Maret 2022


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Hukum pidana mengenal jenis-jenis delik atau tindak pidana yang dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, sebagaimna tersebut di bawah ini:

a). Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)

Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-pasal KUHP Indonesia yang berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran, juga tidak ada penjelasan mengenai syarat-syarat yang membedakan antara delik kejahatan dengan delik pelanggaran.Secara doktrinal apa yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang  seharusnya dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran adalah perbutan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang. Delik pelanggaran ini sering disebut sebagaib mala quia prohibiaatau delik undang-undang, artinya perbuatan itu batru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undng-undang.

b). Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)

Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.

c). Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)

Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan sementara delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.

d). Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)

 Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan maka delik itu tidak dapat dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.

e). Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)

Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik umum ini sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.

f). Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa

Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Apabila perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan delik commisionis. Suatu perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang  disbut delik ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis. Sementara delik commisionis per ommisionem commissa adalah delik yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.

g). Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja, artinya perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

h). Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran

Menurut Konfrensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan delik politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delik-delik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain bahwa delik ini seolah-olah Nampak sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.

i). Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi

Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi ancaman pidanya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Salahsatu Istilah hukum yang sudah tidak asing ditelinga masyarakat yaitu "Pembuktian Terbalik", maksud pemahaman itu memang benar, namun dalam istilah hukum bukan begitu, sama halnya dengan ucapan "perjuangan hukum" padahal yang benar adalah "upaya hukum". Lalu apa sebenarnya dalam istilah hukum dengn maksud Pembuktian Terbalik? Berikut penjelasannya : 

Tentang Istilah Pembuktian Terbalik Perlu kita ketahui bahwa istilah yang benar bukanlah “pembuktian terbalik”, akan tetapi “pembalikan beban pembuktian”. Hal ini sebagaimana dijelaskan Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (hal. 129). Menurut Akil mengutip pendapat Andi Hamzah, istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Di dalam buku tersebut lebih lanjut ditulis bahwa 

“Istilah ini (pembuktian terbalik, ed.) sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian’.”

Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.

Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Mengenai beban pembuktian, Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis:

“Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.

“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”

Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.

Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Mengenai sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:

“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.”

Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”

Selain di dalam UU Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Referensi:

1.    Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

2.    Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*


Bagian pelaksaan melaksanakan putusan pengadilan yang banyak menimbulkan keramaian karena ketidak puasan oleh pihak yang kalah, bahkan pelaksanaannya harus melibatkan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan unsur lainnya untuk pengamanan untuk antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, hal tersebut adalah Penyitaan dan Eksekusi, tugas berat bagi penegak hukum seperti Advokat dan Pihak Pengadilan dalam pelaksaan tersebut, karena harus berhadapan langsung dengan masyarakat dilapangan, kadang pihak yang kalah tidak jarang ditemukan menyewa preman untuk menolak pelaksanaan Sita dan Eksekusi. Lalu apakah yang dimaksud Sita dan Eksekusi dan bagaimana prosedur pelaksanaannya?, berikut penjelasannya: 

Pengertian Sita dan Eksekusi

Sita adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat (harta sengketa) secara paksa berada dalam penjagaan yang dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau Hakim. Sedangkan Eksekusi merupakan tindakan pengadilan  yang telah BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) secara paksa dan resmi berdasarkan perintah pengadilan, oleh karena itu tidak menawarkan putusan pengadilan secara online.

Tujuan dari Sita adalah yang pertama agar penggugat tidak Illusioir. Maksudnya agar barang tergugat (barang sengketa) tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, hibah dan sebagainya agar tidak dibebani dengan sewa atau diagunkan kepada pihak ke 3. Yang kedua yakni agar obyek eksekusi kepastian adanya setelah perkara yang disengketakan diputus oleh pengadilan .

SITA

Tahapan Pelaksanan SITA

Sebelum Persiapan Pelaksanaan SITA dan memahami Penetapan Ketua Majelis tentang obyek yang akan disita;

1. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan sita;

2. melakukan penghitungan tentang biaya proses dan biaya pelaksanaan sita, termasuk biaya pemberitahuan kepada para pihak, upah-upah, biaya sewa kendaraan, serta biaya PNBP;

berita acara pelaksanaan sita sesuai dengan jumlah obyek yang akan disita;

3. peralatan yang dapat membantu pelaksanaan pelaksanaan sita;

4. Mengadakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait jika diperkirakan obyek sita dampak bagi masyarakat;

Pelaksanaan SITA

1. Jurusita berangkat ke tempat obyek sita, pejabat kedua, pejabat kelurahan/desa, pihak keamanan dan penggugat;

2. Jurusita membacakan penetepan perintah sita di tempat obyek sita/Tergugat;

3. Penggugat wajib disebutkan secara jelas dan satu persatu terhadap barang yang akan disita;

4. Jurusita meneliti dengan seksama terhadap barang-barang yang menjadi obyek sita dan dicocokkan satu persatu jenis dan bentuk barang yang tertulis dalam penetapan sita dan keadaan barang senyatanya (SEMA no. 89/K/1018/M/1962 tanggal 25 April 1962);

5. Jurusita membacakan berita acara peletakan sita atas barang-barang yang akan menjadi obyek sita lalu menetapkan keterjaminannya kepada tersita/tergugat (ditandatangani bersama 2 orang saksi);

6. Jurusita menitipkan pengawasan terhadap barang-barang tersita tersebut kepada pejabat kelurahan/desa yang hadir agar tidak dialihkan kepada orang lain;

7. Jika obyeknya berupa barang bergerak, maka penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang patut, tetapi tetap dijaga dan dikuasai.

Setelah Pelaksanaan SITA

1. Jurusita membuat berita penyitaan acara lalu melaporkan pelaksanaannya kepada Panitera dan Ketua Majelis dengan menyaksikan berita acara sita sekaligus petugas pencatat register sita;

2. Jurusita mendaftarkan berita acara sita kepada kepolisian setempat (barang sita berupa motor), atau Badan Pertanahan Nasional setempat (barang sita berupa tanah bersertifikat), atau Kelurahan/Desa setempat (obyek sita tanah yang belum bersertifikat). pendaftaran berita acara tersebut menyebutkan hari, tanggal, jam dan tahun;

Jurusita Memerintahkan pejabat penerima pendaftaran untuk mengumumkan pengumuman sita agar diketahui umum dan pihak ke 3 (ps. 227 (3) JO.198; 199 HIR/ps.261 jo.213; 214 RBg).

EKSEKUSI

Jenis eksekusi yang lazim terjadi di pengadilan adalah eksekusi riil (ps.200 (11) HIR/218 (2) RBg - Biasanya terjadi pada sengketa harta bersama, sengketa perang agama dan sengketa hibah) dan eksekusi pembayaran uang (ps. 197 HIR/208 RBg - Biasanya terjadi dalam sengketa perkawinan dan sengketa ekonomi syariah).

Tahapan Pelaksanaan sebelum Eksekusi

1. Selum Pelaksanaan Persiapan Eksekusi

dan memahami Penetapan Ketua PA tentang perintah eksekusi terhadap barang-barang tergugat;

dan menikmati pelaksanaan putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi;

 2. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan eksekusi;

melaksanakan perhitungan tentang biaya proses dan pelaksanaan eksekusi.

3. Pelaksanaan Eksekusi

Pada prinsipnya kedua jenis eksekusi yang disebutkan di atas baru dapat dilaksanakan setelah dilampauinya waktu peringatan (Aanmaning) kepada Tergugat yang dieksekusi / Termohon eksekusi. Dan Ketua Pengadilan agama telah mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi kepada Panitera dan Jurusita.

Pelaksanaan Eksekusi Riil (Ps.1033 Rv)

1. Jurusita berangkat bersama dan 2 orang saksi menuju tempat eksekusi, menunggu kehadiran pejabat terkait, satuan keamanan, Pemohon dan Termohon eksekusi;

2. Jurusita membacakan Surat Penetapan Perintah Eksekusi;

Jurusita membuat Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi dengan menyebut secara rinci dan jelas terhadap barang-barang yang dieksekusi, meliputi jenis, bentuk, letak, batas-batas dan ukuran;

3. Jurusita Berita Acara pelaksanaan eksekusi tersebut dan 2 orang saksi pelaksanaan;

Jurusita menyerahkan barang-barang tereksekusi kepada Pemohon eksekusi;

4. Jurusita membuat Salinan Berita Acara Eksekusi sebanyak rangkap, disampaikan kepada Ketua PA sebagai laporan, kepada Pemohon dan Termohon Eksekusi, kepada petugas register eksekusi dan arsip.

Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Uang

 1. Ketua PA membuat Penetapan Perintah Peringatah (Aanmaning) kepada tergugat yang melaksanakan/termohon eksekusi, agar putusan;

 2. Jurusita meminta permintaan eksekusi dan termohon eksekusi untuk menghadiri sidang (Insidentil) Aanmaning;

 3. Jika tenggang waktu Aanmaning sangat tinggi (8 hari) sedang termohon eksekusi tidak mau melaksanakan keputusan dengan sukarela, maka Ketua PA mengeluarkan Penetapan perintah kepada Panitera / Jurusita untuk melaksanakan Sita Eksekusi (Executorial Beslag);

4. Proses pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan sebagaimana proses pelaksanaan Sita Jaminan;

5. Dalam melaksanakan harus didhulukan barang-barang bergerak. Sekiranya tidak mencukupi keputusan, maka sita eksekusi dilakukan terhadap barang tidak bergerak;

Pelaksanaan Sita eksekusi yang telah berkekuatan hukum mengikat daya Eksekutorial.

Lelang Eksekusi

Pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat. Dalam praktek Pengadilan agama lelang sering dilakukan dalam melaksanakan penghargaan tentang pembagian harta bersama atau harta warisan, bila pembagian harta/barang tidak dapat dilakukan secara "in natura".

Sesuai ps.200 (1) HIR/ps.215 (1) RBg penjualan lelang barang tersita hanya dapat dilakukan oleh Kantor Lelang Negara, menurut ps.1 angka 4 Kep. Menkeu No.:45/KMK 01/2002 kantor lelang adalah Kantor Pelayan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Dalam pelaksanaan lelang eksekusi Ketua PA sebagai penjual mengajukan permintaan kepada KP2LN. Persyaratan yang harus dipenuhi sebagai persiapan lelang eksekusi :

1. Salinan/copy putusan PA

2. Salinan/copy penetapan Aanmaning

3. Salinan/fotokopi penetapan sita

4. foto/copy berita acara pelaksanaan sita

perpustakaan/salinan utang yang harus dipenuhi oleh termohon eksekusi

dan salinan pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi.

5. salinan bukti kepemilikan tidak dikuasai, harus ada pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai dengan bukti kepemilikan dengan alasan.

Setelah kita membaca secara seksama tentang prosedur yang harus dilalui dari proses penyitaan dan eksekusi tentu memerlykan waktu yang cukup panjang, karena mengingat penerapan hukum itu tetap memperhatikan hak masing-masing demi keadilan.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila  (LBH API)*

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat.

Syarat asimilasi bagi narapidana tindak pidana umum :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana.

Syarat bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkoba, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana dengan paling singkat 9 (sembilan) bulan.

3. Telah mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bagi terpidana terorisme. Dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

4. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi terpidana tindak pidana korupsi.

Syarat asimilasi dibuktikan dengan dokumen berupa :

1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

2. bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

3. laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas

4. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas

salinan register F dari Kepala Lapas

5. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas

6. surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

7. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, atau wali, atau lembaga sosial, atau instansi pemerintah, atau instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan:

 1. Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 2. membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Asimilasi

 3. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

 4. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

 5. Bagi Narapidana warga negara asing selain memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud diatas, juga harus melengkapi dokumen :

 1. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Narapidana selama berada di wilayah Indonesia.

 2. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal.

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

 4. Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup

 5. Syarat asimilasi bagi anak:

berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir

 6. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan.

Syarat diatas dibuktikan dengan :

 1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala LPKA

 2. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.

 3. salinan register F dari Kepala LPKA

 3. salinan daftar perubahan dari Kepala LPKA

 4. surat pernyataan dari Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 5. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, Lembaga Sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan membantu dalam membimbing dan mengawasi Anak selama mengikuti program Asimilasi.

 6. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan Keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Anak selama berada di wilayah Indonesia.

 7. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget