Februari 2022

 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

1. PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).

Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.

Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.

Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:

  1. Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
  2. Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
  3. Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.

Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.

ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI

Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
  4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
  5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.

PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI

  1. Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
  2. Membayar biaya perkara.
  3. Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
  4. Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
  5. Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
  6. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
  7. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
  8. Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
  9. Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
  10. permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
  11. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)

2. DERDENT VERSET

Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata.Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan.Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut.Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut. Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi)

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum adikara pancasila indonesia (lbh api)*

Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka setidaknya penyidik telah memiliki 2  (dua) alat bukti yang syah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP ada 5 jenis alat bukti yang syah yaitu (1) keterangan saksi (2) keterangan ahli (3) surat/dokumen (4) petunjuk (5) keterangan terdakwa. Jika tindak pidana yang dipersangkakan terkait dengan tindak pidana ITE, maka ada satu jenis lagi alat bukti yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No. 19 Tahun 2016, yang menyatakan : “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Alasan Terbitnya SP3

Diterbitkannya penetapan tersangka oleh penyidik telah melalui proses penyidikan, meskipun dalam kasus tertentu yaitu tertangkap tangan maka penetapan tersangka tidak dilakukan melalui proses penyidikan. Jika mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Jadi penetapan tersangka pasti dilakukan setelah penyidik menemukan alat bukti.

Setelah seseoran ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya :

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut  ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya” 

Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga  yaitu  :

  1. Tidak cukup bukti
  2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana
  3. Demi hukum

Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat bukti yang syah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang sebagai  tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang syah.  Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar, maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat bukti yang syah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka dinyatakan tidak syah/tida tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3.

Dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan dalam penetapan tersangka, tentu  saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.  Atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik. Namun demikian SP3 dalam konteks tidak cukup bukti dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan tersangka pada diri seseorang. Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan. Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam menetapkan tersangka.

Terkait dengan tidak cukupnya alat bukti, maka dapat merujuk pada putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 Juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menyatakan alat bukti yang cukup adalah sekurang-kurangnya penyidik telah memiliki dua alat bukti yang syah menurut Pasal 184 KUHAP. Definisi saksi mengacu pada Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.

Terkait dengan alat bukti saksi, maka dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus mengacu pada asas unus testis nullus testis yaitu 1 saksi bukanlah saksi. Ketika menetapkan seseorang sebagai sebagai tersangka,   maka penyidik harus memiliki dua orang saksi. Hal ini juga diperkuat sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Namun demikian ada pengecualian untuk tindak pidana Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Dalam Pasal 55 UU PKDRT  disebutkan bahwa keterangan 1 saksi korban sudah cukup ditambah dengan alat bukti lainnya yang syah menurut KUHAP. Hal yang sama juga diatur dalam UU No. 21/2007 tentang PTPPO.

Alasan bahwa peristiwa yang dipersangkakan bukan peristiwa pidana juga menunjukkan ketidak hati-hatian atau ketidakprofesionalan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Karena ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka ada rangkaian tindakan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal  1 angka (5) KUHAP yaitu perbuatan penyelidik untuk menentukan ada atau tidaknya perisitwa yang diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana. Dengan demikian, penyelidikan ini dimaksudkan sebagai  filter, memastikan perisitiwa hukum tersebut adalah adalah tindak pidana, dan bukan perbuatan dalam kontek hukum perdata atau hukum administrasi negara atau peristiwa adat. Dengan demikian alasan menjadi kurang relevan ketika menyatakan terbitnya SP3 karena perbuatan yang dilakukan tersangka tidak masuk dalam kategori hukum pidana atau tindak pidana.

Alasan ketiga terbitinya SP3 adalah karena alasan demi hukum. Alasan demi hukum lebih rasional dibandingkan dengan dua  alasan di atas.Hal ini disebabkan  sudah masuk pada alasan yang lebih substansi juridis formil. Dalam banyak doktrin dan putusan pengadilan,  alasan demi hukm terbitnya SP3  didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem (2) tersangka meninggal dunia (3) daluarsa.

Secara singkat dapat saya jelaskan bahwa nebis in idem ini diatur dalam Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Frase “menuntut” memang otoritas jaksa, namun tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka karena jaksa sudah dipastikan tidak akan mau menunt orang tersebut jika ternyata untuk perkara yang sama pernah dituntut sebelumnya.  Karena itu, ketika penyidik menyadari bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah orang yang sama dengan perkara yang sama yang pernah dijatuhi hukuman, maka diterbitkanlah SP3.

Tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP. Dalam hal ini cukup jelas jika dijadikan pertimbangan terbitnya SP3. Karena tidak mungkin menuntut seorang mayat ke pengadilan, meskipun perbuatan sangat kejam sekalipun. Alasan ketiga adalah daluarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Tentang daluarsa ini ada empat kategori yaitu : (1) sudah lewat satu tahun untuk tindak pidana percetakan; (2) sudah lewat 6 tahun, untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda, kurungan atau penjara tidak lebih dari 3 tahun;  (4)sesudah 12 tahun, untuk tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari 3 tahun;  (4) sesudah lewat 18 tahun, untuk tindak pidana dnegan ancaman pidana mati atau seumur hidup

Praperadilan SP3

Oleh karena SP3 merupakan salah satu objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77, juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Atas terbitnya SP3, pelapor atau kuasanya dapat melakukan permohonan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Dalam mengajukan permohonan gugatan praperadilan, ada permintaan yang  ditujukan kepada hakim untuk membatalkan SP3 dan mememerintahkan untuk meneruskan penyidikan.

Dalam banyak kasus yang saya amati, terbitnya SP3 juga disebabkan karena petunjuk Jaksa Peneliti yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri  untuk proses pra penuntutan tidak bisa dipenuhi oleh penyidik. Petunjuk dari Jaksa Peneliti itu bisa diberikan beberapa kali, sehingga penyidik pun akhirnya menyelenggarakan Gelar Perkara untuk memutuskan menerbitkan SP3. Namun terbitnya SP3 tetap harus mengacu pada alasan yang diatur dalam Pasal 109 (2) KUHAP.

Permohonan praperadlan oleh Pelapor atau kuasa hukumnya harusnya melihat dan menganalisa alasan terbitnya SP3 yang dibuat oleh penyidik. Alasan  terbitnya SP3 tersebut harus menjadi fokus pemohon praperadilan. Jika alasannya karena tidak cukup bukti maka tentu pemohon mengajukan klarifikasi atau mempertanyakan kepada penyidik, status alat bukti yang sebelumnya digunakan dalam menetapan tersangka. Dengan demikian jelas, kenapa dan mengapa alat bukti tersebut dipergunakan dalam menetapkan tersangka. Artinya prinsip kehati-hatian dalam menilai alat bukti patut dipertanyakan. Selain itu, dalam menetapkan tersangka juga dilakukan gelar perkara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka Gelar Perkara tersebut juga patut dipertanyakan. Karena salah satu fungsi gelar perkara adalah untuk menetapkan status seseorang sebagai tersangka.

Jika yang menjadi alasan penyidik diterbitkannya SP3, adalah karena perbuatan yang dilakukan tersangka bukanlah tindak pidana. Hal ini juga perlu dipertanyakan tentang proses penyelidikan dan penyidikan dan gelar perkara yang dilakukan penyidik. Karena untuk menyatakan sebuah perbuatan adalah tindak pidana, maka ada proses panjang termasuk meminta klarifikasi pelapor dan terlapor.

Jika yang menjadi alasan SP3 adalah demi hukum, maka juga harus dipertanyakan jenis alasan demi hukum yang dipergunakan oleh penyidik, apakah karena nebis in idem, daluarsa atau karena tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam pasal 76-78 KUHP.

Penutup

Penyidik dalam menetapkan status seseorang sebagai tersangka, maka perlu mempertimbangkan kualitas dan kuantitas alat bukti.  Meskipun diperlukan minimal  2 alat bukti,  tidak ada salahnya di back up dengan alat bukti lainnya agar tidak ada alasan untuk terbitnya SP3 karena tidak cukup bukti.  R-KUHAP yang akan datang, sebaiknya  memasukkan ketentuan harusnya ada izin pengadilan atau melalui penetapan pengadilan terbtinya SP3. Hal ini penting agar terbitnya SP3 tidak dilandasi oleh alasan subjektif penyidik semata

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216

 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Upaya Hukum Biasa (Banding, Kasasi Dan Verzet), Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.

Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. 

UPAYA HUKUM BIASA

Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.

1. BANDING

PENGERTIAN

Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.

Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.

DASAR HUKUM

Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING

Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.

Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.

Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).

PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING

1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.

2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.

3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.

4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.

5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.

6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).

7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2. KASASI

PENGERTIAN

Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.

Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.

Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.

ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI

Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI

Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.

PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI

1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.

2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)

3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)

4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)

5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).

6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)

7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)

3. VERZET

PENGERTIAN

Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.

PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR

1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :

2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;

3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).

Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedang yang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.

Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget