teknis;

 8. Penghargaan atau pengakuan dari industri.

Kriteria saksi ahli menurut Yahya Harahap, 

Apabila dilihat dari segi hukum, maka seseorang dapat dikatakan sebagai ahli bila memenuhi kriteria sebagai berikut: 

 1. Seseorang yang memiliki pengetahuan khusus di dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang tersebut memiliki kompeten di bidang ilmu pengetahuan tersebut;

 2. Seseorang dikatakan memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu tertentu bisa dalam bentuk keterampilan karena hasil latihan dan pengalaman; dan

 3. Keterangan dan penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa yang tentunya disesuaikan dengan spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, serta pengaman.

Pada intinya seorang dianggap saksi ahli diperlukan syarat formal untuk membuktikan bahwa dia adalah memang memiliki keahlian tertentu. 

Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pengertian tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana diperluas menjadi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pada dasarnya menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1.    dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:

1.    Dipanggil menurut undang-undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;

2.    Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut undang-undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan.

Perlu diingat, R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.

Mengenai hak dan kewajiban saksi, sebagaimana diuraikan di atas, maka jelas bahwa seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir. Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Selain itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1.    Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);

2.    Saksi wajib untuk tetap  hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);

3.    Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).

Sedangkan hak dari saksi antara lain:

1.    Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

2.    Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);

3.    Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);

4.    Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);

5.    Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);

6.    Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);

7.    Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).


Referensi  dan Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan , Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cetakan kelima belas, Jakarta, Sinar Grafika, 2015.

4. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

6. Kapanlagi.com, Saksi Ahli Kasus Jupe, Barry Prima  ditolak jaksa.






 

Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Pada prinsipnya Hukum Perdata dan Hukum Pidana berbeda, Hukum Perdata Fokus pada Hal-hal Privat sedangkan Hukum Pidana Fokus pada Hal-hal Publik,  makanya masalah privat tidak boleh menjadi konsumsi Publik, namun seiring perjalanan kasus, kadang ada perkara Perdata justru dimasukkan pada perkara pidana, hal itu disebabkan karena ada unsur pidana yang dapat dijeratkan pada terlapor yang dimaksud. 

Bagaimana bisa terjadi hukum Perdata menjadi Hukum Pidana? Berikut ulasannya, namun sebelum pada pokok pembahasan, perlu kiranya kita tahu secara sederhana apa itu hukum perdata dan hukum pidana.

Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Pada dasarnya, hukum yang berlaku di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Adapun yang menjadi sumber hukum dalam sistem hukum ini adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif, aturan-aturan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan eksekutif (berdasarkan wewenang yang ditetapkan undang-undang), dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Berdasarkan sumber-sumber inilah, sistem hukum Eropa Kontinental kemudian dibagi ke dalam dua golongan, yakni bidang hukum publik dan bidang hukum privat.

1. Hukum publik merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah bersengketa dengan objek hukum (hukum yang telah ada). Atau dalam kata lain, hukum publik merupakan bidang hukum dengan cakupan peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan antara masyarakat dan negara. Adapun jenis hukum yang termasuk dalam ranah hukum publik ialah hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana.

2. Hukum privat atau yang juga disebut dengan hukum perdata merupakan bidang hukum yang memiliki ruang lingkup urusan subjek hukum yang tengah berbenturan dengan subjek hukum lainnya. Atau dalam kata lain, hukum privat alias hukum perdata merupakan bidang hukum yang mengatur urusan antar individu dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Hukum Pidana

Sebagai bagian dari hukum publik bersama dengan hukum tata negara, hukum pajak, dan hukum administrasi negara, hukum pidana merupakan serangkaian aturan yang mengatur tindakan larangan. Menurut Prof. Moeljanto S.H., hukum pidana merupakan bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

Menentukan dengan cara bagimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia yang ditulis oleh R. Abdoel Djamali S.H., hukum pidana sesungguhnya bertujuan untuk mencegah gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping sebagai sebuah pengobatan bagi pihak yang terlanjur berlaku tidak baik alias menyimpang. Dengan demikian, tujuan adanya hukum pidana secara konkret adalah:

 1. untuk menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; dan

 2. untuk mendidik orang yang pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Adapun berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.

Hukum pidana materiil (substantive criminal law) adalah serangkaian peraturan hukum atau perundang-undangan yang menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dihukum atau dilarang untuk dilakukan, siapa saja yang dapat dijatuhi hukuman atas tindakan tersebut, dan hukuman apa saja yang dapat diberikan pada subjek yang melanggar serta hal-hal apa saja yang dapat mejadi pengecualian berlakunya penerapan hukum ini.

Hukum pidana formal (hukum acara pidana) adalah serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan atau penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Atau dalam definisi lain, hukum pidana formal merupakan segala ketentuan terkait prosedur penuntutan pihak-pihak yang diduga melakukan perbuatan pidana ke muka pengadilan.

Dalam menyebut sebuah tindakan sebagai delik alias tindak pidana, maka harus ada syarat-syarat yang terpenuhi, yakni:

 1. harus ada perbuatan yang dilakukan baik oleh seseorang maupun beberapa orang;

 2. perbuatan tersebut memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku;

 3. perbuatan tersebut terbukti sebagai perbuatan yang salah dan dapat dipertanggungjawabkan;

4 . perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan

 5. harus ada ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut.

Hukum Perdata

Sebagai makhluk sosial, keberadaan hukum perdata dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perdata hanya akan berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam hukum perdata terdiri atas hukum perdata adat, hukum perdata Eropa, dan hukum perdata yang bersifat nasional. Adapun dalam perumusannya, hukum perdata juga terbagi menjadi hukum perdata materiil dan hukum perdata formal.

Hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan, yakni sebagai berikut.

 1. Hukum pribadi (personenrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan soal hak dan kewajiban manusia dalam bertindak sebagai subjek hukum.

 2. Hukum keluarga (familierecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hal-hal terkait kekeluargaan: hubungan lahir dan batin antara pihak-pihak yang terlibat perkawinan (suami dan istri serta anak). Hal-hal yang menjadi cakupan hukum keluarga adalah keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pendewasaan, pengampunan (curatele), dan perkawinan.

 3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang hak-hak perolehan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang memiliki nilai uang (hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang). Bila membahas tentang kekayaan seseorang, maka yang dimaksud adalah jumlah dari hak dan kewajiban orang tersebut yang dinilai dengan uang.

 4. Hukum waris (erfecht) 

Hukum yang berisi ketentuan dan peraturan tentang pemindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada pihak-pihak lain yang berhak menerima hak tersebut.

Hukum perdata formal adalah sekumpuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPerdata), sebuah tindakan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila mengandung unsur-unsur berikut:

 1. adanya suatu perbuatan;

 2. perbuatan tersebut melawan hukum sesuai hukum perdata materiil;

 3. adanya kesalahan pelaku;

 4. adanya kerugian yang dialami korban; dan

 5. adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Perubahan Perkara Perdata Menjadi Perkara Pidana

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka sudah cukup jelas apa-apa saja perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana dan perdata. Selama perbuatan subjek hukum bertentangan dengan hal-hal yang merupakan objek hukum (sesuai hukum perdata materiil), maka perkara tersebut dapat dipidanakan. Sementara itu, setiap perbuatan subjek hukum yang bertentangan dengan subjek hukum lainnya (hubungan antarindividu maupun golongan) akan menjadi ranah perkara perdata.

Kendati demikian, tidak jarang sebuah kasus perdata kini dibuat bias penafsiran dan batas-batasnya sehingga seolah-olah membuat kasus tersebut menjadi sebuah tindak pidana. Pertanyaannya, mungkinkah dua buah perkara yang sudah jelas memiliki ruang berbeda dapat menjadi sedemikian tipis batasannya?

Sebenarnya, kasus perdata tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kasus pidana. Bila dalam prosesnya terjadi perubahan kasus perdata yang ditindaklanjuti di lembaga peradilan sebagai delik pidana, hal ini tidak berarti kedudukan kasus tersebut berubah. Alasan munculnya delik pidana yang diproses adalah tidak lain karena pada dasarnya ditemukan unsur tindak pidana yang memang terjadi dalam kasus perdata yang tengah diperkarakan.

Contoh yang paling banyak terjadi untuk kasus ini adalah perjanjian jual beli atau utang piutang antarindividu. Secara hukum, urusan jual beli dan utang piutang sudah jelas menjadi ranah hukum perdata. Kendati demikian dalam kenyataannya, apabila dalam perjalanan kerja sama tersebut ditemukan bukti penipuan, maka barulah kasus tersebut dapat diproses secara pidana.

Penipuan dalam KUHP

Yang perlu digarisbawahi dari pernyataan di atas adalah pada kata ‘bukti penipuan’. Dalam sebuah perjanjian jual beli atau utang piutang, tidak semua kejadian melanggar janji (wanprestasi) yang dilakukan salah satu pihak dapat dinyatakan sebagai sebuah tindak penipuan. Lantas, bilamana sebuah pelanggaran perjanjian dapat dinyatakan sebagai sebuah penipuan yang menjadi ranah delik pidana?

Untuk menjelaskan hal ini, mari merujuk pada pasal 378 KUHP yang termaktub dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang (Bedrog) seperti berikut ini.

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Maka berdasarkan rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur yang dimaksud dalam perbuatan penipuan, yakni:

tindakan dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang; dan

menggunakan salah satu cara penipuan baik menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan lainnya.

Tiga unsur di atas merupakan dasar untuk menentukan apakah pelanggaran perjanjian yang dilakukan termasuk dalam kategori penipuan atau tidak. Bila dari awal sudah ditemukan adanya niat buruk dari pihak yang mengingkari perjanjian seperti menggunakan nama palsu atau serangkaian kebohongan lainnya, maka perkara jual beli atau utang piutang tersebut dikategorikan sebuah perkara pidana.

Penjelasan dan Keterangan Tambahan Pasal 378 KUHP

Sebagai penjelasan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, R. Soesilo dalam KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa:

Membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebeneranya ia tidak akan berbuat demikian itu.

Memberikan barang = barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedang yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak = menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak.

Nama palsu = berarti nama yang bukan namanya sendiri. Nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’ itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.

Keadaan palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

Akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.

Rangkaian kata-kata bohong = satu kata bohong tidak cukup, di sini harus dipakai banyak kata-kata bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.

Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya.

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian, Soebekti memberi penjelasan bahwa penipuan terjadi jika salah satu pihak memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar dengan sengaja dan disertai oleh tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan perjanjian agar memberi perizinan. Dalam kata lain, pihak yang menipu melakukan tindakan secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.

Sementara itu, KUH Perdata pun tidak memberi definisi yang jelas mengenai penipuan dalam ranah hukum perdata. Namun bila meninjau pengaturan dalam pasal 1328 KUH Perdata sebagaimana yang telah diterjemahkan oleh Prof. R. Soebekti S.H. dan R. Tjitrosudibio, “penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan, tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan pihak pelanggar melakukan kasus penipuan atau wanprestasi harus lebih dulu dilakukan pemeriksaan sebenar-benarnya.  Lantas, bilamana terjadinya sebuah pelanggaran terhadap kewajiban sebuah perjanjian tersebut hanya menjadi sebuah wanprestasi dan tidak dapat diproses secara hukum pidana?

Penipuan atau Wanprestasi?

Untuk lebih jelasnya, mari membuat sebuah permisalan kasus. A dan B menjalani sebuah kesepakatan dengan ketentuan A meminjam dana kepada B sebesar Rp40.000.000,00 dengan bunga sebesar 0,5% setiap bulannya. Dana tersebut akan dikembalikan dengan skema cicilan setiap bulan dan pembayaran setiap tanggal 15.

Dalam enam bulan pertama, A melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dua belah pihak di awal. Namun di bulan berikutnya, A tidak dapat memenuhi kewajibannya dan berkelanjutan hingga ke bulan-bulan berikutnya. Merasa dirugikan, B pun memutuskan untuk memperkarakan hal tersebut ke meja hijau.

Secara prinsip, perjanjian utang piutang yang dilakukan A dan B merupakan hubungan keperdataan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang pengertian pinjam meminjam, “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”

Kendati demikian, perkara pelanggaran perjanjian yang dilakukan A dapat diproses secara pidana bilamana memang ditemukan unsur penipuan dan niat jahat di dalamnya. Bila unsur-unsur yang disebutkan dalam pasal 378 KUHP terpenuhi, maka kasus dapat diadili dengan dasar delik pidana.

Setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai sebuah perkara pidana haruslah memiliki perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Bila actus reus merupakan sebuah perbuatan melawan hukum, maka yang dimaksud dengan mens rea adalah hal-hal yang mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana.

Dalam kasus ini, seperti contoh, sedari awal A memang berniat jahat untuk melakukan penipuan—menggunakan nama atau status palsu, pembohongan tujuan penggunaan dana pinjaman, atau tahu baru bahwa dari awal dia tidak akan mampu memenuhi kewajibannya akan tetapi tetap menyanggupi untuk memenuhi kewajibannya dengan menciptakan serangkaian kebohongan (tipu muslihat) atau hal-hal lain sebagainya.

Namun kasus akan menjadi berbeda bila ternyata A melakukan sebuah ketidaksengajaan. Saat melakukan kesepakatan di awal, A memberikan data sebenar-benarnya dan mengetahui bahwa dia memiliki dana dan sanggup untuk melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai peminjam dana. Sayangnya dalam perjalanan, terjadi sesuatu yang menyebabkan dia tidak mampu untuk melaksanakan keharusan sebagaimana mestinya seperti sakit parah, PHK, atau faktor lain yang sama sekali di luar prediksi dan kesengajaan.

Selagi A memiliki iktikad baik untuk menjalankan apa yang menjadi kewajibannya, maka B tidak dapat menggugat kasus ini sebagai delik pidana. Hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Artinya pengadilan tidak bisa memidanakan seseorang lantaran ketidakmampuannya membayar utang.erggelapan. Dalam KUHP pasal 372, disebutkan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Terkait hal ini, R. Soesilo juga menjelaskan dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal bahwa, “penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP.” Lalu apa yang menjadi perbedaan antara penggelapan dan pencurian? Perbedaan ini ada pada bahwa pencurian, barang yang dimiliki masih belum di tangan pencuri dan masih harus diambil, sementara pada penggelapan, barang tersebut sudah berada di tangan pelaku.

Itulah informasi mengenai hukum pidana dan perdata dan bilamana sebuah perkara perdata menjadi pidana. Pada dasarnya, setiap pihak yang merasa dirugikan bisa saja melaporkan kepada pihak berwajib untuk dilakukan proses pidana meski sesungguhnya pihak yang melanggar perjanjian tidak memiliki iktikad jahat. Namun bagaimana pun, penegak hukum tetap harus jeli dan bijak untuk memutuskan apakah perkara tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai pidana atau tidak.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita Nomor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


 


Advokat sebagai salah satu aparat penegak hukum tentu memiliki Hak dan Kewajiban yang perlu diperhatikan secara hati-hati dan hati-hati. Seorang Advokat tentu tidak hanya memperhatikan haknya untuk memperoleh Honorarium, namun juga perlu memperhatikan kewajiban lainnya baik yang ada dalam Kode Etik Advokat Indonesia maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sebagai profesi yang nyata, seluruh Advokat wajib tunduk kepada Kode Etik Advokat Indonesia. Dalam kode etik yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, dijelaskan dalam Pembukaan, bahwa :

“Bahwa organisasi semestinya profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh pada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah sebagai penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lain harus saling menghargai antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu, setiap Advokat harus menjaga citra dan kehormatan kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya dan harus diakui setiap Advokat tanpa suatu profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya saat konser dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan bisnis, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur ​​dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.”

Dalam Kode Etik Profesi Advokat, seorang Advokat wajib untuk memperhatikan beberapa hal penting seperti tentang Kepribadian Advokat, Bagaimana Hubungan dengan Klien, Bagaimana Hubungan dengan Teman Sejawat, serta bagaimana cara bertindak menangani perkara. Dalam UU Advokat dijelaskan lebih lanjut bahwa advokat memiliki Hak dan Kewajiban. Hal ini dijelaskan dalam BAB IV Hak dan Kewajiban Advokat Pasal 14 sampai dengan Pasal 20, BAB VI Bantuan Hukum Cuma-Cuma Pasal 22 Ayat (1), BAB VIII Atribut Pasal 25, serta BAB IX Kode Etik dan Dewan Kehormatan Advokat Pasal 26 Ayat ( 2) sebagai berikut :

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT

Pasal 14

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawab di sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawab sesuai dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan

Pasal 16

Advokat tidak dapat berjalan baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Pasal 17

Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Pasal 18

(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

(2) Advokat tidak dapat diidentifikasi dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang khusus dan/atau masyarakat.

Pasal 19

(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan oleh Undangundang.

(2) Advokat berhak atas kerahasiaan dengan Klien, termasuk perlindungan berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.

Pasal 20

(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

(2) Advokat memegang jabatan lain yang mengabdikan diri sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kebebasan dalam menjalankan tugas profesinya.

(3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.

BAB VI

BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA

Pasal 22 Ayat (1)

Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

BAB VIII

ATRIBUT

Pasal 25

Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai peraturan perundangundangan.

BAB IX

KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT

Pasal 26 Ayat (2)

Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

Sumber Bacaan :

Kode Etik Advokat Indonesia

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Salah satu masalah yang sering dialami oleh rumah tangga adalah komunikasi yang kurang baik. Tidak selamanya pernikahan yang sudah berlangsung sejak lama bisa berjalan dengan lancar. Akan ada saatnya dimana hubungan menjadi renggang karena satu dan lain hal. Perpisahan seringkali menjadi salah satu opsi yang bisa diambil untuk meredakan suatu masalah yang sudah ada. Dalam perceraian, terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan dengan baik dan salah satunya adalah harta gono gini.

Dua pasangan yang telah menjalin pernikahan dalam waktu yang lama tentu akan memiliki banyak sekali benda yang dibeli dan dimiliki secara bersama. Namun, ketika dua pasangan tersebut harus berpisah maka kepemilikan atas benda tersebut harus diselesaikan secara baik dan bisa disebut sebagai masalah harta gono gini. Supaya Anda tidak pusing dan bisa mengerti cara membaginya maka artikel kali ini akan membahas mengenai:

 1. Apa Itu Harta Gono Gini?
 2. Tiga Pembagian Harta dalam Perkawinan;
   a. Harta Bawaan
   b. Harta Masing-Masing Suami atau Istri yang Diperoleh Melalui . c. Warisan atau Hadiah
   d. Harta Bersama atau Gono Gini
 3. Cara Pembagian Harta Gono Gini Menurut Hukum Indonesia
 4. Dua Cara Menghindari Konflik Harta dalam Perkawinan\
  a. Perjanjian Pranikah
  b. Prenuptial Agreement

1. Apa Itu Harta Gono Gini?

Menjalin sebuah hubungan yang serius bukanlah hal yang mudah. Ada banyak sekali tanggung jawab yang harus Anda pikirkan dan jalankan supaya hubungan tersebut bisa berlangsung dengan baik. Komunikasi merupakan salah satu kunci hubungan supaya bisa berjalan dengan baik. Apabila dalam suatu hubungan tersebut komunikasi sudah berjalan dengan tidak lancar maka otomatis hubungan bisa menjadi renggang dan tidak berjalan dengan baik.

Sebuah hubungan pernikahan yang mengalami kerenggangan bisa berbahaya apabila tidak segera diselesaikan masalahnya. Banyak yang akhirnya memilih untuk menyelesaikan hubungan dan melakukan perceraian. Padahal ketika bercerai, kedua pasangan memiliki banyak sekali hal yang perlu diurus dan salah satunya adalah harta gono gini.

Harta gono gini adalah sebuah harta milik bersama antara suami dengan istrinya yang sudah diperoleh secara bersama dalam kurun waktu sejak pernikahan antara kedua pasangan tersebut. Harta gono gini ini bisa dikategorikan seperti berbagai bentuk benda yang dibeli oleh suatu pasangan dengan menggunakan uang yang diperoleh secara bersama. Sebagaimana seperti yang disebutkan di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 35 yang berisi “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

Jika sebuah hubungan pernikahan sudah berakhir maka pembahasan mengenai harta gono-gini harus segera dibicarakan dengan baik dan diselesaikan. Sebuah harta benda yang sebelumnya milik bersama, maka setelah perceraian membuat harta benda tersebut harus dibagi menjadi dua dengan cara memisahkan harta yang ada.

2. Tiga Pembagian Harta dalam Perkawinan

Sebelum menikah, Anda harus mengetahui terlebih dahulu mengenai besaran dan jumlah harta yang Anda miliki supaya tidak memberikan Anda masalah apabila pernikahan yang dilangsungkan mengalami kegagalan. Di bawah ini adalah tiga pembagian harta dalam perkawinan yang perlu Anda perhatikan:

3. Harta Masing-Masing Suami atau Istri yang Diperoleh Melalui Warisan atau Hadiah

Harta masing-masing suami atau istri termasuk ke dalam kategori harta bawaan yang tidak bisa dipermasalahkan ke dalam harta gono gini. Seperti yang sudah disebutkan pada Undang-Undang No. 1 Pasal 35 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berisikan sebagai berikut ini: “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

4. Harta Bersama atau Gono Gini

Harta gono gini atau bisa disebut juga sebagai harta bersama adalah harta benda yang sudah diperoleh secara bersama sejak masa perkawinan. Harta benda tersebut tidak memiliki persoalan siapapun yang memperolehnya atau membelinya, baik itu suami atau istri. Harta benda dapat masuk ke dalam kategori bersama selama masa perolehannya pada saat ikatan pernikahan sudah berlangsung.

5. Cara Pembagian Harta Gono Gini Menurut Hukum Indonesia

Ketika Anda dan pasangan memutuskan untuk melakukan perceraian maka pengadilan tidak akan secara otomatis menentukan mengenai pembagian harta gono gini hasil dari perkawinan Anda dan pasangan. Proses pembagian harta tersebut baru bisa dilakukan dan diajukan apabila proses putusan perceraian berhasil mendapatkan sebuah kekuatan hukum tetap.

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa konsekuensi utama dari sebuah perceraian adalah pembagian harta bersama yang akan harus diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukum masing-masing yang dimaksud adalah seperti hukum agama, hukum adat dan hukum Negara Indonesia. Salah satu hukum pembagian harta yang paling umum digunakan adalah hukum Negara Indonesia.

Jika dilihat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam, maka Harta Bersama harus dibagi secara merata yakni masing-masing mendapatkan setengah atas harta benda gono gini yang sudah dikumpulkan bersama. Meskipun dalam kenyataan, Hakim tidak akan selalu membagi dalam hitungan dan aturan tersebut. Pembagian harta biasanya akan dilihat berdasarkan keadaan dari suami dan istri.

Sebagai contoh, apabila seorang istri yang sudah bekerja keras untuk mengumpulkan harta dan perceraian terjadi karena suami melakukan perselingkuhan maka secara otomatis Hakim memiliki hak untuk memutuskan pembagian harta yang lebih adil bagi kedua belah pihak.

6. Dua Cara Menghindari Konflik Harta dalam Perkawinan

Memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusia dibuat dengan kekurangannya masing-masing dan dengan menikah diharapkan untuk bisa saling mengisi kekurangan yang ada tersebut. Meskipun begitu, konflik dalam sebuah pernikahan seringkali tidak bisa dicegah namun Anda dapat menghindari konflik harta dalam sebuah perkawinan. Di bawah ini adalah beberapa contoh yang bisa Anda lakukan untuk menghindari terjadi konflik harta dalam sebuah perkaAgreement

Perjanjian Pranikah

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menghindari terjadinya konflik harta dalam sebuah perkawinan adalah dengan membuat sebuah perjanjian pranikah. Perjanjian tersebut dibuat dengan maksud untuk mencegah dan mengantisipasi apabila terjadi permasalahan di kemudian hari yang berhubungan dengan harta terutama jika terjadi perceraian.

Di dalam perjanjian pranikah umumnya terangkum hal-hal seperti berikut ini:

a. Utang-piutang yang sebelumnya dibawa suami atau istri sebelum melakukan pernikahan.
b. Jumlah harta bawaan atau harta warisan yang dimiliki oleh masing-masing.
c. Pemisahan harta yang sudah diperoleh masing-masing pihak pada masa perkawinan. Hal ini dimaksudkan supaya suami dan istri bisa memiliki kewenangan secara penuh atas harta yang dimiliki. 
d. Hal lainnya seperti masalah aset dan bisnis supaya bisa diselesaikan dengan baik.

2. Prenuptial Agreement

Prenuptial agreement atau biasa disebut sebagai Prenup adalah cara lainnya yang bisa digunakan untuk mencegah konflik harta dalam perkawinan. Sedikit berbeda dengan Perjanjian Pranikah, prenuptial agreement ini berisikan masalah pembagian harta antara suami dengan istri sebelum melakukan pernikahan, sekaligus menjelaskan apa saja yang menjadi tanggung jawab antara kedua belah pasangan.

Di dalamnya juga bisa berisikan tentang harta bawaan sehingga setiap pihak bisa membedakan dengan mudah mana harta dari calon pasangannya masing-masing. Prenuptial agreement ini dibuat dalam sebuah akta otentik yang dibuat langsung dihadapan notaris untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang sah dan legal.

*Alamat Kantor LBH API : 
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

 


Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Persyaratan Ijin Poligami/Beristri Lebih Dari Seorang :

  • Surat Gugatan/Permohonan (Bila Ada)
  • Foto copy Surat Nikah dengan istri pertama yang dimateraikan Rp 10.000,- di Kantor Pos
  • Foto Copy KTP Pemohon, istri pertama dan calon istri kedua masing-masing 1 lembar folio 1 muka (tidak boleh dipotong)
  • Surat pernyataan berlaku adil dari Pemohon
  • Surat keterangan tidak keberatan dimadu dari istri pertama dan calon istri kedua bermaterai Rp.10.000,- (blanko disediakan di Kantor Pengadilan Agama)
  • Surat keterangan gaji/penghasilan dari perusahaan/kantor/Kelurahan diketahui oleh Camat setempat
  • Surat Ijin Atasan (bagi PNS/TNI/POLRI)
  • Surat keterangan status calon istri kedua dari Kelurahan
Sumber Tulisan dari Pengadilan Agama

Lampiran contoh Surat-surat : 

1. Contoh surat ijin poligami



2. Contoh Surat pernyataan sanggup berlaku adil


3. Contoh pernyataan bersedia dimadu

*Alamat Kantor LBH API :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

 

Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)*


Pengertian Hak Asuh Anak

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pembagian hak asuh saat terjadi perceraian, ada baiknya Anda pahami dulu apa yang dimaksud dengan hak asuh anak. Dalam agama Islam, hak asuh atas anak ini disebut dengan istilah hadhanah. Hadhanah ini sendiri maknanya adalah merawat, mengasuh, dan memelihara anak.

Terkait hukum yang berlaku atas pembagian hak asuh, hadhanah dipahami sebagai upaya merawat, mengasuh, dan memelihara anak yang umurnya kurang dari 12 tahun. Pada rentang usia yang disebutkan tersebut, diketahui memang anak belum mampu membedakan dan memilih dengan tepat, mana hal baik dan buruk dalam hidupnya. Maka dari itu, anak butuh orang dewasa untuk mengasuhnya.

Baik ayah ataupun ibu memiliki hak asuh atas anaknya, baik saat masih terikat dalam ikatan pernikahan atau pun sudah bercerai. Ini maknanya, kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anaknya. Pernyataan ini juga mengacu pada hak anak untuk tak dipisahkan oleh karena sebab apapun dari orang tuanya, yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak Internasional.

Penyebab Terjadinya Hak Asuh Anak

Munculnya topik seputar hak asuh atas anak memang umumnya disebabkan karena terjadinya perceraian antara kedua orang tua anak tersebut. Sebagai orang tua, tentu keduanya ingin memperoleh hak asuh atas buah hati mereka. Jika hak asuh atas buah hatinya didapatkan, maka baik ayah atau ibu, berhak untuk tinggal bersama dengan si anak dan mengasuhnya.

Pihak yang akan mendapatkan hak asuh atas anak pun tak mutlak si ibunya. Ada beberapa kemungkinan atau hal yang membuat ayah bisa mendapatkan hak asuh atas anaknya yang masih di bawah umur. Seorang ayah tak mendapatkan hak asuh atas anaknya pun, tetap memiliki kewajiban penuh untuk menafkahi buah hatinya tersebut.

Dalam beberapa kasus tertentu, ada juga kemungkinan yang mendapatkan hak asuh atas anak adalah keluarga anak dalam garis lurus ke atas. Saudara kandung anak yang sudah berusia dewasa pun juga memiliki hak untuk mengasuh anak tersebut. Namun, pemberian hak asuh ini hanya jika kedua orang tua memang terbukti tak mampu mengasuh anaknya menurut pandangan majelis hakim. Mengenal Macam Pembagian hak Asuh Anak Mnurut Perundang-Undangan.

1. Hak Asuh Anak di Bawah 5 Tahun Akibat Perceraian

Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 41, bisa disimpulkan bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anaknya. Jika kedua orang tua tak melayangkan gugatan terkait hak asuh atas anaknya saat bercerai, maka permasalahan hak asuh pun tak perlu diselesaikan di pengadilan.

Lalu bagaimana bila terjadi perselisihan antara ibu dan ayah mengenai penguasaan anak-anaknya, terutama yang berumur di bawah 5 tahun, saat mereka telah bercerai? Pada saat inilah, pengadilan akan menengahi perselisihan tersebut, dengan memutuskan siapa yang lebih layak mendapatkan hak asuh anak sesuai dengan hukum yang berlaku. 

Anak yang berumur 5 tahun tentu masih tergolong pada anak di bawah umur. Nah, menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105, anak yang usianya masih di bawah 12 tahun adalah hak ibunya. Walau nantinya anak di bawah pengasuhan ibu, namun biaya pemeliharaan anak nantinya akan tetap ditanggung oleh anaknya.

Kompilasi Hukum Islam ini pun sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No.126 K/Pdt/2001 pada tanggal 28 Agustus 2003. Putusan tersebut mengatakan jika terjadi perceraian dan anak masih di bawah umur, maka pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan anak yaitu ibunya.

Walau begitu, bukan tak mungkin jika seorang ayah bisa memperoleh hak asuh atas anaknya, walau si buah hati masih berumur 5 tahun. Anda mungkin bisa melihat salah satu contohnya dari perceraian antara pasangan selebritis terkenal pada tahun 2014 silam. Pada perceraian tersebut, hak asuh atas anak mereka yang saat itu masih berusia di bawah 5 tahun diperoleh oleh ayahnya. 

Dasar hukum diberikannya hak asuh pada ayah dibandingkan pada ibu saat anak masih di bawah umur yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No.102 K/Sip/1973. Keputusan ini di antaranya menyatakan bahwa perwalian anak akan jatuh ke ibu, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tak wajar dalam memelihara anaknya. Berikut alasan mengapa hak asuh ibu atas anak bisa hilang.

a. Ibu Memiliki Perilaku yang Buruk

Jika misalnya dalam persidangan terbukti bahwa ibu memiliki perilaku yang buruk, maka hak asuh bisa diberikan kepada si ayah. Perilaku yang buruk ini misalnya seperti kerap berjudi, mabuk-mabukkan, berbuat kasar pada anak, yang mana perilakunya ini sukar disembuhkan. Perilaku seperti ini tentu tak memberikan contoh baik pada anak, serta bisa melukai si anak.

b. Ibu Masuk ke Dalam Penjara

Jika misalnya ibu melakukan pelanggaran hukum dan harus dipenjara, maka ayah bisa mendapatkan hak asuh atas anaknya yang masih berusia 5 tahun. Pemberian hak asuh ini tentu disadari akan situasi, di mana si ibu tentu tak bisa memelihara anaknya dikarenakan harus menjalani hukuman di penjara.

c. Ibu Tak Bisa Menjamin Keselamatan Jasmani dan Rohani Anaknya

Alasan-alasan lain dikhawatirkan akan membuat ibu tak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anaknya, juga bisa membuat hak asuh anak jatuh ke ayahnya. Bisa saja si ibu mengalami depresi yang mengakibatkan kondisi mentalnya jadi tak stabil, sehingga berisiko mengancam keselamatan anaknya.

2. Hak Asuh Anak Perempuan Akibat Perceraian

Jika tadi mengulas tentang hak asuh anak yang berusia 5 tahun, sekarang akan dibahas mengenai hak asuh atas anak perempuan jika terjadi perceraian. Sama dengan dasar hukum sebelumnya, jika anak perempuan tersebut masih berusia di bawah 12 tahun saat perceraian, ibunya berhak atas hak asuhnya. Ayahnya tetap bisa menjumpainya, serta wajib menanggung biaya untuk memeliharanya.

Jika anak perempuan ini nantinya sudah mencapai usia 12 tahun, maka ia bebas menentukan ingin diasuh oleh siapa, apakah itu ibu atau ayahnya. Kebebasan anak untuk memilih salah satu dari kedua orang tua yang akan mengasuhnya ini, juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105. Jika sekiranya ayah tak mampu menanggung semua biaya pemeliharaan, ibu pun harus ikut serta.

3. Hak Asuh Anak Menurut Hukum Akibat Perceraian

Tak hanya dalam hukum Islam saja, namun hukum negara pun sudah dibuat mengenai hak asuh atas anak ini. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, disebutkan pada Pasal 54 ayat (2) bahwa orang tua berkewajiban memelihara anaknya hingga ia kawin atau bisa berdiri sendiri. Kewajiban untuk memelihara anak ini akan terus berlanjut walau kedua orang tua berpisah.

Hak asuh atas anak juga mungkin didapatkan oleh keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa. Apa dasar hukum atas pemberian hak asuh bukan kepada kedua orang tua ini? Keputusan ini diatur dalam Undang-Undang No.1 dan 2 Tahun 1974 pada pasal 49. Pencabutan hak asuh disebabkan karena lalai menjalankan kewajiban dan perilaku yang buruk.

Gugatan Hak Asuh Anak Akibat Perceraian

Saat terjadi perceraian dengan kondisi ada anak, maka baik ayah atau ibu berhak mengajukan gugatan atas hak asuh anak mereka ke pengadilan. Namun, ada juga yang memilih opsi untuk tak mengajukan gugatan atas hak asuh, di mana pasangan yang telah bercerai memilih membesarkan anak bersama-sama.

Khusus bagi yang ingin mengajukan gugatan hak asuh atas anak, maka wajib melengkapi syarat yang diperlukan. Syarat untuk gugatan meliputi surat pengajuan permohonan hak asuh ke pengadilan, fotokopi kutipan akta cerai, fotokopi akta kelahiran anak, dan pelunasan biaya perkara. Jika semua syarat tersebut sudah disanggupi, maka selanjutnya harus mengikuti prosedur berikut ini.

1. Membuat surat gugatan secara tertulis ke pengadilan kamu bisa datang sendiri ataupun menunjuk seorang kuasa hukum atau pengacara.

2. Mengajukan gugatan hak asuh atas anak, yang ditujukan ke pengadilan yang ada di wilayah kediaman tergugat.

3. Panitera memberikan nomor registrasi setelah pelunasan biaya perkara.

4. Panitera menentukan majelis hakim.

5. Pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk menghadiri sidang terkait gugatan hak asuh atas anak.

Setelah semua prosedur tersebut dilakukan, perjalanan yang sebenarnya untuk mendapatkan hak asuh atas anak baru akan dimulai. Ada beberapa tahapan dalam persidangan yang akan digelar, untuk memutuskan siapa yang berhak atas hak asuh tersebut. Berikut tahapan yang akan dilalui saat sidang gugatan hak asuh atas anak ini.

1. Pada tahapan pertama, akan dilaksanakan usaha mediasi oleh pihak hakim.

2. Selanjutnya, akan dibacakan surat gugatan atau permohonan hak asuh atas anak oleh pemohon atau penggugat.

3. Kemudian, pihak tergugat akan memberikan jawaban atas surat permohonan tersebut.

4. Selanjutnya, dilakukan tahapan replik dan duplik dari masing-masing pihak penggugat dan tergugat.

5. Kemudian, baik pihak penggugat maupun tergugat akan melakukan pembuktian.

6. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dari masing-masing.

7. Terakhir, majelis hakim akan melakukan musyawarah dan pembacaan putusan berisikan siapa yang berhak atas hak asuh tersebut.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, walau ibu memiliki kesempatan besar mendapatkan hak asuh atas anak di bawah umur, kesempatan ayah pun masih tetap ada. Perilaku baik dari pihak penggugat dan tergugat akan sangat mempengaruhi keputusan majelis hakim dalam menentukan siapa yang berhak untuk mengasuh anak tersebut.

Dalam sidang gugatan hak asuh atas anak ini pun diharapkan kedua belah pihak, penggugat dan tergugat, bersikap kooperatif. Dengan begini, sidang pun akan bisa berjalan dengan cepat dan damai. Jangan sampai, sidang berjalan dalam waktu yang cukup lama karena sikap yang tak kooperatif, yang juga hanya bakal menyakiti perasaan anak sendiri. 

4. Hak Asuh Anak Jika Istri Minta Cerai

Dalam kasus perceraian lainnya, ada gugatan cerai yang dilayangkan oleh pihak istri atau ibu. Nah, jika kasus perceraiannya seperti ini, Anda mungkin juga bertanya-tanya, siapakah yang layak untuk mendapatkan hak asuh atas anak dari pernikahannya tersebut. Apakah si ibu masih layak mendapatkan hak asuh padahal ia sendiri yang mengajukan perceraian?

Dalam kasus perceraian di mana pihak istri yang meminta cerai, maka hukum untuk hak asuh atas anak masih tetap sama dengan sebelumnya. Selama anak masih berusia di bawah 12 tahun, maka ibu berhak mendapatkan hak asuh atas anaknya, walau ia merupakan pihak yang mengajukan gugatan cerai. Ayah dari anak pun wajib memberikan biaya pengasuhan hingga anak menikah atau dewasa.

Namun, hal berbeda akan terjadi jika istri minta cerai disebabkan kesibukannya, yang kemudian membuatnya juga turut menelantarkan anaknya. Telah disinggung sebelumnya bahwa jika seorang ibu tak bisa menjamin pemeliharaan atas anaknya, maka hak asuh akan bisa dialihkan pada pihak ayah. Apalagi jika misalnya si ibu terlibat dalam perbuatan kriminal yang membahayakan si anak.

Berbicara tentang hak asuh anak yang disebabkan oleh perceraian tentu saja terbilang sangat pelik. Sudah seyogyanya seorang anak memperoleh kasih sayang dari kedua orang tuanya, namun karena perceraian, kasih sayang dari salah satu pihak akan terbatas diperolehnya. Jika pun memang terjadi perceraian, usahakan untuk membagi hak asuh atas anak dengan damai, agar anak pun tak tersakiti.

5. Hak Asuh anak Jika Isteri terbukti Selingkuh

Dalam Sebuah Hubungan Pernikahan Isteri yang terbukti melakukan perselingkuhan dengan suami dalam Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri bagi non muslim, maka harus dilakukan pembuktian pembenaran perseligkuhan, Jika ditemukan fakta di persidangan Terbukti benar isteri melakukan perselingkuhan maka diriya sudah gagal menjadi seorang ibu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Mengenai Perkawinan , yang berbunyi Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

6. Hak Asuh Anak Jika Suami Terbukti Selingkuh

Jika di ketahui secara benar bahwa seorang suami melakukan perselingkuhan maka hakim dapat memutuskan sebagai berikut hak asuh anak, jika anak di bawah 5 tahun ada di tangan Isteri kecuali jika sudah dewasa anak bisa memilih salah satu yaitu ayah atau ibunya.

*Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Kita kadang banyak mendengar dalam banyak berita baik Televisi, Cetak maupun online, Polisi menetapkan tersangka dan dilakukan penangkapan berdasar dua alat bukti yang cukup, KPK menetapkan tersangka kepada si fulan berdasar dua alat bukti yang cukup dan lain-lain. Sebenarnya apa saja alat bukti kuat sehingga seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus hukum tindak pudana? Berikut ulasannya : 

Mekanisme penangkapan
Penangkapan adalah tindakan pengekangan kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk kepentingan pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksan di persidangan.

Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana, dan dugaan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Mahkamah Konstitusi mendefinisikan bukti permulaan yang cukup sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa.

Tanpa adanya minimal dua alat bukti tersebut, petugas kepolisian tidak dapat melakukan penangkapan.

Lebih lanjut, sebuah peraturan Kepolisian Republik Indonesia menegaskan pula bahwa polisi hanya dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila telah terdapat setidaknya dua alat bukti dan didukung oleh barang bukti.

Alat bukti mencakup misalnya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah bukti-bukti lain di luar itu, misalnya motor hasil curian, narkotika yang disita, dan sebagainya.

Pada saat melakukan penangkapan, petugas kepolisian wajib memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada orang yang akan ditangkap.

Surat perintah tersebut harus mencantumkan identitas orang yang akan ditangkap secara jelas. Surat perintah penangkapan juga harus menyebutkan alasan penangkapan, dilengkapi dengan uraian singkat mengenai tindak pidana yang diduga dilakukan oleh orang yang akan ditangkap tersebut.

Setelah menangkap seseorang, polisi juga harus memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga orang yang ditangkap.

Jika seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindakan pidana, penangkapan bisa dilakukan tanpa surat perintah. Meski demikian, pihak yang yang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan orang yang ditangkap serta bukti-bukti yang ada di tempat kejadian kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

Penyidik dan penyidik pembantu dalam hal bisa polisi atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, misalnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polisi Pamong Praja (Pol PP).

Hak-hak seseorang dalam penangkapan
Selain dalam kondisi tertangkap tangan, seseorang yang akan ditangkap berhak meminta petugas untuk menunjukkan surat tugas dan surat penangkapan. Ia berhak menolak ditangkap bila petugas tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen tersebut.

Apabila tindak pidana yang didakwakan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 15 tahun/lebih, maka ia wajib mendapat penasihat hukum secara cuma-cuma.

Penasihat hukum disediakan sesuai dengan tingkat pemeriksaan sejak seseorang ditangkap. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penyidikan, maka penasihat hukum disediakan oleh penyidik, misalnya oleh kepolisian. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penuntutan, maka penasihat hukum disediakan oleh kejaksaan. Jika tersangka diperiksa dalam tahap persidangan, maka penasihat hukum disediakan oleh pengadilan.

Bantuan hukum secara cuma-cuma juga diberikan apabila seseorang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, dengan catatan bahwa orang tersebut adalah orang yang tidak mampu.

Apabila seseorang diancam dengan pidana di bawah 5 tahun, atau di atas 5 tahun namun dia bukan orang yang tidak mampu, KUHAP tidak mewajibkan orang tersebut untuk didampingi oleh penasihat hukum selama pemeriksaan oleh petugas kepolisian.

Walau tidak ada penasihat hukum, dalam kasus seperti ini hal tersebut tetap sah secara prosedural.

Namun, seseorang tetap berhak didampingi penasihat hukum selama pemeriksaan. Seseorang berhak menunjuk sendiri penasihat hukum yang akan mendampinginya dengan menggunakan biaya pribadi. Bila orang tersebut telah menunjuk penasihat hukum namun kemudian petugas melarang penasihat hukum untuk mendampingi maka itu menjadi pelanggaran prosedur.

Setelah penangkapan, penyidik akan melakukan pemeriksaan kepada orang yang ditangkap sebagai tersangka tersebut. Sepanjang masa pemeriksaan, tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan — baik secara langsung maupun melalui penasihat hukumnya — dari sanak keluarga. Kunjungan ini diizinkan sepanjang dilakukan untuk kepentingan kekeluargaan atau kepentingan pekerjaan, serta tidak ada hubungannya dari perkara tersangka. Tersangka juga berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.

Tersangka tidak memiliki kewajiban pembuktian, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap persidangan.

Jadi, tersangka berhak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan dirinya: tidak menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan.

Hal ini dikenal pula sebagai rights to non-self-incrimination dalam hukum pidana.

Pada praktiknya, tersangka juga tidak disumpah pada saat memberikan keterangan, sehingga tersangka tidak wajib memberi keterangan yang sebenarnya serta dapat memberi keterangan yang menguntungkan dirinya.

Dengan kata lain, tersangka boleh bohong. Namun perlu diperhatikan bahwa keterangan tersangka memiliki kekuatan pembuktian yang paling lemah dan harus didukung oleh alat bukti lainnya.

Penangkapan hanya dapat dilakukan selama satu hari — tidak lebih.

Apabila jangka waktu satu hari sudah lewat, maka tersangka harus dibebaskan atau ditahan oleh penyidik.

Tersangka yang akan ditahan dapat mengajukan agar dilakukan penangguhan penahanan kepada pihak yang melakukan penahanan: kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.

Penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan menggunakan jaminan uang atau jaminan orang.

Apa yang dapat dilakukan jika penangkapan dilakukan tidak sesuai aturan?

Lembaga praperadilan - misalnya Pengadilan Negeri - yang diatur didalam KUHAP bertujuan untuk menjamin seseorang yang sedang berhadapan dengan aparatur penegak hukum dalam kasus pidana tidak menerima perlakuan sewenang wenang dan melanggar HAM.

Praperadilan berwenang untuk menguji sah atau tidaknya penyidikan dan penuntutan perkara pidana; sah atau tidaknya penetapan tersangka seseorang; dan kemudian menetapkan rehabilitasi dan ganti kerugian akibat adanya prosedur yang cacat hukum.

Dalam kasus Ravio, sebagai pihak yang dirugikan, ia dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik dari kepolisian melalui pengadilan negeri yang berwenang.

Hakim pengadilan negeri memeriksa gugatan praperadilan selama tujuh hari sejak perkara didaftarkan. Dalam proses pemeriksaan, sesuai sifat gugatan, hakim akan melakukan pengujian secara formil saja, yaitu memeriksa apakah bukti surat perintah penangkapan sudah memuat informasi yang jelas dan sudah diberikan kepada orang yang ditangkap.

Menurut KUHAP, hakim yang memeriksa perkara praperadilan berwenang mendengar keterangan dari para pihak, baik tersangka maupun aparat terkait. Hakim juga bisa memerintahkan para pihak untuk menghadirkan bukti-bukti formil untuk menilai kecacatan prosedural yang diduga telah terjadi.

Dalam kasus Ravio, hakim praperadilan dapat memerintahkan penyidik yang bersangkutan untuk menunjukkan surat perintah penangkapan yang digunakan penyidik sebagai legitimasi untuk dapat menangkap.

Jika hakim berkesimpulan bahwa dalam penangkapan ada cacat prosedur, maka proses dan hasil dari penangkapan tersebut (Berita Acara Pemeriksaan/BAP) atas nama Ravio menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Sehingga, jika di kemudian hari penyidik yakin bahwa tindak pidana yang sebelumnya dilaporkan atas nama Ravio benar telah terjadi, maka untuk memeriksa Ravio, maka penyidik harus mengulangi tahapan penyidikan dari awal.

Jika hakim praperadilan menemukan bahwa penyidik yang bertugas lalai, mereka juga dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi (sejumlah uang) ataupun melakukan rehabilitasi (pemulihan kemampuan, harkat dan martabat) kepada Ravio.

Mekanisme alternatif praperadilan dalam rancangan KUHAP
KUHAP yang berlaku di Indonesia saat ini sudah berumur kurang lebih 39 tahun, maka aturan ini perlu diubah sesuai perkembangan dan kemajuan masyarakat.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat bahwa setiap tahun antara 2003 dan 2015, KUHAP diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) - total 75 perkara.

Hingga tahun 2017 terdapat 9 permohonan judicial review yang dikabulkan oleh MK termasuk didalamnya pasal-pasal KUHAP yang berkaitan dengan Praperadilan.

Dalam dokumen rancangan KUHAP yang baru versi Desember 2012, dibentuk lembaga baru yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menjalankan fungsi praperadilan yang lebih mendetil. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Lembaga ini diharapkan lebih mampu melindungi hak-hak orang yang sedang diperiksa dalam perkara pidana.

Dalam rancangan KUHAP itu, HPP diisi oleh hakim yang berwenang mengawasi upaya paksa baik berupa penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan rumah, pemeriksaan surat oleh penyidik.

HPP dirancang untuk memastikan aparat penegak hukum telah bertindak sesuai perundang-undangan dan kasus yang sedang diperiksa layak untuk disidangkan karena alat bukti (juga dua bukti permulaan yang cukup) yang ada telah diperoleh secara sah.

*Alamat Kantor LBH API : 
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget