PEMBUKTIAN HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adhikara Pancasila Indonesia (LBH API)

Memulai penerapan hukum harus berdasar alat bukti yang cukup oleh semua penegak hukum Baik Polisi, Jaksa maupun KPK, sedangkan Penjatuhan hukum dalam sidang harus berdasar bukti yang dapat meyakinkan hakim, lalu apa sajakah yang dapat dijadikan alat bukti dalam penegakan hukum dan penjatuhan hukuman, berikut ulasannya, namun Sebelum pada paparan Bukti, perlu diketahui bahwa ada dua jenis hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Perdata atau dikenal Hukum Privat, dan Hukum Pidana atau dikenal Hukum Publik.

1. Pembuktian Hukum Perdata

Bahwasannya dalam proses penyelesaian sengketa keperdataan para pihak yang bersengketa harus dapat membuktikan objek yang dipersengketakan adalah merupakan haknya dan bukan merupakan hak pihak lain.

Adapun alat bukti dalam proses perkara perdata adalah meliputi Pemeriksaan Setempat (Pasal 153 HIR), Keterangan Ahli (Pasal 154 HIR) dan alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 164 HIR yang meliputi Bukti Tertulis, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah.

Kekuatan masing-masing alat bukti tersebut berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya misalnya Akta Otentik, Pengakuan dan Sumpah bersumpah pembuktian sempurna sedangkan alat bukti saksi kekuatan pembuktiannya dan persangkaan kekuatan pembuktiannya menjadi kewenangan hakim.

Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya.

Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Alat bukti surat dikategorikan sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi dua macam : akta dan surat-surat lain yang bukan akta. Akta dibedakan menjadi : akta otentik dan akta dibawah tangan. Fungsi akta secara formil (formalitas causa) merupakan pengakuan yuridis atas perbuatan hukum serta sebagai alat bukti (probationis causa) adalah untuk pembuktian di kemudian hari dan sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian akta meliputi : kekuatan pembuktian lahir yakni kekuatan pembuktian yang didasarkan pada bentuk fisik/lahiriah sebuah maka memiliki kekuatan sebagai akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya, bagi yang menyangkal harus dapat membuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formil menyangkut benar tidaknya pernyataan oleh orang yang bertanda tangan di dalam akta tersebut, kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat dan para pihak benar menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam sebuah akta. Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang peristiwa mengenai pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta sehingga memberikan kepastian tentang materi suatu akta.

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Akta tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan dan dilihat dihadapannya (vide pasal 165 HIR/285 RBG). Akta otentik dibagi menjadi dua macam yakni : akta yang dibuat oleh pejabat (ambtlijke acta) dan akta yang dibuat oleh para pihak (partij acta). Akta yang pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk hal tersebut. Akta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil, kecuali : akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya dan salinan dari daftar aslinya, selain itu hanya memiliki kekuatan pembuktian formil. HIR dan RBG hanya mengatur partij acta dan tidak mengatur ambtlijke acta. Partij acta merupakan akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan juga atas yang dilihat serta dilakukannya. Akta ini dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak yang berkepentingan. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu bukti tambahan lagi. Satu akta otentik yang diajukan pihak sebagai alat bukti sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya terbukti atau sangkalannya terbukti dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah alat-alat bukti lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahannya (vide asas volledig brindinde). Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide pasal 165 HIR/pasal 285 RBG), artinya memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali : pihak lawan dapat membuktikan akta otentik tersebut tidak benar, jika pihak lawan tidak dapat membuktikan ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti permulaan maka : akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti bebas, yang kekuatan pembuktiannya terserah kepada penilaian hakim. Pihak lawan dapat menyangkal otentisitas akta tersebut berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG melalui alat bukti surat,saksi,persangkaan,pengakuan atau sumpah. Apabila akta otentik disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pihak yang menyangkal. Sedangkan pada akta dibawah tangan jika disangkal kebenarannya maka pembuktiannya dibebankan kepada pemegang akta. Salinan (foto copy) surat saja tanpa menunjukkan aslinya tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide pasal 1888 KUHPerdata).

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, sehingga akta tersebut semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan (vide pasal 286-305 RBG). Batas minimal alat bukti akta dibawah tangan antara lain : isi dan tanda tangan dibawahnya diakui pihak lawan, isinya berlaku untuk pihak-pihak, nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yakni sempurna dan mengikat. Beban pembuktian akta dibawah tangan adalah : jika dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pemegang akta dibebani untuk membuktikan  kebenaran akta tersebut, apabila akta otentik dibantah kebenaranya, maka beban pembuktian diberikan kepada pihak yang membantah untuk membuktikan ketidakbenaran isi akta tersebut. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang dibantah nilai menjadi alat bukti permulaan dan kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan tidak mengikat. Kekuatan pembuktian lahir dari akta dibawah tangan jika tanda tangan dalam akta dibawah tangan diakui pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan berlaku bagi pihak yang mengakui. Isi pernyataan yang terdapat didalamnya tidak dapat lagi disangkal. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian bebas terhadap pihak ketiga tergantung kepada penilaian hakim. Oleh karena tanda tangan pada akta dibawah tangan kemungkinannya masih dapat dilawan, maka akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Kekuatan pembuktian formil akta dibawah tangan sama dengan kekuatan pembuktian formil akta otentik, yakni telah pasti bagi siapapun yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas tanda tangannya. Kekuatan pembuktian materiil akta dibawah tangan sempurna seperti akta otentik apabila diakui oleh lawan, isi keterangan didalamnya berlaku sebagai benar apabila : terhadap siapa yang membuatnya dan bagi kepentingan orang kepada siapa penanda tangan hendak memberi bukti. Terhadap selain ketentuan tersebut kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Apabila surat dibawah tangan dibubuhi cap sidik jari kekuatan pembuktiannya disamakan dengan akta dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan (vide pasal 286 ayat (2) RBG).

Surat-surat lain yang bukan akta antara lain : register/buku daftar, surat-surat rumah tangga, catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak/titel yang selama dipegangnya. Kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vide pasal 294 RBG). Salinan grosse adalah salinan asli dan apabila dibubuhi irah-irah makan memiliki kekuatan eksekutorial dan kekuatan pembuktiannya sama dengan aslinya. Salinan ekspedisi merupakan salinan otentik yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Salinan yang dibuat oleh notaris (copie collatione) dapat diterima sebagai bukti sempurna, apabila akta aslinya telah hilang (vide pasal 1889 ayat (2e) KUHPerdata). Salinan surat tanpa ada aslinya jika tidak dibantah oleh pihak lawan maka nilainya sebagai akta bukan akta otentik. Nazegeling/pemeteraian kemudian seperti surat korespondensi biasa yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dimuka persidangan harus diubuhi meterai. Kekuatan pembuktiannya sama dengan alat bukti tertulis yang dibubuhi meterai. Alat bukti surat yang diajukan dihadapan persidangan wajib dimeteraikan. Surat pernyataan merupakan bukti yang tidak memiliki kekuatan pembuktian (vide Putusan MARI No.3428 K/Pdt/1985 tanggal 26 Februari 1990).

2. Pembuktian Hukum Pidana

Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. 

B. Barang Bukti 

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: 

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; 

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; 

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan, 

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14). 

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya: 

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti) 

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti) 

c.  Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti) 

d.  Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti) Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti : 

a. Merupakan objek materiil 

b. Berbicara untuk diri sendiri 

c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya 

d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa 

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan. 

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah : 

a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana 

b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana 

c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana 

d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana 

e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara 

f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19). 

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita. 

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai 

berikut: 

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP); 

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani; 

3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU. 

Tulisan ini disadur dari banyak sumber, jika ada kekeliruan, kritik dan saran silahkan ketik di kolom komentar.

Referensi

Harahap, Yahya M. Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag). Penerbit Pustaka, Bandung, 1990.

Harahap, Krisna. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, PT Grafitri Budi Utami, Bandung, 1996.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Muhamad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Prodjodikoro, Wirjono R. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1982.

Samudra, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara

Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Subekti, R. Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

_______. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1998.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. 2000.

Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Sumber Perundang-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan Menjadi Undangundang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages