Artikel Hukum


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Hukum pidana mengenal jenis-jenis delik atau tindak pidana yang dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, sebagaimna tersebut di bawah ini:

a). Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)

Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-pasal KUHP Indonesia yang berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran, juga tidak ada penjelasan mengenai syarat-syarat yang membedakan antara delik kejahatan dengan delik pelanggaran.Secara doktrinal apa yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang  seharusnya dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran adalah perbutan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang. Delik pelanggaran ini sering disebut sebagaib mala quia prohibiaatau delik undang-undang, artinya perbuatan itu batru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undng-undang.

b). Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)

Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.

c). Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)

Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan sementara delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.

d). Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)

 Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan maka delik itu tidak dapat dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.

e). Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)

Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik umum ini sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.

f). Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa

Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Apabila perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan delik commisionis. Suatu perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang  disbut delik ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis. Sementara delik commisionis per ommisionem commissa adalah delik yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.

g). Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja, artinya perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

h). Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran

Menurut Konfrensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan delik politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delik-delik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain bahwa delik ini seolah-olah Nampak sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.

i). Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi

Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi ancaman pidanya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Salahsatu Istilah hukum yang sudah tidak asing ditelinga masyarakat yaitu "Pembuktian Terbalik", maksud pemahaman itu memang benar, namun dalam istilah hukum bukan begitu, sama halnya dengan ucapan "perjuangan hukum" padahal yang benar adalah "upaya hukum". Lalu apa sebenarnya dalam istilah hukum dengn maksud Pembuktian Terbalik? Berikut penjelasannya : 

Tentang Istilah Pembuktian Terbalik Perlu kita ketahui bahwa istilah yang benar bukanlah “pembuktian terbalik”, akan tetapi “pembalikan beban pembuktian”. Hal ini sebagaimana dijelaskan Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (hal. 129). Menurut Akil mengutip pendapat Andi Hamzah, istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Di dalam buku tersebut lebih lanjut ditulis bahwa 

“Istilah ini (pembuktian terbalik, ed.) sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian’.”

Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.

Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Mengenai beban pembuktian, Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis:

“Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.

“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”

Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.

Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Mengenai sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:

“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.”

Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”

Selain di dalam UU Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Referensi:

1.    Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

2.    Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*


Bagian pelaksaan melaksanakan putusan pengadilan yang banyak menimbulkan keramaian karena ketidak puasan oleh pihak yang kalah, bahkan pelaksanaannya harus melibatkan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan unsur lainnya untuk pengamanan untuk antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, hal tersebut adalah Penyitaan dan Eksekusi, tugas berat bagi penegak hukum seperti Advokat dan Pihak Pengadilan dalam pelaksaan tersebut, karena harus berhadapan langsung dengan masyarakat dilapangan, kadang pihak yang kalah tidak jarang ditemukan menyewa preman untuk menolak pelaksanaan Sita dan Eksekusi. Lalu apakah yang dimaksud Sita dan Eksekusi dan bagaimana prosedur pelaksanaannya?, berikut penjelasannya: 

Pengertian Sita dan Eksekusi

Sita adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat (harta sengketa) secara paksa berada dalam penjagaan yang dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau Hakim. Sedangkan Eksekusi merupakan tindakan pengadilan  yang telah BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) secara paksa dan resmi berdasarkan perintah pengadilan, oleh karena itu tidak menawarkan putusan pengadilan secara online.

Tujuan dari Sita adalah yang pertama agar penggugat tidak Illusioir. Maksudnya agar barang tergugat (barang sengketa) tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, hibah dan sebagainya agar tidak dibebani dengan sewa atau diagunkan kepada pihak ke 3. Yang kedua yakni agar obyek eksekusi kepastian adanya setelah perkara yang disengketakan diputus oleh pengadilan .

SITA

Tahapan Pelaksanan SITA

Sebelum Persiapan Pelaksanaan SITA dan memahami Penetapan Ketua Majelis tentang obyek yang akan disita;

1. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan sita;

2. melakukan penghitungan tentang biaya proses dan biaya pelaksanaan sita, termasuk biaya pemberitahuan kepada para pihak, upah-upah, biaya sewa kendaraan, serta biaya PNBP;

berita acara pelaksanaan sita sesuai dengan jumlah obyek yang akan disita;

3. peralatan yang dapat membantu pelaksanaan pelaksanaan sita;

4. Mengadakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait jika diperkirakan obyek sita dampak bagi masyarakat;

Pelaksanaan SITA

1. Jurusita berangkat ke tempat obyek sita, pejabat kedua, pejabat kelurahan/desa, pihak keamanan dan penggugat;

2. Jurusita membacakan penetepan perintah sita di tempat obyek sita/Tergugat;

3. Penggugat wajib disebutkan secara jelas dan satu persatu terhadap barang yang akan disita;

4. Jurusita meneliti dengan seksama terhadap barang-barang yang menjadi obyek sita dan dicocokkan satu persatu jenis dan bentuk barang yang tertulis dalam penetapan sita dan keadaan barang senyatanya (SEMA no. 89/K/1018/M/1962 tanggal 25 April 1962);

5. Jurusita membacakan berita acara peletakan sita atas barang-barang yang akan menjadi obyek sita lalu menetapkan keterjaminannya kepada tersita/tergugat (ditandatangani bersama 2 orang saksi);

6. Jurusita menitipkan pengawasan terhadap barang-barang tersita tersebut kepada pejabat kelurahan/desa yang hadir agar tidak dialihkan kepada orang lain;

7. Jika obyeknya berupa barang bergerak, maka penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang patut, tetapi tetap dijaga dan dikuasai.

Setelah Pelaksanaan SITA

1. Jurusita membuat berita penyitaan acara lalu melaporkan pelaksanaannya kepada Panitera dan Ketua Majelis dengan menyaksikan berita acara sita sekaligus petugas pencatat register sita;

2. Jurusita mendaftarkan berita acara sita kepada kepolisian setempat (barang sita berupa motor), atau Badan Pertanahan Nasional setempat (barang sita berupa tanah bersertifikat), atau Kelurahan/Desa setempat (obyek sita tanah yang belum bersertifikat). pendaftaran berita acara tersebut menyebutkan hari, tanggal, jam dan tahun;

Jurusita Memerintahkan pejabat penerima pendaftaran untuk mengumumkan pengumuman sita agar diketahui umum dan pihak ke 3 (ps. 227 (3) JO.198; 199 HIR/ps.261 jo.213; 214 RBg).

EKSEKUSI

Jenis eksekusi yang lazim terjadi di pengadilan adalah eksekusi riil (ps.200 (11) HIR/218 (2) RBg - Biasanya terjadi pada sengketa harta bersama, sengketa perang agama dan sengketa hibah) dan eksekusi pembayaran uang (ps. 197 HIR/208 RBg - Biasanya terjadi dalam sengketa perkawinan dan sengketa ekonomi syariah).

Tahapan Pelaksanaan sebelum Eksekusi

1. Selum Pelaksanaan Persiapan Eksekusi

dan memahami Penetapan Ketua PA tentang perintah eksekusi terhadap barang-barang tergugat;

dan menikmati pelaksanaan putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi;

 2. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan eksekusi;

melaksanakan perhitungan tentang biaya proses dan pelaksanaan eksekusi.

3. Pelaksanaan Eksekusi

Pada prinsipnya kedua jenis eksekusi yang disebutkan di atas baru dapat dilaksanakan setelah dilampauinya waktu peringatan (Aanmaning) kepada Tergugat yang dieksekusi / Termohon eksekusi. Dan Ketua Pengadilan agama telah mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi kepada Panitera dan Jurusita.

Pelaksanaan Eksekusi Riil (Ps.1033 Rv)

1. Jurusita berangkat bersama dan 2 orang saksi menuju tempat eksekusi, menunggu kehadiran pejabat terkait, satuan keamanan, Pemohon dan Termohon eksekusi;

2. Jurusita membacakan Surat Penetapan Perintah Eksekusi;

Jurusita membuat Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi dengan menyebut secara rinci dan jelas terhadap barang-barang yang dieksekusi, meliputi jenis, bentuk, letak, batas-batas dan ukuran;

3. Jurusita Berita Acara pelaksanaan eksekusi tersebut dan 2 orang saksi pelaksanaan;

Jurusita menyerahkan barang-barang tereksekusi kepada Pemohon eksekusi;

4. Jurusita membuat Salinan Berita Acara Eksekusi sebanyak rangkap, disampaikan kepada Ketua PA sebagai laporan, kepada Pemohon dan Termohon Eksekusi, kepada petugas register eksekusi dan arsip.

Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Uang

 1. Ketua PA membuat Penetapan Perintah Peringatah (Aanmaning) kepada tergugat yang melaksanakan/termohon eksekusi, agar putusan;

 2. Jurusita meminta permintaan eksekusi dan termohon eksekusi untuk menghadiri sidang (Insidentil) Aanmaning;

 3. Jika tenggang waktu Aanmaning sangat tinggi (8 hari) sedang termohon eksekusi tidak mau melaksanakan keputusan dengan sukarela, maka Ketua PA mengeluarkan Penetapan perintah kepada Panitera / Jurusita untuk melaksanakan Sita Eksekusi (Executorial Beslag);

4. Proses pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan sebagaimana proses pelaksanaan Sita Jaminan;

5. Dalam melaksanakan harus didhulukan barang-barang bergerak. Sekiranya tidak mencukupi keputusan, maka sita eksekusi dilakukan terhadap barang tidak bergerak;

Pelaksanaan Sita eksekusi yang telah berkekuatan hukum mengikat daya Eksekutorial.

Lelang Eksekusi

Pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat. Dalam praktek Pengadilan agama lelang sering dilakukan dalam melaksanakan penghargaan tentang pembagian harta bersama atau harta warisan, bila pembagian harta/barang tidak dapat dilakukan secara "in natura".

Sesuai ps.200 (1) HIR/ps.215 (1) RBg penjualan lelang barang tersita hanya dapat dilakukan oleh Kantor Lelang Negara, menurut ps.1 angka 4 Kep. Menkeu No.:45/KMK 01/2002 kantor lelang adalah Kantor Pelayan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Dalam pelaksanaan lelang eksekusi Ketua PA sebagai penjual mengajukan permintaan kepada KP2LN. Persyaratan yang harus dipenuhi sebagai persiapan lelang eksekusi :

1. Salinan/copy putusan PA

2. Salinan/copy penetapan Aanmaning

3. Salinan/fotokopi penetapan sita

4. foto/copy berita acara pelaksanaan sita

perpustakaan/salinan utang yang harus dipenuhi oleh termohon eksekusi

dan salinan pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi.

5. salinan bukti kepemilikan tidak dikuasai, harus ada pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai dengan bukti kepemilikan dengan alasan.

Setelah kita membaca secara seksama tentang prosedur yang harus dilalui dari proses penyitaan dan eksekusi tentu memerlykan waktu yang cukup panjang, karena mengingat penerapan hukum itu tetap memperhatikan hak masing-masing demi keadilan.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila  (LBH API)*

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat.

Syarat asimilasi bagi narapidana tindak pidana umum :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana.

Syarat bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkoba, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana dengan paling singkat 9 (sembilan) bulan.

3. Telah mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bagi terpidana terorisme. Dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

4. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi terpidana tindak pidana korupsi.

Syarat asimilasi dibuktikan dengan dokumen berupa :

1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

2. bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

3. laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas

4. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas

salinan register F dari Kepala Lapas

5. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas

6. surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

7. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, atau wali, atau lembaga sosial, atau instansi pemerintah, atau instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan:

 1. Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 2. membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Asimilasi

 3. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

 4. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

 5. Bagi Narapidana warga negara asing selain memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud diatas, juga harus melengkapi dokumen :

 1. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Narapidana selama berada di wilayah Indonesia.

 2. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal.

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

 4. Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup

 5. Syarat asimilasi bagi anak:

berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir

 6. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan.

Syarat diatas dibuktikan dengan :

 1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala LPKA

 2. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.

 3. salinan register F dari Kepala LPKA

 3. salinan daftar perubahan dari Kepala LPKA

 4. surat pernyataan dari Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 5. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, Lembaga Sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan membantu dalam membimbing dan mengawasi Anak selama mengikuti program Asimilasi.

 6. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan Keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Anak selama berada di wilayah Indonesia.

 7. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

1. PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).

Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.

Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.

Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:

  1. Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
  2. Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
  3. Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.

Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.

ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI

Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
  4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
  5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.

PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI

  1. Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
  2. Membayar biaya perkara.
  3. Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
  4. Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
  5. Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
  6. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
  7. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
  8. Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
  9. Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
  10. permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
  11. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)

2. DERDENT VERSET

Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata.Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan.Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut.Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut. Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi)

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum adikara pancasila indonesia (lbh api)*

Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka setidaknya penyidik telah memiliki 2  (dua) alat bukti yang syah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP ada 5 jenis alat bukti yang syah yaitu (1) keterangan saksi (2) keterangan ahli (3) surat/dokumen (4) petunjuk (5) keterangan terdakwa. Jika tindak pidana yang dipersangkakan terkait dengan tindak pidana ITE, maka ada satu jenis lagi alat bukti yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No. 19 Tahun 2016, yang menyatakan : “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Alasan Terbitnya SP3

Diterbitkannya penetapan tersangka oleh penyidik telah melalui proses penyidikan, meskipun dalam kasus tertentu yaitu tertangkap tangan maka penetapan tersangka tidak dilakukan melalui proses penyidikan. Jika mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Jadi penetapan tersangka pasti dilakukan setelah penyidik menemukan alat bukti.

Setelah seseoran ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya :

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut  ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya” 

Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga  yaitu  :

  1. Tidak cukup bukti
  2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana
  3. Demi hukum

Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat bukti yang syah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang sebagai  tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang syah.  Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar, maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat bukti yang syah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka dinyatakan tidak syah/tida tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3.

Dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan dalam penetapan tersangka, tentu  saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.  Atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik. Namun demikian SP3 dalam konteks tidak cukup bukti dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan tersangka pada diri seseorang. Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan. Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam menetapkan tersangka.

Terkait dengan tidak cukupnya alat bukti, maka dapat merujuk pada putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 Juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menyatakan alat bukti yang cukup adalah sekurang-kurangnya penyidik telah memiliki dua alat bukti yang syah menurut Pasal 184 KUHAP. Definisi saksi mengacu pada Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.

Terkait dengan alat bukti saksi, maka dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus mengacu pada asas unus testis nullus testis yaitu 1 saksi bukanlah saksi. Ketika menetapkan seseorang sebagai sebagai tersangka,   maka penyidik harus memiliki dua orang saksi. Hal ini juga diperkuat sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Namun demikian ada pengecualian untuk tindak pidana Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Dalam Pasal 55 UU PKDRT  disebutkan bahwa keterangan 1 saksi korban sudah cukup ditambah dengan alat bukti lainnya yang syah menurut KUHAP. Hal yang sama juga diatur dalam UU No. 21/2007 tentang PTPPO.

Alasan bahwa peristiwa yang dipersangkakan bukan peristiwa pidana juga menunjukkan ketidak hati-hatian atau ketidakprofesionalan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Karena ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka ada rangkaian tindakan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal  1 angka (5) KUHAP yaitu perbuatan penyelidik untuk menentukan ada atau tidaknya perisitwa yang diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana. Dengan demikian, penyelidikan ini dimaksudkan sebagai  filter, memastikan perisitiwa hukum tersebut adalah adalah tindak pidana, dan bukan perbuatan dalam kontek hukum perdata atau hukum administrasi negara atau peristiwa adat. Dengan demikian alasan menjadi kurang relevan ketika menyatakan terbitnya SP3 karena perbuatan yang dilakukan tersangka tidak masuk dalam kategori hukum pidana atau tindak pidana.

Alasan ketiga terbitinya SP3 adalah karena alasan demi hukum. Alasan demi hukum lebih rasional dibandingkan dengan dua  alasan di atas.Hal ini disebabkan  sudah masuk pada alasan yang lebih substansi juridis formil. Dalam banyak doktrin dan putusan pengadilan,  alasan demi hukm terbitnya SP3  didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem (2) tersangka meninggal dunia (3) daluarsa.

Secara singkat dapat saya jelaskan bahwa nebis in idem ini diatur dalam Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Frase “menuntut” memang otoritas jaksa, namun tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka karena jaksa sudah dipastikan tidak akan mau menunt orang tersebut jika ternyata untuk perkara yang sama pernah dituntut sebelumnya.  Karena itu, ketika penyidik menyadari bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah orang yang sama dengan perkara yang sama yang pernah dijatuhi hukuman, maka diterbitkanlah SP3.

Tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Dalam hal ini cukup jelas jika dijadikan pertimbangan terbitnya SP3. Karena tidak mungkin menuntut seorang mayat ke pengadilan, meskipun perbuatan sangat kejam sekalipun. Alasan ketiga adalah daluarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Tentang daluarsa ini ada empat kategori yaitu : (1) sudah lewat satu tahun untuk tindak pidana percetakan; (2) sudah lewat 6 tahun, untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, kurungan atau penjara tidak lebih dari 3 tahun;  (4)sesudah 12 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 3 tahun;  (4) sesudah lewat 18 tahun, untuk tindak pidana dnegan ancaman pidana mati atau seumur hidup

Praperadilan SP3

Oleh karena SP3 merupakan salah satu objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77, juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Atas terbitnya SP3, pelapor atau kuasanya dapat melakukan permohonan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Dalam mengajukan permohonan gugatan praperadilan, ada permintaan yang  ditujukan kepada hakim untuk membatalkan SP3 dan mememerintahkan untuk meneruskan penyidikan.

Dalam banyak kasus yang saya amati, terbitnya SP3 juga disebabkan karena petunjuk Jaksa Peneliti yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri  untuk proses pra penuntutan tidak bisa dipenuhi oleh penyidik. Petunjuk dari Jaksa Peneliti itu bisa diberikan beberapa kali, sehingga penyidik pun akhirnya menyelenggarakan Gelar Perkara untuk memutuskan menerbitkan SP3. Namun terbitnya SP3 tetap harus mengacu pada alasan yang diatur dalam Pasal 109 (2) KUHAP.

Permohonan praperadlan oleh Pelapor atau kuasa hukumnya harusnya melihat dan menganalisa alasan terbitnya SP3 yang dibuat oleh penyidik. Alasan  terbitnya SP3 tersebut harus menjadi fokus pemohon praperadilan. Jika alasannya karena tidak cukup bukti maka tentu pemohon mengajukan klarifikasi atau mempertanyakan kepada penyidik, status alat bukti yang sebelumnya digunakan dalam menetapan tersangka. Dengan demikian jelas, kenapa dan mengapa alat bukti tersebut dipergunakan dalam menetapkan tersangka. Artinya prinsip kehati-hatian dalam menilai alat bukti patut dipertanyakan. Selain itu, dalam menetapkan tersangka juga dilakukan gelar perkara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka Gelar Perkara tersebut juga patut dipertanyakan. Karena salah satu fungsi gelar perkara adalah untuk menetapkan status seseorang sebagai tersangka.

Jika yang menjadi alasan penyidik diterbitkannya SP3, adalah karena perbuatan yang dilakukan tersangka bukanlah tindak pidana. Hal ini juga perlu dipertanyakan tentang proses penyelidikan dan penyidikan dan gelar perkara yang dilakukan penyidik. Karena untuk menyatakan sebuah perbuatan adalah tindak pidana, maka ada proses panjang termasuk meminta klarifikasi pelapor dan terlapor.

Jika yang menjadi alasan SP3 adalah demi hukum, maka juga harus dipertanyakan jenis alasan demi hukum yang dipergunakan oleh penyidik, apakah karena nebis in idem, daluarsa atau karena tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam pasal 76-78 KUHP.

Penutup

Penyidik dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka, maka perlu mempertimbangkan kualitas dan kuantitas alat bukti.  Meskipun diperlukan minimal  2 alat bukti,  tidak ada salahnya di back up dengan alat bukti lainnya agar tidak ada alasan untuk terbitnya SP3 karena tidak cukup bukti.  R-KUHAP yang akan datang, sebaiknya  memasukkan ketentuan harusnya ada izin pengadilan atau melalui penetapan pengadilan terbtinya SP3. Hal ini penting agar terbitnya SP3 tidak dilandasi oleh alasan subjektif penyidik semata

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Upaya Hukum Biasa (Banding, Kasasi Dan Verzet), Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.

Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. 

UPAYA HUKUM BIASA

Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.

1. BANDING

PENGERTIAN

Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.

Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.

DASAR HUKUM

Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING

Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.

Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.

Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).

PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING

1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.

2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.

3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.

4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.

5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.

6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).

7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2. KASASI

PENGERTIAN

Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.

Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.

Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.

ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI

Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI

Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.

PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI

1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.

2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)

3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)

4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)

5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).

6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)

7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)

3. VERZET

PENGERTIAN

Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.

PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR

1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :

2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;

3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).

Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedang yang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.

Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Pada prinsipnya setiap manusia memiliki hak yang harus dihormati, sebagaimana seperti tercantum dalam hak dasar manusia Secara lebih teperinci lagi dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan tentang hak-hak dasar manusia yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. 

Begitu halnya orang yang mengalami kasus hukum, baik status tersangka, terdakwa dan terpidana, walaupun segi kemerdekaannya terkekang karena terjerat kasus hukum, namun hak hukum dan hak kemanusiaannya tetap terjamin oleh undang-undang. Tentu hak hak orang terjerat hukum berbeda dengn orang merdeka, karena kehidupannya telah dibatasi.

Lalu apakah hak hak orang yang terjerat hukum, baik status tersangka, terdakwa dan terpidana menurut undang undang yang berlaku? Berikut uraiannya.

Pengertian Tersangka, Terdakwa dan Terpidana

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yakni minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hak-Hak Tersangka/Terdakwa  

Secara umum, hak-hak tersangka dan/atau terdakwa di antaranya sebagai berikut:

Mendapat penjelasan mengenai hal yang disangkakan kepadanya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya. Hal ini agar tersangka dapat mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan, misalnya perlu/tidaknya mengusahakan bantuan hukum untuk pembelaan tersebut. Memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

Mendapat juru bahasa.

Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum dan memilih sendiri penasihat hukumnya.

Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi, yaitu ganti kerugian apabila ditangkap, atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dan rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tidak dibebani kewajiban pembuktian. 

Selain hak-hak yang umum tersebut, secara khusus berdasarkan proses-proses dalam hukum acara pidana, tersangka/terdakwa berhak atas:

Dalam proses penangkapan

Tidak ditangkap secara sewenang-wenang. Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan. Secara hukum, yang berwenang melakukan penangkapan hanyalah petugas kepolisian, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat ia diperiksa.

Meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah.

Orang yang ditangkap berhak meneliti isi surat perintahnya, seperti kebenaran identitas yang tercantum, alasan pengkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat diperiksa.

Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan.

Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.

Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari.

Dalam proses penahanan

Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka/terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan/didakwakan, serta tempat ia ditahan.

Diberitahukan tentang penahanan atas dirinya kepada keluarga atau orang yang serumah dengan tersangka/terdakwa, atau orang lain yang dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya. Dalam hal ini, keluarga orang yang ditahan berhak menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim.

Menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga atau pihak lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum. 

Menghubungi penasihat hukum.

Menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga dalam hal yang tidak berhubungan dengan perkara, untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan, baik secara lagsung maupun melalui perantara penasihat hukumnya.

Menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.

Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Mengirim dan menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga.

Meminta penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang/atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan, seperti wajib lapor, tidak keluar rumah/kota.

Meminta ganti kerugian atas tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan yang tidak sah.

Dalam proses penggeledahan

Penggeledahan dilakukan sesuai hukum, di antaranya:

Dilakukan berdasarkan izin surat izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.

Dalam memasuki rumah penyidik harus disaksikan 2 orang saksi, jika tersangka/terdakwa menyetujuinya. Jika tersangka/penguni menolak/tidak hadir, harus disaksikan kepala desa/ketua lingkungan dengan 2 saksi.

Pemilik/penghuni rumah memperoleh turunan berita acara penggeledahan dalam waktu 2 hari setelah penyidik memasuki atau menggeledah rumah.

Pada tingkat pengadilan Segera diajukan dan diadili perkaranya oleh Pengadilan.

Untuk mempersiapkan pembelaan, terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya Untuk itu, pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa bekebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia.

Diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

Memberikan keterangan secara bebas kepada hakim.

Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum dan memilh sendiri penasihat hukumnya.

Mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Mengajukan kasasi.

Hak-Hak Terpidana

Pada saat menjalini hukuman, seorang terpidana memperoleh hak-hak yang serupa seperti tersangka/terdakwa yang sedang dalam penahanan, sebagaimana telah diterangkan di atas.

Selain itu, terpidana juga berhak untuk:

1. Mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2. Menuntut ganti kerugian karena diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Putusan:

 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013;

 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

 3. Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 109

Penyusun Tulisan : Ayopri Al Jufri

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216





Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

A. Pengertian Penangkapan dan Fungsinya

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Dari sini kita bisa ketahui bahwa tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik pada proses penyidikan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 158) mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP:

- seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;

- dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Penjelasan Pasal 17 KUHAP mengatakan bahwa pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Berkaitan dengan fungsi penangkapan itu sendiri, dari definisi penangkapan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

M. Yahya mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP (hal. 157). Selain itu, penting diingat bahwa alasan untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud selain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan (hal. 159).

Masih berkaitan dengan fungsi penangkapan, menurut M. Yahya (hal. 157) sebagaimana kami sarikan, wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih berpijak pada landasan hukum. Salah satu bentuk pengurangan kebebasan dan hak asasi itu adalah dengan dilakukannya penangkapan. Akan tetapi harus diingat bahwa semua tindakan penyidik mengenai penangkapan itu adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi demi untuk kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.

B. Pengertian Penahanan dan Fungsinya

Selanjutnya Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.Dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 21 KUHAP). Dalam praktiknya, seringkali status tahanan menjadi berkepanjangan karena proses pemeriksaan di pihak kepolisian masih berjalan. Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, penyidik (dalam hal ini kepolisian) karena kewajibannya memiliki wewenang melakukan penahanan. Selain itu, penahanan juga bisa dilakukan oleh penuntut hukum atau hakim sesuai tahapan proses peradilan pidana (Pasal 20 KUHAP)

Tujuan penahanan dapat kita temui pengaturannya dalam Pasal 20 KUHAP, yakni:

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan;

b. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan;

c. Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Fungsi dilakukannya penahanan dapat kita ketahui secara implisit dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Jadi, fungsi dilakukannya penahanan itu adalah mencegah agar tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Dasar hukum:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 

Referensi:

M. Yahya Harahap, S.H. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Sinar Gr

Penyusun tulisan : Ayopri Al Jufri

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


 


Oleh : Ayopri Al Jufri*

Kita saat ini berada di era digital, semua perangkat terhubung dalam satu aplikasi canggih, sehingga memudahkan semua gerak dan kebutuhan manusia, seperti dalam dunia pendidikan, kesehatan, pertanian, bahkan pelayanan masyarakat di pemerintahan juga bersifat satu pintu, terintegrasi dalam satu aplikasi. Oleh karena adanya kemudahan itu kadang tidak semata menimbulkan efek positif, kadang adanya kemudahan menimbulkan efek negatif dimana disalahgunakan oleh oknum untuk berbuat kejahatan, seperti Hacker, Aplikasi Sciming dan lainnya. 

Hadirnya dunia digital sejatinya hanya untuk memudahkan segala urusan manusia, namun seiring waktu itu jadi modus kejatan yang sangat rumit untuk dipecahkan, karena membutuhkan keahlian khusus dalam mendeteksinya. 

Walaupun era atau zaman mengalami perkembangan yang sangat pesat secara teknologi, namun teknologi tidak bisa lepas dari kendali manusia, dimana selaku makhluk pembuat mesin tentu sangat mengerti bagaimana cara kerja mesin. 

Berangkat dari realita kondisi kecanggihan saat ini, banyak modus kejahatan  yang dibuat sangat rapi, sehingga tidak terlihat palsu, bahkan para penegak hukum kadang terkecoh, sehingga membutuhkan tenaga ahli untuk memecahkankannya, sebut saja contoh ahli telematikan, ahli teknologi seperti dalam banyak kasus yang ditemukan.

Kaitannya mafia tanah dengan kecanggihan teknologi digital sangat erat, adanya scaner, sehingga bisa memalsukan tanda tangan, bisa jadi sebuah alat kemudahan bagi pelaku kejahatan, pemalsuan surat tidak jarang ditemukan dengan menggunakan teknologi canggih. Dalam kepemilikan tanah tentu tidak bisa lepas dari surat-surat berharga. Maka dari itu agar terhindar dari perilaku mafia tanah yang dengan mudahnya mengubah status tanah sehingga diperjual belikan tanpa seijin pemiliknya, perlu kiranya tahu tentang cara antisipasinya, seperti  berikut : 

1. Pengertian Mafia Tanah 

Mafia tanah merupakan dua orang atau lebih yang saling bekerja sama untuk merebut tanah orang lain. Modus yang biasa dilakukan oleh mafia tanah seperti pemalsuan dokumen (untuk hak), mencari legalitas di pengadilan, penduduk legal/tanpa hak (wilde occupatie), rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, kejahatan korporasi seperti penggelapan dan penipuan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, serta hilangnya warkah tanah.

Aksi para mafia tanah tidak jauh dari persoalan sengketa dan konflik. Karakteristik yang dilakukan mafia tanah biasanya sistematis dan terencana. Selain itu, tindakan mereka melanggar hukum serta dilakukan secara bersama-sama. Bahkan operasi mafia tanah tidak berhenti pada pemalsuan administrasi. Terdapat mafia tanah lanjutan yang melakukan pengubahan tata ruang hingga proyek infrastruktur.

Kehadiran mafia tanah bukan tanpa sebab. Mafia tanah hadir karena tiga alasan yaitu rendahnya pengawasan, minimnya penegakan hukum, dan tertutup. Terlebih, tanah menjadi bentuk investasi dan komoditas ekonomi yang menggiurkan. Apalagi, keberadaan tanah yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat.

Salah satu kasus mafia tanah adalah notaris fiktif pada Februari 2020. Kasus ini menyebabkan penukaran sertifikat asli dan sertifikat palsu. Mafia tanah ini memalsukan KTP, KK, dan NPWP dengan identitas palsu. Mafia tanah lainnya juga ada yang menargetkan petani. Para mafia tanah ini memprovokasi masyarakat untuk menggarap tanah secara ilegal di perkebunan HGU.

2. Modus Kerja Mafia Tanah

Kementerian ATR/BPN melaporkan, ada beragam modus kejahatan dan praktik-praktik mafia tanah, yakni:

A. Pemalsuan alat hak berupa Girik/Petuk/Kekitir/VI

B. Mencari legalitas di Pengadilan

C. Pemalsuan AJB dan Surat Kuasa Menjual

D. Membuat Sertifikat palsu dan sertifikat pengganti

F. Menghilangkan warkah;

G. Menduduki tanah secara ilegal melalui preman

H. Pemufakatan jahat dengan makelar

I. Kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas

J. Jual beli tanah sengketa di hadapan Notaris dan tidak kuasai fisik, SKGR Lurat dan Camat

K. Rekayasa penilaian/appraisal nilai tanah

L. Kuasa mutlak untuk menjual, PPJB lunas padahal kenyataannya belum lunas dan merugikan pemilik

M. Kejahatan penggelapan dan penipuan baik korporasi atau perorangan

N. Pemalsuan kuasa pengurusan hak tanah.

3. Contoh praktik mafia tanah yang terjadi : 

Dalam keterangan tertulisnya, Kementerian ATR/BPN juga merinci contoh praktik mafia tanah sebagai berikut:

A. Kepala Desa membuat Salinan girik, membuat surat keterangan tidak sengketa, membuat surat keterangan penguasaan fisik atau membuat surat keterangan tanah lebih dari satu kepada beberapa pihak untuk bidang tanah yang sama.

B. Memprovokasi masyarakat petani/penggarap untuk mengokupasi atau mengusahakan tanah secara ilegal di atas perkebunan HGU baik yang akan berakhir maupun yang masih berlaku.

C. Pemalsuan dokumen terkait tanah seperti kartu eigendom, Kikitir/Girik, Surat Keterangan Tanah, SK Redistribusi Tanah, Tanda Tangan Surat Ukur.

D. Mengubah, menggeser, atau menghilangkan patok tanda batas tanah.

E. Mengajukan permohonan sertifikat pengganti karena hilang padahal sertifikat tidak hilang dan masih dipegang oleh pemiliknya sehingga

mengakibatkan dua sertifikat di batas bidang tanah yang sama.

F. Dengan sengaja menggunakan jasa preman untuk kuasai fisik objek tanah milik orang lain yang sudah bersertifikat, memagarnya dan menggemboknya kemudian mendirikan bangunan di atasnya, dan ketika ada pengaduan dari masyarakat pemilik tanah, mereka berdalih telah menguasai fisik tanah sejak lama.

G. Menggunakan pengadilan untuk melegalkan kepemilikan apencegahan.

4. Cara Antisipasi Kejahatan Mafia Tanah

Mengantisipasi terjadinya mafia tanah, tidak bisa BPN sendiri. Harus dari pemilik tanahnya juga harus melakukan upaya-upaya pencegahan. Misalnya jika akan memberikan kuasa, pelajari dahulu dokumen surat kuasa yang dibuat. Kadang-kadang kita bicara, yang kita bicarakan belum tentu yang ditulis. Yang ditulis tidak diperiksa lagi, itu yang menyebabkan penyalahgunaan kuasa.

Jangan mudah memberikan sertifikat tanah kepada pihak lain.

PPAT harus memastikan ketika membuat akta jual beli pihak-pihak yang melakukan transaksi apakah betul-betul yang berhak atau berwenang.

PPAT harus cek KTP-nya, sesuai apa tidak dengan ini dan juga para pihak harus melakukan jual beli itu harus bersama-sama ketika membuat akta bersama-sama di hadapan PPAT, dibacakan oleh PPAT aka jual belinya.

5. Langkah pemerintah untuk mencegah mafia tanah.

Kementerian ATR/BPN terus melakukan pencegahan mafia tanah dari hulu sampai hilir, dengan berbagai program kegiatan, yaitu : 

A. Hak-hak lama diberi tenggang waktu selama lima tahun untuk dimohonkan haknya, setelahnya hanya sebagai petunjuk bukan sebagai bukti.

B. Mempercepat pendaftaran dan pensertifikatan tanah di seluruh Indonesia.

C. Redistribusi Tanah atau Reforma Agraria.

D. Mempercepat penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan.

Memperbaiki sistem administrasi SDM, promosi, demosi, hukuman disiplin dan perbaikan regulasi atau administrasi Pertanahan.

F. Penerbitan sertifikat untuk seluruh tanah BUMN/BUMD dan BMN/BMD.

G. Penyelesaian Overlaping atau sertifikat ganda.

H. Menerapkan digitalisasi warkah, dokumen, gambar ukur dan pelayanan pertanahan lainnya.

Setelah membaca secara seksama isi tulisan diatas, maka kita fahami bersama, bahwa kejahatan mafia tanah tentu tidak bisa lepas dari adanya kesempatan, dimana untuk antisipasinya bergantung pada diri kita pemilik tanah, harus ada kewaspadaam jangan terlalu percaya kepada orang lain, jangan dengan mudah menyerahkan surat sertifikat kepada orang lain, jangan dengan mudah memberikan surat kuasa, kalaupun memberikan surat kuasa harus dibaca secara seksama isi dari surat itu, jika langkah-langkah antisipasi itu telah dilakukan, maka secanggih apapun teknologinya tentu sulit untuk pengambilalihan hak atas tanah, kecuali mafia tersebut bekerjasama dengan oknum pejabat yang dengan mudah merubah data, itupun sulit karena seorang pejabat tidak akan mengorbankan karirnya demi sebuah kejahatan. Antisipasi yang paling efektif adalah, dari pemilik tanah langsung.

*Profil Penulis : Alumni STAIN (UIN KHAS) Jember, sekarang aktif di Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API), juga sebagai Biro Hukum Media berita Online Nasional Zona Post Indonesia.



AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget