Artikel Hukum

Oleh : Ayopri Al Jufri*

Istilah tatanan sosial dapat digunakan dalam dua pengertian: Dalam pengertian pertama, ini mengacu pada sistemstruktur dan institusi sosial Tertentu . Contohnya adalah tatanan sosial kuno, feodal, dan kapitalis. Dalam kedua, tatanan sosial dikontraskan dengan pengungkapan atau ketidakteraturan sosial dan mengacu pada keadaan masyarakat yang stabil di mana struktur sosial yang ada diterima dan dipelihara oleh para anggotanya.

Tatanan sosial ada dalam Kehidupan manusia Maden (menetap), dalam Kehidupan manusia Maden pasti akan mengalami permasalahan yang komplek, mulai dari sektor ekononomi, Politik, Budaya, adat istiadat dan lainnya, tentu dari sektor masing-masing tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam kepentingan yang berbeda pasti ada keinginan dari masing-masing individu dan kelompok yang menginginkan dominasi dari sebagian yang lain, suatu contoh sektor ekonomi banyak kita temukan permasalahan  yang disebut monopoli usaha, dan kecurangan takaran produk jualan, dari sektor politik tidak jarang kita temukan hal-hal kecurangan dan penyimpangan, dari sektor budaya dan adat istiadat dari masing-masing kelompok berbeda atau daerah memiliki kebiasaan yang berbeda, tentu memiliki rasa ingin mengunggulkan kebiasaan masing-masing. Oleh karena itu sangat diperlukan tata aturan jelas yang dapat menyelaraskan semua kepentingan, yaitu dengan adanya Hukum yang dapat menertibkan ego individu dan kelompok, agar tercipta masyarakat yang aman, sejahtera dan adil juga beradab.

Adanya hukum bukan saja untuk menghukum orang, adanya hukum sebagai aturan jalan kehidupan manusia agar bisa hidup secara adab dan tertib, sehingga bisa melahirkan kehidupan masyarakat maden yang saling menghargai dan menghormati, tanpa aturan hukum manusia seperti hidup dialam rimba, dimana yang kuat memakan yang lemah, yang mayoritas membasmi minoritas seperti tergambar dalan Film " Apocalypto" dalam film tersebut menceritakan kehidupan suku Maya, dimana populasi suku maya yang banyak membumihanguskan suku-suku yang lebih kecil untuk kepentingan sukunya sendiri, agar pembaca punya gambaran bagaimana mencekamnya kehidupan tanpa hukum, saya rekomendasikan menonton film tersebut. Tentu kita semua tidak menginginkan itu, kita manusia maden menginginkan kehidupan berjalan secara baik-baik saja, adapun harapan itu bisa terwujud jika kekuatan hukum ada, ditambah ada pemerintah sebagai pelaksana hukum dengan perangkatnya yang bernama penegak hukum.

Lalu apa sebenarnya gambaran detil tentang manfaat adanya hukum? Karena banyak asumsi di masyakat awam, bahwa hukum itu menyeramkan karena sifatnya menghukum orang, bahkan ada yang sampai dihukum mati, tentu asumsi dan anggapan itu salah, adanya hukum itu adalah menertibkan siapa ynag salah harus dihukum, siapa yang benar harus mendapat perlindungan dan wajib dibela. Berikut adalah manfaat hukum bagi tatanan kehidupan sosial;

Hukum adalah peraturan, undang-undang, atau adat yang secara resmi dianggap mengikat untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat. Kehendak hukum adalah mengatur tata kehidupan masyarakat, agar hidup tertib, rapi, juga bermartabat. 

Pengertian hukum secara etimologis berasal dari empat kata, antara lain Hukum, Recht, Lex, dan Ius. Kata hukum berasal dari kata “hukmun”, sebuah kata bentuk tunggal di bahasa Arab. Kata “Hukmun” bentuk jamaknya adalah “Ahkam”. Istilah “Ahkam” kemudian diadopsi ke dalam bahasa kita menjadi kata “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.

Fungsi, Tujuan, dan Tugas hukum dalam kehidupan masyarakat:

1. Fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat

Dikutip dari buku "Sistem Hukum dan Penegakan Hukum" oleh S. Salle, fungsi hukum pada hakekatnya adalah untuk merealisasi apa yang menjadi tujuan-tujuan hukum itu sendiri. Namun, beberapa ahli memiliki definisi sendiri.

Berikut ini fungsi hukum menurut para ahli, antara lain:

a. Fungsi hukum menurut Sudikno Mertokusumo

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan-kepentingannya terlindungi, maka hukum seyogyanya dilaksanakan secara nyata.

b. Fungsi hukum menurut Lambertus Johannes van Apeldoorn

Hukum berfungsi sebagai pengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.

c. Fungsi hukum menurut Joseph Raz

Fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat oleh Joseph Raz dibagi menjadi fungsi langsung dan tidak langsung.

Fungsi langsung dari hukum, kemudian dibedakannya berdasarkan fungsi bersifat primer dan sekunder. Fungsi langsung hukum bersifat primer mencakup di dalamnya adalah

- Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu

- Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat

- Penyediaan jasa dan pembagian kembali barang-barang

- Penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.

Sementara fungsi langsung hukum bersifat sekunder mencakup di dalamnya:

- Prosedur bagi perubahan hukum, meliputi: Constitution making bodies, Parliaments, Local authorities, Administrative legislation, Custom, Judicial law making, Regulation made by independent public bodies.

- Prosedur bagi pelaksanaan hukum.

Adapun fungsi tidak langsung dari hukum, termasuk memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai nilai moral tertentu, antara lain tentang kesucian hidup, memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum, mempengaruhi perasaan nasionalisme dan lain-lain.

2. Tujuan hukum

Menurut, Nikolaas Egbert Algra tujuan hukum dalam masyarakat adalah:

- Menciptakan tatanan masyarakat yang tertib

- Menciptakan ketertiban dan keseimbangan

- Menegakkan fungsi-fungsi

Sementara menurut pandangan Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum harus menciptakan ketertiban dan tercapainya keadilan.

3. Tugas hukum

Nikolaas Egbert Algra juga mengemukakan tugas hukum di antaranya adalah:

- Membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat

- Membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum

- Memelihara kepastian hukum.

Setelah kita mengetahui Fungsi, Tujuan, dan Tugas hukum dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya kita harus tahu tentang tatanan sosial secara ideal agar kita secara jelas korelasi antara Hukum dan tatanan sosial seperti dalam judul tulisan ini.

Tatanan sosial adalah konsep fundamental dalam sosiologi yang mengacu pada cara berbagai komponen masyarakat bekerja sama untuk mempertahankan status quo. Mereka termasuk:

 1. Struktur dan institusi sosial

 2. Hubungan sosial

 3. Interaksi dan perilaku sosial

 4. Fitur budaya seperti norma ,  

 5. Kepercayaan, dan nilai

Di luar bidang sosiologi, orang sering menggunakan istilah "tatanan sosial" untuk merujuk pada keadaan stabilitas dan konsensus yang ada tanpa adanya kekacauan dan pergolakan. Namun, sosiolog memiliki pemahaman yang lebih kompleks tentang istilah tersebut.

Di dalam lapangan, ini mengacu pada organisasi dari banyak bagian masyarakat yang saling terkait. Tatanan sosial hadir ketika individu menyetujui kontrak sosial bersama yang menyatakan bahwa aturan dan hukum tertentu harus dipatuhi dan standar, nilai, dan norma tertentu dipertahankan.

Tatanan sosial dapat diamati dalam masyarakat nasional, wilayah geografis, lembaga dan organisasi, komunitas, kelompok formal dan informal, dan bahkan pada skala masyarakat global .

Dalam semua ini, tatanan sosial paling sering bersifat hierarkis; beberapa orang memegang kekuasaan lebih dari yang lain sehingga mereka dapat menegakkan hukum, aturan, dan norma yang diperlukan untuk pelestarian tatanan sosial.

Praktik, perilaku, nilai, dan keyakinan yang bertentangan dengan tatanan sosial biasanya dianggap menyimpang dan / atau berbahaya  dan dibatasi melalui penegakan hukum, aturan, norma, dan tabu .

Pertanyaan bagaimana tatanan sosial dicapai dan dipertahankan adalah pertanyaan yang melahirkan bidang sosiologi.

Dalam bukunya  Leviathan, filsuf Inggris Thomas Hobbes meletakkan dasar untuk eksplorasi pertanyaan ini dalam ilmu sosial. Hobbes menyadari bahwa tanpa suatu bentuk kontrak sosial, tidak akan ada masyarakat, dan kekacauan dan kekacauan akan berkuasa.

Menurut Hobbes, negara modern diciptakan untuk menyediakan tatanan sosial. Orang-orang setuju untuk memberdayakan negara untuk menegakkan supremasi hukum, dan sebagai gantinya, mereka menyerahkan sebagian kekuasaan individu. Inilah inti dari kontrak sosial yang menjadi fondasi teori tatanan sosial Hobbes.

Jadi jelas, adanya hukum dalam tatanan sosial sangat diperlukan agar tercipta kehidupan masyarakat yang tetib, adil dan bermartabat, untuk keberlangsungan hidup bersama dan kepentingan hidup bersama. 

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)

Memulai penerapan hukum harus berdasar alat bukti yang cukup oleh semua penegak hukum Baik Polisi, Jaksa maupun KPK, sedangkan Penjatuhan hukum dalam sidang harus berdasar bukti yang dapat meyakinkan hakim, lalu apa sajakah yang dapat dijadikan alat bukti dalam penegakan hukum dan penjatuhan hukuman, berikut ulasannya, namun Sebelum pada paparan Bukti, perlu diketahui bahwa ada dua jenis hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Perdata atau dikenal Hukum Privat, dan Hukum Pidana atau dikenal Hukum Publik.

1. Pembuktian Hukum Perdata

Bahwasannya dalam proses penyelesaian sengketa keperdataan para pihak yang bersengketa harus dapat membuktikan objek yang dipersengketakan adalah merupakan haknya dan bukan merupakan hak pihak lain.

Adapun alat bukti dalam proses perkara perdata adalah meliputi Pemeriksaan Setempat (Pasal 153 HIR), Keterangan Ahli (Pasal 154 HIR) dan alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 164 HIR yang meliputi Bukti Tertulis, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah.

Kekuatan masing-masing alat bukti tersebut berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya misalnya Akta Otentik, Pengakuan dan Sumpah bersumpah pembuktian sempurna sedangkan alat bukti saksi kekuatan pembuktiannya dan persangkaan kekuatan pembuktiannya menjadi kewenangan hakim.

Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya.

Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

2. Pembuktian Hukum Pidana

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. 

B. Barang Bukti 

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: 

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; 

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; 

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, 

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14). 

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya: 

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti) 

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti) 

c.  Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti) 

d.  Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti) Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti : 

a. Merupakan objek materiil 

b. Berbicara untuk diri sendiri 

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya 

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa 

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan. 

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah : 

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana 

b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana 

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana 

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana 

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara 

f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19). 

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita. 

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai 

berikut: 

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP); 

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani; 

3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU. 

Tulisan ini disadur dari banyak sumber, jika ada kekeliruan, kritik dan saran silahkan ketik di kolom komentar.

Referensi

Harahap, Yahya M. Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag). Penerbit Pustaka, Bandung, 1990.

Harahap, Krisna. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, PT Grafitri Budi Utami, Bandung, 1996.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Muhamad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Prodjodikoro, Wirjono R. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1982.

Samudra, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara

Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Subekti, R. Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

_______. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1998.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. 2000.

Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Sumber Perundang-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan Menjadi Undangundang.

 

Oleh : Ayopri Al Jufri*

Telah menjadi pemahaman umum dalam sebuah perjanjian atau surat pernyataan atau surat kesepakatan ditempel materai, baik tiga ribu, enam ribu, dan sekarang yang berlaku sepuluh ribu. Pemahaman umum materai dianggap sebuah tanda sahnya sebuah surat perjanjian atau kesepatakan, sebetulnya apa sih fungsinya dari menempel materai dalam surat-surat tersebut?, apakah sebuah perjanjian tidak sah jika tidak ditempel materai?Berikut saya paparkan.

Meterai atau lebih sering disebut materai, bisa jadi salah satu produk hukum perpajakan yang sangat familiar di kehidupan kita. Materai ini seringkali digunakan dalam penandatanganan surat perjanjian dan surat-surat berharga lainnya.

Tujuan penempelan materai yakni memberikan nilai hukum pada sebuah dokumen yang telah dibuat. Untuk surat yang ditandatangi, materai yang digunakan biasanya adalah materai 6000.

Lalu apa sebenarnya fungsi materai 6000 (apa itu materai 6000)?

Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.

Dalam arti lain, bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Penggunaan dan fungsi materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, bea materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu.

Sebenarnya, tak semua dokumen berharga harus dibubuhi materai. Dengan kata lain, dokumen tanpa materai bukan berarti dokumen tersebut dianggap tidak sah. Namun, dokumen tanpa materai tersebut tak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.

Status dokumen tak bermaterai

Dalam kasus ketika surat atau dokumen tidak dibubuhi materai namun akan dijadikan bukti ke pengadilan, maka pelunasan bea materai dilakukan dengan Pemeteraian Kemudian.

"Pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia," bunyi Pasal 1 huruf c Kepmenkeu 476/2002.

Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan kemudian disahkan oleh Pejabat Pos.

Artinya, pembuktian surat yang tidak dibubuhi materai, memiliki kekuatan hukum yang sama dengan surat bermaterai. Namun agar bisa dijadikan alat bukti di pengadilan, surat tersebut haruslah melunasi pajak bea materai yang terutang.

Berdasarkan PP No 24 tahun 2000, berikut surat yang memerlukan materai 6000 adalah:

1. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan) yang dibuat untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata

2. Akta Notaris termasuk salinannya

3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya

4. Surat yang memuat jumlah uang (penerimaan uang, pembukuan, pemberitahuan saldo rekening di Bank, pemberitahuan pelunasan utang) dengan nominal lebih dari Rp. 1000.000,00

5. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan

5. Cek, Bilyet, Giro 

6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000

7.Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000

Saat ini, pelunasan bea materai dapat dilakukan melalui aplikasi e-Meterai yang diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-66/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.

Penggunaan materai digital bisa dilakukan jika wajib pajak mengajukan permohonan izin kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk menggunakan mesin teraan.

Dalam banyak kasus, seringkali perusahaan besar membutuhkan banyak dokumen bermaterai. Sehingga materai digital cukup membantu operasional perusahaan.

Namun perlu ditegaskan sejak tahun 2021 penggunaan materai telah ditentukan bernilai 10.000 dengan dasar ketentuan berikut : 

Sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, poin b dan c menjelaskan bagaimana penggunaan materai saat ini yang minimal digunakan Rp9.000.

b. Materai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.

c. Materai tempel yang digunakan untuk melakukan pembayaran Bea Materai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksusd dalam huruf b, dapat digunakan dengan nilai total Materai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp9.000,00 (sembilan ribu rupiah). 

Sedangkan rincian dokumen yang terkena bea meterai Rp. 10.000 Merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2020, bea materai Rp 10.000 dikenakan atas beberapa dokumen yang meliputi: 

1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; 

2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya; 

3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya; 

4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun; 

5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 

6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang; 

7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang (1) menyebutkan penerimaan uang; atau (2) berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; 

8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Setelah memahami fungsi dari materai, maka kita harus tahu secara hukum tentang syarat sahnya sebuah perjanjian, berikut saya paparkan : 

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai syarat sah perjanjian, ada baiknya untuk kamu mengerti dulu apa sih arti dari sebuah perjanjian? Apa ada dasar hukum di Indonesia yang membahas tentang perjanjian? 

Pengertian perjanjian 

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah perbuatan yang melibatkan satu orang atau lebih yang mengikat diri mereka dengan orang lain atau lebih. Dalam perjanjian tersebut termuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Karena sifatnya yang mengikat, maka perjanjian bisa juga disamakan dengan Undang-Undang, bedanya hanya lingkupnya saja. 

Kalau undang-undang harus ditaati semua warga negara, perjanjian ditaati pihak yang bersepakat. 

Selain untuk pengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian juga memiliki fungsi sebagai alat bukti yang sah untuk menyelesaikan sengketa.

Tak bisa dipungkiri bahwa setiap hubungan bisa saja mengalami perselisihan atau konflik. Nah, perjanjian bisa dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Dasar hukum perjanjian

Dasar hukum di Indonesia telah memuat banyak hal tentang perjanjian, termasuk syarat sah perjanjian. Pengertian perjanjian itu sendiri telah tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata. 

Pasal tersebut menyebut “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Sementara untuk syarat sah perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berdasarkan pasal tersebut, kesepakatan harus memenuhi empat syarat agar bisa sah menjadi perjanjian, di antaranya:

1. syarat kesepakatan, 

2. kecakapan, 

3. objek, 

4. halal. 

Ini 4 syarat sah perjanjian yang wajib dipenuhi

Dalam praktiknya, perjanjian memiliki sejumlah syarat supaya dianggap sah secara hukum. Syarat sah perjanjian itu diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1320. Syarat-syarat sah tersebut, antara lain:

1. Kesepatakan mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan para subjek yang membuat perjanjian. 

Sementara itu, syarat kedua dan ketiga disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek dalam perjanjian.

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

“Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya” berarti para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan.

Kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Adanya unsur pengikat inilah yang kemudian menjadi syarat sah perjanjian. 

Sebagai contoh, sebuah perusahaan ingin menyewa sejumlah kendaraan bermotor dari perusahaan penyedia kendaraan bermotor. Nah, kedua belah pihak sepakat dalam hal penyewaan kendaraan bermotor dalam kurun waktu satu tahun untuk keperluan tertentu.

Perjanjian tersebut mengatur terkait harga, cara pembayaran, sanksi, penyelesaian sengketa, dan sebagainya. Biasanya, di dalam kesepakatan bersangkutan turut menyatakan bahwa kedua pihak menyepakati tanpa adanya unsur penipuan, paksaan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1330 KUHPerdata telah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian. Di samping itu, ada orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian, antara lain:

Orang yang belum dewasa.

Orang yang ditempatkan di bawah kondisi khusus (seperti cacat, gila, dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan sebagainya).

3. Suatu pokok persoalan tertentu

“Suatu pokok persoalan tertentu” berarti apa yang diperjanjikan (objek perikatannya) harus jelas. Dengan kata lain, jenis barang atau jasa itu harus ada dan nyata.

Sebagai contoh, perjanjian menyewa rumah toko (ruko) dua lantai dengan luas bangunan 750 m2 yang terletak di Jalan Kebahagiaan Nomor 69, Jakarta Pusat. Ruko adalah barang yang jelas dan nyata.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

“Suatu sebab yang tidak terlarang” atau juga sering disebut sebagai suatu sebab yang halal berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan, ataupun ketertiban umum.

Sebagai contoh, pihak terkait melakukan perjanjian jual beli ganja yang mana barang tersebut dinyatakan terlarang secara hukum di Indonesia. Perjanjian semacam ini adalah dianggap tidak sah.

Syarat sah perjanjian kerja

Dalam dunia kerja, perusahaan dan pegawai telah menyepakati perjanjian kerja sebelumnya. Jika kita mengacu pada syarat sah perjanjian sesuai KUHPerdata, perjanjian kerja agar sah juga harus memenuhi empat syarat. 

Syarat pertama yang harus dipenuhi adanya kesepakatan di antara kedua pihak, yaitu pemberi kerja dan penerima kerja. Pemberi kerja sepakat membayar upah penerima kerja. Sebaliknya, penerima kerja juga sepakat memberikan tenaganya untuk pemberi kerja.

Syarat kedua, usia pekerja telah memasuki usia yang mampu dan cakap melakukan perbuatan hukum. 

Syarat ketiga adanya pekerjaan yang dijanjikan pemberi kerja ke penerima kerja beserta dengan status pengangkatan karyawan.

Syarat sah perjanjian kerja yang terakhir, pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. 

Syarat sah perjanjian polis asuransi

Dalam asuransi juga ada syarat sah perjanjian, khususnya menyangkut polis asuransi antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. 

Polis asuransi sendiri memiliki pengertian perjanjian asuransi yang dipersamakan dengan akta perjanjian asuransi. 

Perjanjian asuransi itu dibuat secara tertulis dan memuat berbagai perjanjian antara pihak pemegang polis dan perusahaan asuransi. 

Polis asuransi harus mencantumkan poin-poin penting sebagai bentuk syarat sah, di antaranya:

1. Tenggang waktu polis 

2. Masa berlakunya pertanggungan

3. Tata cara pembayaran premi

4. Besaran harga premi yang dibayarkan

5. Kurs yang digunakan untuk polis asuransi

6. Kebijakan perusahaan asuransi terkait keterlambatan pembayaran premi yang telah disepakati dengan pemegang polis.

7. Manfaat pertanggungan yang bakal didapatkan pemegang polis

8. Tata cara perpanjangan kontrak masa pertanggungan

9. Pengecualian-pengecualian pertanggungan

10. Klausul penghentian pertanggungan

11. Syarat dan tata cara pengajuan klaim, beserta detil bukti-bukti yang diperlukan

12. Klausul penyelesaian sengketa apabila terjadi konflik antara pemegang polis dan perusahaan asuransi

Semua itu harus tercantum di dalam kesepakatan polis. Pasalnya, asuransi adalah hal yang sangat penting untuk mempersiapkan diri kamu di masa yang akan datang sehingga pastikan kamu memiliki asuransi yang telah sesuai ketentuan. 

A lima asas perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas itikad baik, dan asas kepribadian. 

1. Asas kebebasan berkontrak

Setiap orang, memiliki kebebasan dalam berkontrak, selama kebebasan tersebut tidak melanggar syarat sah perjanjian dan tidak melanggar hukum. 

Kebebasan yang dijunjung di antaranya, kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan melakukan perjanjian dengan siapa saja. 

Kemudian kebebasan menentukan isi perjanjian itu sendiri meliputi pelaksanaan dan persyaratannya, hingga kebebasan menentukan bentuk dari perjanjian, bisa tertulis maupun lisan. 

2. Asas konsensualisme

Perjanjian memiliki asas konsensualisme atau konsensus, yang artinya sepakat. Artinya, sebuah perjanjian harus dilandaskan pada kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih yang mengikat janji.

Bahkan, jika kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat, maka perjanjian tersebut sudah berlaku tanpa perlu suatu formalitas. Kecuali sebuah perjanjian yang membutuhkan syarat formalitas sesuai Undang-Undang, contoh jual beli rumah yang membutuhkan legalitas notaris. 

3. Asas kepastian hukum

Di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dituliskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 

Artinya, kedua belah pihak atau lebih yang telah membuat perjanjian, wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian tersebut layaknya mematuhi Undang-Undang yang berlaku di negara. Jika salah satu mengingkari janji maka perjanjian tersebut bisa diusut ke pengadilan. 

Bagi yang melanggar bisa dan sangat dimungkinkan untuk mendapatkan sanksi sesuai dengan keputusan hakim. 

4. Asas itikad baik

Perjanjian harus dibuat berdasarkan asas itikad baik. Artinya, kedua belah pihak harus saling percaya, saling jujur, dan saling terbuka dalam membuat kesepakatan. Jangan sampai perjanjian tersebut dibuat dengan maksud buruk seperti menipu atau memanipulasi fakta. 

5. Asas kepribadian

Suatu perjanjian harus bersifat personal, artinya kesepakatan tersebut harus mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian secara langsung, tidak boleh diwakilkan dan menyeret orang lain yang tidak sepakat. 

Kondisi-kondisi yang membatalkan keabsahan perjanjian 

Apabila perjanjian telah memenuhi empat syarat sah perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya, maka perjanjian telah dinyatakan sah. 

Kendati demikian, perjanjian bisa batal demi penegakan hukum apabila tidak memenuhi beberapa syarat sebagai berikut.

1. Voidable

Jika syarat pertama dan kedua atau salah satunya tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta pembatalan atas perjanjian yang berlangsung melalui putusan pengadilan. Selama belum dibatalkan oleh hakim, maka perjanjian itu masih tetap dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak.

2. Null dan void

Jika syarat ketiga dan keempat atau salah satunya  tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Yang berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Akibat hukum jika syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi

Setelah mengetahui informasi mengenai empat syarat sah perjanjian, lantas kamu berpikir bagaimana jika salah satu persyaratan tersebut tidak terpenuhi? Apakah ada sanksi hukumnya? 

Sebuah perjanjian telah diatur dan dicatat dalam KUHPerdata. Artinya, perjanjian bisa dibawa ke ranah pengadilan bila salah satu pihak ada yang mengingkari.

Apabila satu di antara empat syarat sah perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya tidak terpenuhi, maka perjanjian bisa dibatalkan. 

Jika yang tidak terpenuhi adalah syarat nomor 1 dan 2, yaitu sepakat dan kecakapan, maka proses pembatalannya harus dilakukan melalui pengadilan. 

Sementara bila yang tidak terpenuhi nomor 3 dan 4, perjanjian dianggap batal dan tidak pernah ada. 

Bila salah satu pihak mengingkari perjanjian dan syarat sah perjanjian, pihak satunya bisa menuntut ke pengadilan dan pihak yang mengingkari berpotensi menerima sanksi denda, atau sanksi yang telah disepakati keduanya.  

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.

 

Oleh : Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adhikara Pancasila Indonesia (API)

Permohonan Itsbat/Pengesahan Nikah

Apakah Pernikahan Anda Sah?

Pernikahan yang sah adalah Pernikahan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kenapa Pernikahan Anda Harus Dicatat?

Sebagai bukti sah-nya Pernikahan anda. Untuk menjamin hak-hak anda dalam Pernikahan jika terjadi perceraian termasuk hak memperoleh warisan dan pensiun. Untuk melindungi hak-hak anak, misalnya dalam membuat akta kelahiran, pengurusan passport, dan hak waris. 

Di mana Pernikahan Anda Harus Dicatat?

Pastikan Anda mendapatkan Buku Kutipan Akta Nikah jika pernikahan anda memang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan Sipil.

Bagi yang beragama Islam, pencatatan pernikahan dilakukan di KUA. Bagi yang beragama selain Islam, pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Catatan Sipil

Bagaimana Jika Pernikahan Anda Belum/Tidak tercatat?

Pernikahan yang tidak tercatat dengan dibuktikan tidak adanya buku nikah, tidak mempunyai kekuatan hukum. Anda harus mengajukan permohonan pengesahan/itsbat nikah agar Pernikahan anda mempunyai kekuatan hukum.

Bagaimana Jika Buku Nikah Anda Hilang?

Anda bisa meminta Duplikat Kutipan Akta Nikah ke KUA/Kantor Catatan Sipil tempat Pernikahan dilangsungkan.

Untuk keperluan pengurusan TASPEN, anda biasanya harus mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan.

ITSBAT NIKAH

Apa Itu Itsbat/Pengesahan Nikah?

Itsbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum.

Siapa Yang Bisa Mengajukan Itsbat Nikah?

Yang bisa mengajukan permohonan Itsbat Nikah adalah:

1. Suami

2. Istri

3. Anak

4. Orang tua / Wali Nikah.

Catatan :

Bagi suami istri yang masih hidup, maka keduanya harus menjadi pihak yang mengajukan permohonan.

Bagi pasangan yang salah satunya meninggal dunia, pihak yang masih hidup yang mengajukan permohonan.

Ketidak hadiran pihak Tergugat/Termohon dalam perkara itsbat nikah untuk perceraian tidak mempengaruhi penyelesaian perkara.

Dalam Hal Apa Saja Anda Mengajukan Itsbat Nikah?

Untuk penyelesaian perceraian.

Hilangnya Buku Nikah.

Jika anda ragu tentang sah atau tidaknya salah satu syarat Pernikahan. Jika Pernikahan anda tidak tercatat dan terjadi sebelum tahun 1974. Pernikahan yang tidak tercatat dan terjadi setelah tahun 1974 dan tidak melanggar ketentuan Undang-undang.

Berapa Besar Panjar Biaya Perkara?

Panjar biaya perkara adalah biaya yang harus dibayar oleh pemohon ke pengadilan, biaya ini merupakan uang muka biaya perkara. Pada saat sidang telah selesai, anda bisa meminta sisa biaya perkara yang telah anda bayarkan pada saat mendaftar jika memang masih ada sisa. Tanyakan kepada petugas pengadilan berapa besar biaya yang seharusnya dikeluarkan, apakah ada sisa panjar? Minta ditunjukkan peraturan biaya perkara yang ada di Pengadilan. Apabila sisa panjar biaya perkara tidak diberikan, laporkan kepada Ketua Pengadilan.

Besaran panjar biaya perkara ditentukan oleh Ketua Pengadilan dan biasanya rincian biaya tersebut sudah ada di papan pengumuman di pengadilan. Besarnya panjar biaya perkara berbeda dari satu pengadilan ke pengadilan yang lain.

Perbedaan besarnya panjar tersebut ditentukan jauh dekatnya tempat tinggal anda ke kantor pengadilan.

Panjar biaya perkara terdiri dari: biaya panggilan, meterai, redaksi, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

Untuk mendapatkan kepastian besarnya panjar biaya dan rinciannya, anda bisa menghubungi kantor pengadilan atau bisa dilihat di website pengadilan.

LANGKAH-LANGKAH MENGAJUKAN PERMOHONAN/PENGESAHAN ITSBAT NIKAH

Langkah 1. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat.

1. Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal anda.

3. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri (seperti terlampir). Apabila anda tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-cuma.

2. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu 1) surat permohonan itsbat nikah digabung dengan gugat cerai dan 2) surat permohonan itsbat nikah (lihat di lampiran).

3. Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi anda simpan.

4. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.

Langkah 2. Membayar Panjar Biaya Perkara

Membayar panjar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk beperkara secara cuma-cuma (Prodeo). Rincian informasi tentang Prodeo dapat dilihat di Panduan Prodeo.

Apabila anda mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara anda di pengadilan menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya transportasi anda dari rumah ke pengadilan. Apabila anda merasa biaya tersebut masih tidak terjangkau, maka anda dapat mengajukan Sidang Keliling. Rincian informasi tentang Sidang Keliling dapat dilihat di Panduan Sidang Keliling.

Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar biaya perkara.

Langkah 3. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan

Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan.

Langkah 4. Menghadiri Persidangan

Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.

Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan.

Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada Pemohon/ Termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat.

Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan anda harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan anda di antaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan anda.

Langkah 5. Putusan/Penetapan Pengadilan 

Jika permohonan anda dikabulkan, Pengadilan akan mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah.

Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir.

Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan Surat Kuasa.

Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, anda bisa meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.

Tulisan ini disadur dari banyak sumber, termasuk dari pengadilan agama dan pengadilan negeri secara umum.

Alamat Kantor LBH API : 

Jl. Pelita Nomor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


 



Oleh : Ayopri Al Jufri

Politik dan Hukum adalah sebuah kesatuan yang sulit dipisahkan, apabila kita membuat sebuah permisalan, Politik dan Hukum bagaikan  dua sisi koin, dimana dua sisi tersebut saling terikat nilai dan melekat pada nilai koin. 

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjamahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rech dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Berkaitan dengan istilah ini, belum ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.

Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams dalam acara dies natalis milad Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan hari alumni Fakultas Hukum UMJ, yang bertajuk “Politik Hukum Pembangunan Sistem Hukum Nasional dalam Konteks Pancasila, UUD NKRI 1945, dan Global “ di ruang Aula FH UMJ, pada Sabtu Pagi (22/11) yang lalu, mengatakan : 

"Hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasar, yaitu hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum menjadi arah dan pengendali semua kegiatan pokitik. Kedua, politik determinan atas hukum. Serta yang ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, karena politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), sementara hukum tanpa politik akan jadi lumpuh."

Politik Hukum menurut Prof. Dr. Mahfud MD politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara”. 

Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksud untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan beberapa pendapat hukum  politik, hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai tujuan Negara.

Hakim Mahlamah Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, hukum di indonesia ada tiga macam, yakni hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Namun, dikotomis ketiga hukum tersebut saat ini sudah jarang didengar karena hukum pada saat ini sudah melingkupi semuanya (global). Menurut Wahiduddin, saat ini konsep politik hukum sudah menjadi bagian dari proses globalisasi yang telah mempersatukan masyarakat dunia sebagai komunitas tunggal, saling bergantung, dan terbuka.

“Perlu diketahui bahwa globalisasi merupakan proses multidimensi yang asimetris atau keadaan yang tidak merata. Di satu sisi akan sering menjadi sumber konflik dan kekerasan, namun di sisi lain terdapat keadaan kerja sama dan harmoni dalam berbagai permasalahan dunia,”

Mahfud MD juga menjelaskan bahwa sumber hukum tidak sama dengan hukum. Kitab suci, kebiasaan, dan adat istiadat bisa menjadi sumber hukum, tetapi bukan lantas merupakan hukum yang diakui. Harus ada penetapan dari negara untuk menyatakan sesuatu itu disebut hukum, dalam hal ini bisa undang-undang, peraturan presiden, ataupun peraturan daerah. 

Khusus di Indonesia Terkonsepnya politik hukum dimulai sejak 1960. Melalui TAP MPR No. 1/MPRS/1960, MPR menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). Setelah itu, politik hukum tergambar dalam  Program Pembangunan Nasional (propenas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Saat ini, kita dapat melihat Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai potret politik hukum. Kepentingan pemerintah, DPR, dan DPD untuk membahas produk hukum yang diprioritaskan pada periode tertentu ada dalam prolegnas.

Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggaran egara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi darih ukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untukm enghukumkan sesuatu.

Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). 

Menurut Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul "Pembaharuan dan Politik

Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional" mendefinisikan Politik hukum sebagais uatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

Jadi jelas sesuai paragraf pendahuluan diatas, bahwa Politik dan Hukum sulit dipisahkan dalam penerapannya di Negara Hukum, tentu konteks ini kaitannya dengan arah kebijakan penguasa demi pembangunan negara, dalam hukum pidana dan perdata unsur-unsur Politik tidak dibolehkan dalam penerapannya, dalam penerapan Hukum pidana dan Perdata menggunakan Asas Kepastian dan Keadilan hukum, namun kadang tidak jarang kita temukan kasus Hukum pidana atau Perdata yang diawali dengan langkah Politik, hal itu banyak ditemukan dalam delik aduan, kadang karena unsur beda politik bisa juga berakibat hukum dengan melakukan aduan kepada penegak hukum, tentu dengan dalil dan bukti-bukti yang telah disiapkan. 

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.





Oleh : Ayopri Al Jufri*

Banyak temuan dikalangan masyarakat, ketika mengalami masalah hukum tidak tahu caranya harus kemana meminta bantuan, kebingungan itu disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang hukum, selain itu juga masalah hukum cukup menyita waktu dan fikiran, baik yang terkena masalah hukum maupun pihak keluarga, selain itu persoalan biaya dalam menjalani proses hukum juga cukup besar, mulai biaya transportasi, hingga jasa pendampingan, pembelaan hukum oleh Kuasa Hukum.

Mengapa harus ada biaya pendampingan, pembelaan hukum?. Untuk menjawab ini perlu saya paparkan secara pajang dalam tulisan ini, namun nanti saya akan sajikan pula solusi mendapatkan pendampingan, pembelaan hukum secara Prodeo (Gratis).

Yang pertama, pendampingan, pembelaan hukum membutuhkan biaya cukup besar. Kita harus tahu biaya itu untuk apa saja, yang jelas, bagi Penerima Kuasa Hukum (Advokad / Pengacara) adalah sebuah keharusan adalah Sarjana Hukum yang telah memiliki Sertifikat Pendidikan profesi, dan harus lulus tes sebagai Advokad / Pengacara, setelah itu baru proses sumpah kemudian memiliki SK (Surat Keputusan) praktek beracara. Oleh karena itu, menjadi praktisi hukum itu memerlukan proses legal formal yang cukup panjang, dan juga membutuhkan biaya cukup banyak, selain itu para profesi Advokad / Pengacara memiliki keluarga yang harus dinafkahi dengan cara bekerja sebagai praktisi hukum tersebut.

Selain proses legal formal profesi yang cukup panjang, seorang praktisi hukum juga memerlukan biaya operasional dalam melakukan pendampingan, tidak jarang pendampingan hukum itu keluar kota bahkan keluar negeri, sedangkan para praktisi hukum tersebut tidak mendapatkan gaji dari pemerintah, karena memang bukan pejabat atau penyelenggaran negara. 

Dengan melihat realita lapangan seperti urain diatas, kita dapat pahami persoalan hukum yang menimpa seseorang cukup menyita waktu, tenaga dan biaya, terutama keluarga, maka dari itu diperlukan ahli yang memang betul-betul profesional, kompeten, pengalaman luas, adapun profesi yang dibolehkan oleh Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 adalah Advokad, selain itu jasa Pendampingan, pembelaan hukum didepan sidang dilarang dan tentu ditolak oleh hakim. 

Kedua pendampingan / pembelaan Hukum Gratis (Prodeo), itu telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer 1 tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Pelayanan Hukum bagi Masyarakat tidak mampu di Pengadilan. Dasar hukum ini merupakan angin segar bagi masyarakat tidak mampu apabila mengalami masalah hukum agar menemukan solusi. 

Masyarakat umum Harus tahu tentang ini, terutama organisasi kemahasiswaan dan organisasi masyarakat, dimana peran sosial dalam memberikan arahan kepada masyarakat, bahwa ada cara pendampingan, pembelaan hukum secara Gratis, bagi masyarakat tidak mampu, baik itu Perkata Perdata, Pidana maupun perkara lain. 

Bahwa betul masyarakat yang tidak mampu membayar jasa advokat, dapat mendapatkan jasanya secara gratis. Ada dua cara untuk mendapatkan jasa advokat secara gratis, pertama meminta bantuan hukum (legal aid) ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan. Kedua, meminta bantuan hukum secara cuma-cuma kepada advokat (pro bono). Perlu kita pahami terlebih dulu perbedaannya.

Pertama, istilah bantuan hukum (legal aid) dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, didefinisikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

Sedangkan istilah bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono) adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu, yang mengacu pada Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Maka perlu dipahami dan dibedakan terlebih dahulu definisi tersebut. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan dalam artikel Perbedaan Pro Bono dengan Bantuan Hukum (Legal Aid), bantuan hukum merupakan derma atau kebijakan bidang kesejahteraan sosial dari pemerintah, sementara pro bono berasal dari value system para advokat yang harus menjaga kehormatan profesinya itu.

Meminta Bantuan Hukum (Legal Aid) Kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Bantuan Hukum (legal aid) diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non-litigasi. Pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.

Legal aid diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi penerima bantuan hukum.

Jika melihat secara cermat, legal aid lebih spesifik karena terbatas kepada pemberi bantuan hukum, yaitu adalah lembaga bantuan hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan dan melaksanakan bantuan hukum berdasarkan UU Nomer 16 tahun2011. syaratnya adalah:

1. Berbadan hukum

2. Terakreditasi

3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

4. Memiliki pengurus; dan

5. Memiliki program Bantuan Hukum.

Menkumham mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan, serta melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum.

Jika Anda tidak mampu membutuhkan bantuan hukum dari LBH atau organisasi kemasyarakatan sebagai pemberi bantuan hukum, maka Anda disebut sebagai Penerima Bantuan Hukum yaitu setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan).

Adapun untuk memperoleh legal aid ini, pemohon (penerima bantuan hukum) harus memenuhi syarat-syarat:

1. Mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum;

2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, berarti untuk mendapatkan legal aid (bantuan hukum) dari pengacara di LBH atau organisasi kemasyarakatan harus memenuhi syarat di atas salah satunya adalah surat keterangan miskin. Lalu bagaimana untuk pro bono (meminta bantuan hukum kepada advokat)?

Meminta Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Advokat (Pro Bono) 

Apabila melihat kembali perbedaan definisi antara legal aid dan probono pada penjelasan di atas akan jelas terlihat bahwa pro bono diberikan oleh advokat di mana-pun ia berada (tidak terbatas pada LBH atau organisasi kemasyarakatan).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 10 PP 83/2008 dan Pasal 5 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Peraturan Peradi 1/2010) pemberian pro bono tidak terbatas di dalam ruang sidang/pengadilan (pada setiap tingkat proses peradilan), tetapi juga dilakukan di luar pengadilan. Advokat harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium.

Pengaturan mengenai pro bono ini mengacu pada UU 18/2003, PP 83/2008, dan Peraturan Peradi 1/2010. Ketiga peraturan tersebut menyebutkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Untuk memperoleh pro bono, pencari keadilan mengajukan permohonan tertulis atau lisan yang ditujukan:

1. langsung kepada advokat; atau

2. melalui organisasi advokat; atau

3. melalui LBH.

Permohonan tertulis tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:

1. Nama, alamat, dan pekerjaan pemohon; dan

2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.

3. Melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan legal aid (bantuan hukum) atau probono dari advokat, memang membutuhkan surat keterangan miskin atau surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berwenang, hal itu sebagai syarat untuk mendapatkan jasa hukum.

Jadi jelas sudah, peran pemerintah dalam memberikan pelayanan keadilan hukum ditengah-tengah masyarakat sudah sangat benar, dengan adanya pelayanan pendampingan dan pembelaan hukum secara gratis telah terpenuhi Pancasila Sila ke lima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, terutama bidang hukum.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma;

4. Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.

Alamat Kantor : 

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216




Oleh : Ayopri Al Jufri*

Salahsatu dalam hukum keluarga dalam islam adalah hukum waris, dimana hukum ini bersifat perdata menurut hukum umum, hukum waris seharusnya jadi perhatian serius mengingat pentingnya, kenapa hukum waris perlu perhatian serius? karena banyak temuan kasus di lapangan, banyak sengketa waris yang berlanjut ke sidang, dan banyak pertengkaran antar saudara karena waris, hubungan silaturahmi terputus karena waris. Bahkan ada mitos di desa, Harta warisan itu angker, penerima waris yang tidak amanah bisa berakibat buruk pada jalan hidupnya, begitu pentingnya persoalan warisan, sehingga persoalan mistik pun diyakini karena warisan. 

Sebenarnya bagaimana sih melaksanakan Hukum Waris yang benar agar kita tidak menimbulkan efek kurang baik, baik itu urusan dunia atau urusan akhirat, serta bagaimana syarat dan rukunnya?

Sebelumnya kita harus tahu pengertian waris itu sendiri, Secara istilah, kewarisan adalah pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

Dasar hukum kewarisan dalam Islam ini tercantum dalam Alquran surah An-Nisa ayat 7:

لِّلرِّجَالِ نَصِیبࣱ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَ ٰ⁠لِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِیبࣱ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَ ٰ⁠لِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِیبࣰا مَّفۡرُوضࣰا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan," (An-Nisa : 7).

Begitu sempurnanya hukum islam, seluruh sendi kehidupan manusia diatur sedemikian rupa, dalam rangka tertibnya kehidupan manusia, persoalan harta peninggalan ketika orang sudah wafat diataur secara apik, agar tidak menimbulkan percekcokan bagi keluarga yang ditinggalkan. Perlu diketahui, dalam hukum waris juga ada syarat dan rukun yang patut dipatuhi, agar dalam pembagian warisan sesuai ketentuan agama islam, tentu konteks Indonesia juga selaras dengan hukum umum (Hukum Perdata), sebagaimana yang diatur oleh pemerintah. 

Di Indonesia, hukum kewarisan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 yang mengatur tentang pengertian pewaris, harta warisan, dan ahli waris.

Aturan mengenai kewarisan juga bersumber pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Karena pentingnya urusan kewarisan ini, terdapat beberapa aturan dasar yang harus diketahui, mencakup syarat-syarat, rukun kewarisan, serta manfaatnya dalam Islam.

Syarat-syarat Kewarisan

Terdapat empat syarat dan tiga rukun dalam ketentuan kewarisan dalam Islam sebagai berikut:

1. Yang mewariskan harta sudah meninggal

Kendati orang yang akan mewariskan hartanya sudah koma atau sakit keras berkepanjangan, namun jika belum benar-benar meninggal, maka hartanya tidak boleh diwariskan.

Status meninggal ini juga bisa dinyatakan oleh hakim. Sebagai misal, jika seseorang telah lama hilang dan tidak ada kabarnya, kemudian atas pengajuan pihak keluarga ke pengadilan, lalu hakim memutuskan bahwa orang tersebut meninggal dunia, maka setelah itu harta warisan boleh dibagikan.

2. Ahli waris masih hidup

Jika yang mewariskan harta sudah meninggal dunia, maka yang berhak menerima warisan syaratnya harus dalam keadaan hidup. Setelah itu, barulah harta warisan bisa diatur pembagiannya.

3. Terdapat hubungan antara ahli waris dan pewaris harta

Kewarisan dinyatakan sah jika terdapat hubungan antara si mayat dan ahli waris. Hubungan itu dapat berupa hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (wala').

4. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.

Rukun-Rukun Kewarisan

Selain syarat-syarat kewarisan, terdapat tiga rukun yang harus terpenuhi agar harta warisan dapat dibagi yaitu:

1. Terdapat orang yang mewariskan (Al-Muwarist)

Orang yang mewariskan adalah si mayat yang memiliki harta warisan.

2. Terdapat orang yang berhak mewarisinya (Al-Warist)

Orang yang berhak menerima warisan adalah orang yang memiliki hubungan dengan si mayat, baik itu hubungan kekerabatan, perkawinan, dan lain sebagainya.

3. Terdapat harta warisan (Al-Maurust)

Rukun ketiga dari kewarisan adalah adanya harta yang diwariskan setelah kematian si mayat.

Menurut KUH Perdata, Adapun yang patut menjadi ahli waris dan yang tidak patut menjadi ahli waris adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata, bahwa yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah, maupun diluar kawin dan suami istri yang hidup terlama.

2. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau, mencoba membunuh si yang meninggal

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiat.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau mamalsukan surat wasiat si yang meninggal.

Manfaat Kewarisan dalam Islam

1. Intinya, ketentuan mengenai waris-mewarisi harta ini bertujuan untuk menciptakan jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris.

2. Aturan kewarisan yang sudah diatur dengan tegas dan rinci dapat menumbuhkan ketentraman dan suasana kekeluargaan yang harmonis.

3. Ketentuan kewarisan juga mencegah konflik dan pertikaian keluarga. Jika aturan tersebut diterapkan dengan bijaksana, maka akan terhindar pertikaian antara angota keluarga satu dengan yang lainnya.

Jadi jelas, bahwa harta warisan itu sebenarnya tidak angker, harta akan berkah manakala kita menjalankan amanah warisan dengan sebenarnya sesuai ketentuan, baik secara agama maupun secara hukum negara, yang sering menimbulkan pertikaian dalam harta warisan karena beberapa faktor, diantaranya, adanya pembagian yang tidak adil, rasa tamak salahsatu ahli waris sehingga menimbulkan tidak puas, adanya kecemburuan dalam pembagian, adanya ketidak pastian dalam pembagiannya, sehingga menimbulkan saling klaim hak waris. 

Dalam melaksanakan Hukum Waris seharusnya diadakan secara musyawarah, dan atas bimbingan ahli hukum yang mengerti tentang waris, agar proses pembagiannya secara adil.  Lebih-lebih orang yang memiliki harta sudah mewasiatkan hartanya ketika masih hidup, sehingga ketika sudah tiada ahli waris yang ada sudah tahu akan haknya masing-masing. 

Persoalan harta ini memang sangat menggiurkan semua orang, apabila pembagiannya ada pihak yang merasa tidak adil akan menimbulkan pertikaian dan sengketa, setelah terjadi pertikaian yang akan terjadi bisa berimbas pada hal-hal pidana, yang paling kurang baik adalah putusnya silaturahmi antar keluarga karena sengketa waris. 

Perlu diketahui bersama, sengketa waris ini pasli yang akan berselisih antar saudara, tidak mungkin selisih perkara waris dengan orang lain, kecuali harta warisannya sudah dijual kepada orang lain oleh salahsatu keluarga tanpa sepengetahuan, tentu pihak pembeli nanti akan terlibat, namun yang paling inti dalam penyelesaian sengketa waris akan dipertemukan antara kedua belah pihak yang sama-sama memilik hak pada harta warisnya.

Waris maslahah tanpa masalah, adalah harapan bersama, memiliki harta warisan demi kebaikan bersama yang membawa barokah pada keluarga tanpa adanya perselisihan. Tentu hal itu akan terwujud jika syarat dan rukun telah sesuai, musyawarah mufakat, adanya rasa saling menerima hak sesuai ketentuan, dan yang paling penting pendidikan akhlaq dari orangtua semasa masih hidup, kepada semua ahli warisnya, agar lebih mementingka persaudaraan daripada hanya persoalan harta.

 *Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.





Oleh : Ayopri Al Jufri*

Sebagian orang awam bidang hukum kadang bingung mau menyesaikan masalah hukumnya mau kemana, karena persoalan hukum yang menimpa seseorang sangat menyita fikiran dan tenaga untuk menang atau bebas, ada yang berfikir ke Advokad / Pengacara, ada yang ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau ke Firma Hukum. 

Oleh karena itu dalam tulisan ini saya perlu paparkan jenis lembaga bantuan hukum jika anda mengalami masalah hukum, berikut juga saya paparkan jenis masalah yang dapat diselesaikan baik dengan jalan pengadilan (Litigasi) atau diluar pengadilan (Non litigasi).

Jenis-jenis bantuan Hukum : 

1. Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

LBH merupakan salah satu pemberi bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. LBH dapat melakukan rekrutmen advokat, namun tidak semua advokat merupakan anggota LBH. LBH yang diwajibkan memberikan jasa hukum secara cuma-cuma dan ada sanksi pidana bagi LBH yang menerima dan/atau meminta bayaran.

2. Advokat 

Advokad merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jika LBH merupakan sebuah organisasi, advokat merupakan seorang individu. Advokat dapat menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikannya. 

3. Firma Hukum

Firma atau sering juga disebut Fa, adalah sebuah bentuk persekutuan untuk menjalankan usaha antara dua orang atau lebih dengan memakai nama bersama.

Firma (dari bahasa Belanda venootschap onder firma; secara harfiah: perserikatan dagang antara beberapa perusahaan) atau sering juga disebut Fa, adalah sebuah bentuk badan usaha untuk menjalankan usaha antara dua orang atau lebih (disebut Firmant) dengan memakai nama bersama atau satu nama yang digunakan bersama untuk memperluas usahanya. 

Menurut Manulang (1975) persekutuan dengan firma adalah persekutuan untuk menjalankan perusahaan dengan memakai nama bersama. Jadi ada beberapa orang yang bersekutu untuk menjalankan suatu perusahaan.

Firma hukum adalah praktik yang dijalankan oleh lebih dari satu orang, yang spesifik secara spesifik dalam bidang hukum.

Secara umum, hal itu hampir sama dengan pendirian firma usaha umumnya, menggunakan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 16. Hal itu juga harus memenuhi persyaratan sesuai Undang-undang Advokat Nomor 18 tahun 2013, dimana diarahkan pada urusan terkait eksistensi pelaksanaan profesi advokat.

Firma Hukum ada dua jenis, diantaranya : 

1. Firma Hukum Tunggal atau Solo

Bentuk firma hukum satu ini dikelola secara mandiri oleh pendirinya yang seorang saja. Sehingga otomatis semua kebutuhan akan ditanggung secara pribadi oleh orang-orang tersebut. Tinggal nanti dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh beberapa orang pegawai ketika diperlukan.

2. Firma Hukum Kemitraan 

Sedangkan untuk jenis ini, jelas untuk firma hukum yang didirikan oleh beberapa orang yang memang berkompeten di bidangnya. Jadi otomatis seluruh beban mulai dari pendirian hingga pengelolaan usaha akan ditanggung oleh beberapa orang yang terlibat. 

Sampai disini perlu saya beri garis  besar memahami 3 Jenis Bantuan Hukum ;

1. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu, karena salahsatu syarat meminta bantuan hukum ke LBH adalah surat keterangan tidak mampu dari desa atau kelurahan, selain itu badan hukum LBH berbentuk Yayasan, dimana fungsi dari Yayasan adalah Sosial, Pendidikan dan Keagamaan. 

2. Advokad dan Firma Hukum

Sebagaimana penjelasan diatas, Advokad adalah personal yang memiliki ijin profesi resmi beracara yang dikeluarkan oleh organisasi Advokad, dan perannya dibolehkan memperoleh honorarium dari klien, sedangkan Firma Hukum adalah persekutuan usaha oleh seorang Advokad atau Kemitraan, persekutuan ini juga dibolehkan memperoleh Honorarium atas jasa pendampingannya. 

Tidak semua permasalahan diartikan sebuah kasus hukum, kasus hukum adalah permasalahan yang digugat sudah tercatat di lembaga hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan permasalahan berasal dari kata Masalah (bahasa Inggris: problem) didefinisikan sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Bisa jadi kata yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari "ada" saat seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan. 

Permasalahan dapat diselesaikan dengan dua Cara, Pertama, jika dapat diselesaikan cara musyawarah, Negosiasi dan Mediasi, maka permasalahan tersebut selesai secara Non Litigasi, hal ini bisa menggunakan jasa Paralegal (Asisten Advokad / Pengacara), Kedua, jika masalah berlanjut ke Lembaga Hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan, itulah yang disebut Kasus Hukum atau Masalah Hukum dan harus diselesaikan secara hukum, jika demikian maka Peran Advokad, Firma Hukum dan Lembaga Bantuan Hukum untuk memberikan pendampingan. 

Dari paparan diatas semoga memeberikan wawasan hukum dan sedikit tahu tentang prosedur melakukan penyelesaian permasalahan Hukum, diharapkan adanya tulisan ini memberikan penyadaran hukum kepada masyarakat luas, sehingga wawasan hukum dapat diketahui oleh semua kalangan, dengan tujuan memberikan penyadaran secara holistik bidang Hukum. 

*Penulis Alumni STAIN Jember (UIN KHAS Jember), Aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API), dan Tim Hukum Media Berita Nasional Zona Post Indonesia.



AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget