Artikel Hukum

 


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Maraknya fenomena penutupan usaha dalam dunia bisnis membuat istilah pailit dan bangkrut menjadi tidak asing didengar. Akan tetapi, banyak orang yang masih menganggap bahwa pailit dan bangkrut merupakan hal yang sama, padahal kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda.

Dari segi keuangan misalnya, bangkrut berarti terdapat unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, sedangkan pailit bisa saja terjadi pada perusahaan yang keuangannya dalam keadaan baik-baik saja.

Pailit atau kepailitan berasal dari Bahasa Perancis yang berarti kemacetan pembayaran. Jadi, pailit merupakan keadaan dimana Debitur (orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan) mempunyai kesulitan untuk membayar utangnya kepada Kreditur (orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan). Pailit sendiri telah diatur melalui UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dari aturan tersebut pailit dapat dijatuhkan kepada debitor, jika:

 1. Mempunyai dua atau lebih kreditor;

 2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

 3. Dapat dijatuhkan atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Sehingga apabila sebuah perusahaan memiliki dua utang yang belum dibayar, maka perusahaan itu sudah memenuhi syarat untuk dipailitkan. Beberapa perusahaan yang mengalami kepailitan, biasanya disebabkan oleh:

 1. Tidak mampu menangkap kebutuhan konsumen

 2. Terlalu fokus pada pengembangan produk

 3. Ketakutan berlebihan

 4. Berhenti melakukan inovasi

 5. Kurang mengamati pergerakan kompetitor

 6. Harga terlalu mahal

 7. Terlilit utang

Periswita pailit yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada perusahaan Nyonya Meneer, TPI, Peti Kemas Multicon, Akira, PT Asuransi Jiwa Nusantara, dan Bali Kuta Residence.

Sementara bangkrut berasal dari Bahasa Indonesia yang artinya menderita kerugian besar hingga mengalami kejatuhan baik itu sebuah perusahaan, toko, dan sebagainya.

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Perkara Nomor 18/PUU-VI/2008, Rizal Ramli menyebut kebangkrutan karena dua sebab, yaitu:

 1. Faktor-faktor eksternal di luar kewenangan pengusaha. Sebagai contoh, kebijakan IMF menutup sejumlah bank di Indonesia yang juga mempunyai dampak pada pengusaha-pengusaha maupun buruh.

 1. Missmanagement, seperti pada tahun 1998 IMF memaksa menutup sejumlah bank di Indonesia sehingga bank-bank di Indonesia bangkrut, banyak perusahaan di Indonesia juga bangkrut.

Kebangkrutan perusahaan biasanya ditandai dengan adanya indikator manajerial dan operasional. Pertumbuhan ekonomi yang rendah juga bisa menjadi indikator yang cukup penting pada lemahnya peluang bisnis. Sebenarnya kebangkrutan bisa dicegah dengan cara:

 1. Menganalisis aliran kas untuk saat ini atau masa mendatang,

Menganalisis strategis perusahaan,

 2. Membuat struktur biaya relatif terhadap pesaingnya,

Menjaga kualitas manajemen, dan

 3. Memaksimalkan kemampuan manajemen dalam mengendalikan biaya.

Beberapa perusahaan yang mengalami bangkrut di Indonesia, diantaranya seperti Adam Air, Toshiba Indonesia, Panasonic, dan Panasonic Indonesia. Pada kasus bangkrut, perusahaan masih bisa beroprasi seperti biasa meskipun sudah ditetapkan status bangkrutnya. Namun tetap berada di bawah pengawasan pengadilan dan mendapatkan perlindungan terhadap kreditor mereka sampai kondisinya menjadi lebih baik.

Dilihat dari penjabaran tersebut maka jelas pailit atau bangkrut merupakan hal yang sangat dihindari oleh pelaku bisnis. Meskipun perbedaan pailit dan bangkrut sangat mencolok namun terdapat persamaan dalam menanghindarinya, yaitu dengan cara berikut:

 1. Mengatur keuangan

 2. Jangan terlalu tergoda melihat usaha orang lain

 3. Pisahkanlah antara uang pribadi dan uang hasil bisnis anda

 4. Ciptakan berbagai strategi yang efektif dan efisien

 5. Mengikuti pelatihan yag membahas pengetahuan lebih lanjut

Untuk memahami lebih lanjut mengenai pailit dan akibat hukum yang terjadi dalam keadaan pailit, berlanjut pada pembahasan berikutnya. 

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

PPAT melaksanakan sebagian kegiatan tersebut sebagai bukti atas perbuatan hukum atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran perubahan data yang dihasilkan oleh perbuatan hukum itu.

Perbuatan hukum yang dimaksud diatas adalah hukum yang dapat dilakukan jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (dalam perusahaan), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak, pemberian Hak Tanggungan, pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Hal tersebut didasarkan pada Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan PPAT. Adapun jenis-jenis akta tanah yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 95 Ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa:

Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah adalah:

sebuah. Akta Jual Beli;

b. Akta Tukar Menukar.

c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan;

e. Akta Pembagian Hak Bersama;

f. Akta Pemberian Hak Tanggungan;

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik.

h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216




 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Ada anggapan di dalam masyarakat umum, bahwa Sertifikat Hak Milik tanah adalah final, sudah tidak bisa diganggu gugat, sehingga bagi pihak yang merasa dirugikan sudah merasa putus harapannya  secara hukum, jika itu benar terjadi maka ketimpangan hukum akan terjadi, dan akan membuka lebar motif kejahatan dalam kepemilikan tanah, padahal dalam hukum, sebenarnya ada ruang bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk melakukan gugatan pembatalan, karena semua warga negara mendapat perlakuan sama dihadapan hukum.

Jika kepemilikan tanah dengan terbitnya sertifikat dianggap final, bagaimana jika ada kekeliruan ukur atau kesalahan administrasi,  apakah tidak bisa diubah? Tentu itu juga jadi permasalahan di masyarakat, maka ruang hukum harus ada untuk membenahi celah-celah kesalahan tersebut.

Modus mafia tanah banyak terjadi, karena minimnya pengetahuan di masyarakat, selain itu tentang prosedur dan ilmu tentang pertanahan hanya dikuasi oleh orang-orang tertentu,  oleh karena itu dalam tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman secara utuh dan singkat kepada masyarakat umum akan pentingnya faham tentang kepemilikan hak atas tanah serta solusi dalam melakukan pembenahan kekeliruan dalam sertifikat kepemilikan tanah.

Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah

Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permen Agraria/BPN 9/1999”) mendefinisikan pembatalan hak atas tanah sebagai pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkracht.

Selain karena alasan administratif, pembatalan sertifikat hak atas tanah juga dapat terjadi dalam hal ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikat itu adalah secara sah dan nyata miliknya dan hal tersebut didukung dengan adanya putusan pengadilan yang telah inkracht.

Tidak ada perbedaan antara pembatalan sertifikat hak atas tanah dengan pembatalan hak atas tanah, karena akibat dari pembatalan sertifikat hak atas tanah, maka batal pula hak atas tanah tersebut.

I. Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah
Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan

Permohonan Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Mekanisme tersebut diatur pada Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999.

Permohonan dapat dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan sertifikat itu sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999 sebagai berikut:

Pasal 106 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999
Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah:
1. Kesalahan prosedur;
2. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
3. Kesalahan subjek hak;
4. Kesalahan objek hak;
5. Kesalahan jenis hak;
6. Kesalahan perhitungan luas;
7. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
8. Data yuridis atau data data fisik tidak benar; atau
9. Kesalahan lainnya yang bersifat administratif

II. Gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara

Sertifikat tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”). Untuk membatalkan suatu KTUN, dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa terdapat jangka waktu untuk menggugat Keputusan TUN, yaitu 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU 5/1986, sebagai berikut:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

III. Pembatalan Berdasarkan Putusan Pengadilan

Pembatalan hak atas tanah juga dapat terjadi karena melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Surat keputusan pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) Permen Agraria/BPN 9/1999, diterbitkan apabila terdapat:
1. cacat hukum administratif; dan/atau
2. melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999, yang menjadi objek pembatalan hak atas tanah meliputi:
1. surat keputusan pemberian hak atas tanah.
2. sertifikat hak atas tanah.
3. surat keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.

Dari rumusan di atas, Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita dalam buku Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah menyimpulkan bahwa (hal. 27):
pembatalan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus suatu hubungan hukum antara subjek hak atas tanah dengan objek hak atas tanah;
 1. jenis/macam kegiatannya, meliputi pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah;
 2. penyebab pembatalan adalah karena cacat hukum administratif dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pemegang hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah serta karena adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian hak bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, ada 3 cara untuk melakukan pembatalan sertifikat hak atas tanah:

1. Meminta Pembatalan Kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan

Alasan pembatalan sertifikat hak atas tanah adalah karena adanya cacat hukum administratif, seperti kesalahan perhitungan dan luas tanah, sehingga menyerobot tanah lainnya, tumpang tindih hak atas tanah, kesalahan prosedural, atau perbuatan lain, seperti pemalsuan surat.

Hal ini dimohonkan secara tertulis kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Lampirkan pula berkas-berkas, berupa:
A. foto copy surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (bagi perorangan) atau fotokopi akta pendirian (bagi badan hukum);
B. foto copy surat keputusan dan/atau sertifikat;
C. berkas-berkas lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan tersebut.

 B. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”) Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut hemat kami, sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu bentuk KTUN. Yang juga perlu diperhatikan adalah batas waktu untuk menggugat ke PTUN, yaitu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

C. Gugatan Ke Pengadilan Negeri

Setiap orang yang ingin mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan dasar dan dalil-dalil yang penggugat pikirkan dan penggugat nilai merugikan, seperti contohnya, Anda menjual sebidang tanah kepada pembeli dan pembeli tersebut belum membayarkan sepenuhnya kepada Anda, namun sudah mengajukan proses balik nama sertifikat tanah.

Namun perlu Anda ingat bahwa ada masa daluwarsanya, karena permohonan pembatalan atau gugatan ke pengadilan hanya dapat diajukan maksimal 5 tahun sejak terbitnya sertifikat, sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Namun daluwarsa tidak mutlak selama bisa dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut dilakukan tidak dengan iktikad baik.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang–Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
  5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Referensi:
Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita. Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah. Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2004.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Kejahatan dan Pelanggaran

Agar mudah membedakan antara Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”) dengan Pelanggaran, sebelumnya kita perlu mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran.

Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 106) menyatakan bahwa pembagian delik atas Kejahatan dan Pelanggaran di dalam WvS Belanda 1886 dan WvS (KUHP) Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Kejahatan sering disebut sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah dipandang sebagai seharusnya dipidana, sedangkan Pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang, artinya dipandang sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang.

Lebih lanjut Andi menjelaskan bahwa mengenai jenis pidana, tidak ada perbedaaan mendasar antara Kejahatan dan Pelanggaran. Hanya pada Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara. Untuk mengetahui mana delik Kejahatan dan mana pula delik Pelanggaran, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) lebih mudah, karena jelas Kejahatan pada Buku II, sedangkan Pelanggaran pada Buku III.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 211). Ia menjelaskan bahwa pembagian dari tindak pidana menjadi Kejahatan dan Pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku II dan Buku III, melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.

Berikut kami rangkum perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran:

Kejahatan

Pelanggaran

Tindakan tersebut mengandung suatu “onrecht” sehingga orang memandang perilaku tersebut memang pantas dihukum meskipun tidak dicantumkan dalam undang-undang sebagai perbuatan terlarang oleh pembuat undang-undang.

 

Dimuat didalam Buku II KUHP Pasal 104 sampai dengan Pasal 488.

 

Contoh pencurian: (Pasal 362 KUHP), Pembunuhan (Pasal 338 KUHP), Perkosaan (Pasal 285 KUHP).

 

Orang pada umumnya baru mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dihukum yaitu setelah tindakan tersebut dinyatakan dilarang dalam undang-undang.

 

Dimuat dalam buku III KUHP Pasal 489 sampai dengan Pasal 569.

 

Contoh: mabuk di tempat umum (Pasal 492 KUHP/536 KUHP), penadahan ringan (Pasal 482 KUHP)

 

Dalam kejahatan dikenal adanya perbedaan opzet (kesengajaan) dan culpa (kealpaan).

Undang-undang tidak membuat perbedaan antara opzet (kesengajaan) dan culpa (kealpaan).

 

Keikutsertaan dan pembantuan dalam kejahatan dihukum.

 

Keikutsertaan dan pembantuan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum.

Terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan, karena itu merupakan suatu syarat bagi penuntutan.

 

Tidak terdapat ketentuan adanya suatu pengaduan sebagai syarat bagi penuntutan.

Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana.

 

Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana.

Jangka waktu daluwarsa kewenangan untuk melakukan penuntutan lebih lama dari pelanggaran.

 

Jangka waktu daluwarsa kewenangan untuk melakukan penuntutan lebih singkat yaitu 1 tahun bagi semua pelanggaran.

Kejahatan dikenal adanya pidana penjara.

Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara.


Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”)

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan (hal. 422).

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.

Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP:

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.

Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) (“Nota Kesepakatan 2012”).

Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 kali lipat dari denda.[16] Pasal-pasal yang merupakan Tipiring tersebut terdapat dalam Buku II KUHP.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyak Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan.

Jadi Tipiring merupakan tindak pidana atau kejahatan (karena diatur di Buku II KUHP) yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.

Selengkapnya mengenai Tipiring dapat Anda simak dalam artikel Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

Analisis

Jadi jelaslah bahwa perbedaan antara Tipiring dengan Pelanggaran adalah Tipiring sebagai Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP dan Pelanggaran diatur dalam Buku III KUHP.

Kemudian pada Pelanggaran tidak pernah diancamkan pidana penjara, sedangkan pada Tipiring, ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (dengan penyesuaian).

Selain itu, karena Tipiring merupakan kejahatan, maka perbedaan Tipiring dengan Pelanggaran antara lain dapat Anda lihat pada tabel di atas.

Dasar hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

4.   Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Referensi:

1.    Andi Hamzah. 2014. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

2.   Harahap, Yahya. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

3.    Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia*

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan (hal. 422).

Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.

Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP:

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”

Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) (“Nota Kesepakatan 2012”).

Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari denda.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyak Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan.

Penahanan Tindak Pidana Tipiring

Anda menanyakan masa tahanan pelaku Tipiring, jika yang Anda maksudkan adalah penahanan, perlu kami luruskan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa dalam hal tindak pidana yang dilakukannya itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.[3] Oleh karena itu, terhadap pelaku Tipiring yang ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau kurungan tidak dilakukan penahanan.

Penjelasan selengkapnya tentang penahanan dapat Anda simak dalam artikel yang berjudul Kenapa Pelaku Tindak Pidana Ringan Tidak Ditahan?.

Membuang Sampah Sebagai Tindak Pidana Ringan

Dalam Peraturan Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian RI Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) (“Perkababinkam Polri 13/2009”), disebutkan jenis-jenis pelanggaran yang merupakan pelanggaran tindak pidana ringan baik yang diatur dalam KUHP, Non KUHP dan Peraturan Daerah.

Menyorot pertanyaan Anda, larangan membuang sampah sembarangan pada dasarnya diatur dalam peraturan daerah setempat.

Sebagai contoh dapat kita temukan dalam Pasal 21 huruf b Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”) yang mengatur:

Setiap orang atau badan dilarang:

a. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyebrangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya;

b. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan;

c. membuang air besar dan kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan saluran air.

Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan di atas dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp. 100 ribu dan paling banyak Rp. 20 juta.

Melihat dari ancaman pidananya, maka membuang sampah sembarangan termasuk Tipiring.

Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Yahya (hal. 423 s.d hal. 429) menjelaskan antara lain bahwa:

a. Pelimpahan dan pemeriksaan perkara Tipiring tanpa dicampuri dan diikuti oleh penuntut umum. Penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

b. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua perkara Tipiring yang diterima pengadilan segera disidangkan pada hari itu juga. Pemeriksaan Tipiring diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir.

c.  Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan.

Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut.

d. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum;

4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

5. Peraturan Badan Pembinaan Keamanan Kepolisian RI Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring);

6. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Referensi:

Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Ditengah masyarakat persoalan tanah hingga sekarang masih saja banyak ditemukan persoalan, baik itu persoalan sengketa waris, sengketa jual beli, sengketa kepemilikan, sengketa batas dan lain sebagainya. Perlu kiranya dalam memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat melalui tulisan ini kami uraikan tentang Surat kepemilikan tanah yang sh dan Surat Riwayat Tanah.

Masyarakat awam masih berfikir bukti SPPT, Petok C adalah bukti kepemilikan tanah, bahkan tidak jarang ditemukan ditengah masyarakat, merasa telah rutin membayar pajak, lalu merasa sudah memenuhi kepemilikan tanah. Lalu sebenarnya seperti apa kepemilikan tanah yang sah menurut Undang-undang? Ini penting untuk kita, terutama yang sudah memiliki rumah pribadi untuk mengurus kepemilikan tanahnya, atau bagi yang berkeinginan membeli tanah harus betul-betul selektif dalam melihat surat kepemilikan tanah yang sah.

Dalam pengurusan surat kepemilikan tanah, maka diperlukan Surat keterangan riwayat tanah.

Surat keterangan riwayat tanah merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.

Pembuktian Hak dan Pembukuannya
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
2. Pembuktian hak dan pembukuannya;
3. Penerbitan sertifikat;
4. Penyajian data fisik dan data yuridis;
5. penyimpanan daftar umum dan dokumen

Pembuktian Hak Baru

Untuk keperluan pendaftaran hak:

a. Hak atas tanah baru dibuktikan dengan:

1) Penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;

2) Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima. hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;

b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;

c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;

d. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;

e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.

Pembuktian Hak Lama

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat:

a.   penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

b.  penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti, dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik.

Hasil penelitian alat-alat bukti dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri.

Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat, berupa:

a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834 27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

d. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau

h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.[10] Penjelasan lebih lanjut tentang pendaftaran tanah secara sistematik dan secara sporadik dapat Anda simak artikel Pendaftaran Tanah Secara Massal.

Penghapusan Persyaratan SKT/ Surat Keterangan Riwayat

Merujuk pada artikel Untuk Pensertifikatan Tanah Sudah Tidak Perlu Lagi Skt Dari Kelurahan yang dibuat oleh Irma Devita Purnamasari, kini telah terbit Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat yang intinya menyampaikan edaran kepada seluruh Kantor Pertanahan untuk menyederhanakan proses pendaftaran tanah (pensertifikatan tanah). Irma mengutip sebelumnya dalam artikel Syarat Keterangan Lurah Bakal Dihapus yang dimuat dalam laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian ATR/BPN”), yang menginformasikan bahwa salah satu syarat dalam mengurus sertifikat tanah ke Kementerian ATR/BPN adalah adanya SKT. SKT ini dikeluarkan oleh kelurahan setempat.  Persyaratan ini akan dihapus BPN karena seringkali kepengurusannya memakan waktu lama.

Dengan demikian, SKT itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP 24/1997. Namun  SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
3. Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat.

*Alamat Kantor :
Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Hukum pidana mengenal jenis-jenis delik atau tindak pidana yang dapat dibedakan menurut pembagian delik tertentu, sebagaimna tersebut di bawah ini:

a). Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)

Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-pasal KUHP Indonesia yang berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran, juga tidak ada penjelasan mengenai syarat-syarat yang membedakan antara delik kejahatan dengan delik pelanggaran.Secara doktrinal apa yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang  seharusnya dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran adalah perbutan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang. Delik pelanggaran ini sering disebut sebagaib mala quia prohibiaatau delik undang-undang, artinya perbuatan itu batru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undng-undang.

b). Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)

Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.

c). Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)

Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan sementara delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.

d). Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)

 Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan maka delik itu tidak dapat dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.

e). Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)

Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik umum ini sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.

f). Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa

Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Apabila perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan delik commisionis. Suatu perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang  disbut delik ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis. Sementara delik commisionis per ommisionem commissa adalah delik yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.

g). Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja, artinya perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

h). Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran

Menurut Konfrensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan delik politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delik-delik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain bahwa delik ini seolah-olah Nampak sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.

i). Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi

Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi ancaman pidanya.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*

Salahsatu Istilah hukum yang sudah tidak asing ditelinga masyarakat yaitu "Pembuktian Terbalik", maksud pemahaman itu memang benar, namun dalam istilah hukum bukan begitu, sama halnya dengan ucapan "perjuangan hukum" padahal yang benar adalah "upaya hukum". Lalu apa sebenarnya dalam istilah hukum dengn maksud Pembuktian Terbalik? Berikut penjelasannya : 

Tentang Istilah Pembuktian Terbalik Perlu kita ketahui bahwa istilah yang benar bukanlah “pembuktian terbalik”, akan tetapi “pembalikan beban pembuktian”. Hal ini sebagaimana dijelaskan Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (hal. 129). Menurut Akil mengutip pendapat Andi Hamzah, istilah sistem pembuktian terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Di dalam buku tersebut lebih lanjut ditulis bahwa 

“Istilah ini (pembuktian terbalik, ed.) sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian’.”

Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.

Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Mengenai beban pembuktian, Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis:

“Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.

“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”

Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.

Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Mengenai sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:

“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.”

Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”

Selain di dalam UU Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Referensi:

1.    Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

2.    Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila Indonesia (LBH API)*


Bagian pelaksaan melaksanakan putusan pengadilan yang banyak menimbulkan keramaian karena ketidak puasan oleh pihak yang kalah, bahkan pelaksanaannya harus melibatkan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan unsur lainnya untuk pengamanan untuk antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, hal tersebut adalah Penyitaan dan Eksekusi, tugas berat bagi penegak hukum seperti Advokat dan Pihak Pengadilan dalam pelaksaan tersebut, karena harus berhadapan langsung dengan masyarakat dilapangan, kadang pihak yang kalah tidak jarang ditemukan menyewa preman untuk menolak pelaksanaan Sita dan Eksekusi. Lalu apakah yang dimaksud Sita dan Eksekusi dan bagaimana prosedur pelaksanaannya?, berikut penjelasannya: 

Pengertian Sita dan Eksekusi

Sita adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat (harta sengketa) secara paksa berada dalam penjagaan yang dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau Hakim. Sedangkan Eksekusi merupakan tindakan pengadilan  yang telah BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) secara paksa dan resmi berdasarkan perintah pengadilan, oleh karena itu tidak menawarkan putusan pengadilan secara online.

Tujuan dari Sita adalah yang pertama agar penggugat tidak Illusioir. Maksudnya agar barang tergugat (barang sengketa) tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, hibah dan sebagainya agar tidak dibebani dengan sewa atau diagunkan kepada pihak ke 3. Yang kedua yakni agar obyek eksekusi kepastian adanya setelah perkara yang disengketakan diputus oleh pengadilan .

SITA

Tahapan Pelaksanan SITA

Sebelum Persiapan Pelaksanaan SITA dan memahami Penetapan Ketua Majelis tentang obyek yang akan disita;

1. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan sita;

2. melakukan penghitungan tentang biaya proses dan biaya pelaksanaan sita, termasuk biaya pemberitahuan kepada para pihak, upah-upah, biaya sewa kendaraan, serta biaya PNBP;

berita acara pelaksanaan sita sesuai dengan jumlah obyek yang akan disita;

3. peralatan yang dapat membantu pelaksanaan pelaksanaan sita;

4. Mengadakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait jika diperkirakan obyek sita dampak bagi masyarakat;

Pelaksanaan SITA

1. Jurusita berangkat ke tempat obyek sita, pejabat kedua, pejabat kelurahan/desa, pihak keamanan dan penggugat;

2. Jurusita membacakan penetepan perintah sita di tempat obyek sita/Tergugat;

3. Penggugat wajib disebutkan secara jelas dan satu persatu terhadap barang yang akan disita;

4. Jurusita meneliti dengan seksama terhadap barang-barang yang menjadi obyek sita dan dicocokkan satu persatu jenis dan bentuk barang yang tertulis dalam penetapan sita dan keadaan barang senyatanya (SEMA no. 89/K/1018/M/1962 tanggal 25 April 1962);

5. Jurusita membacakan berita acara peletakan sita atas barang-barang yang akan menjadi obyek sita lalu menetapkan keterjaminannya kepada tersita/tergugat (ditandatangani bersama 2 orang saksi);

6. Jurusita menitipkan pengawasan terhadap barang-barang tersita tersebut kepada pejabat kelurahan/desa yang hadir agar tidak dialihkan kepada orang lain;

7. Jika obyeknya berupa barang bergerak, maka penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang patut, tetapi tetap dijaga dan dikuasai.

Setelah Pelaksanaan SITA

1. Jurusita membuat berita penyitaan acara lalu melaporkan pelaksanaannya kepada Panitera dan Ketua Majelis dengan menyaksikan berita acara sita sekaligus petugas pencatat register sita;

2. Jurusita mendaftarkan berita acara sita kepada kepolisian setempat (barang sita berupa motor), atau Badan Pertanahan Nasional setempat (barang sita berupa tanah bersertifikat), atau Kelurahan/Desa setempat (obyek sita tanah yang belum bersertifikat). pendaftaran berita acara tersebut menyebutkan hari, tanggal, jam dan tahun;

Jurusita Memerintahkan pejabat penerima pendaftaran untuk mengumumkan pengumuman sita agar diketahui umum dan pihak ke 3 (ps. 227 (3) JO.198; 199 HIR/ps.261 jo.213; 214 RBg).

EKSEKUSI

Jenis eksekusi yang lazim terjadi di pengadilan adalah eksekusi riil (ps.200 (11) HIR/218 (2) RBg - Biasanya terjadi pada sengketa harta bersama, sengketa perang agama dan sengketa hibah) dan eksekusi pembayaran uang (ps. 197 HIR/208 RBg - Biasanya terjadi dalam sengketa perkawinan dan sengketa ekonomi syariah).

Tahapan Pelaksanaan sebelum Eksekusi

1. Selum Pelaksanaan Persiapan Eksekusi

dan memahami Penetapan Ketua PA tentang perintah eksekusi terhadap barang-barang tergugat;

dan menikmati pelaksanaan putusan pengadilan yang menjadi dasar eksekusi;

 2. Merencanakan dan menentukan hari dan pelaksanaan eksekusi;

melaksanakan perhitungan tentang biaya proses dan pelaksanaan eksekusi.

3. Pelaksanaan Eksekusi

Pada prinsipnya kedua jenis eksekusi yang disebutkan di atas baru dapat dilaksanakan setelah dilampauinya waktu peringatan (Aanmaning) kepada Tergugat yang dieksekusi / Termohon eksekusi. Dan Ketua Pengadilan agama telah mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi kepada Panitera dan Jurusita.

Pelaksanaan Eksekusi Riil (Ps.1033 Rv)

1. Jurusita berangkat bersama dan 2 orang saksi menuju tempat eksekusi, menunggu kehadiran pejabat terkait, satuan keamanan, Pemohon dan Termohon eksekusi;

2. Jurusita membacakan Surat Penetapan Perintah Eksekusi;

Jurusita membuat Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi dengan menyebut secara rinci dan jelas terhadap barang-barang yang dieksekusi, meliputi jenis, bentuk, letak, batas-batas dan ukuran;

3. Jurusita Berita Acara pelaksanaan eksekusi tersebut dan 2 orang saksi pelaksanaan;

Jurusita menyerahkan barang-barang tereksekusi kepada Pemohon eksekusi;

4. Jurusita membuat Salinan Berita Acara Eksekusi sebanyak rangkap, disampaikan kepada Ketua PA sebagai laporan, kepada Pemohon dan Termohon Eksekusi, kepada petugas register eksekusi dan arsip.

Pelaksanaan Eksekusi Pembayaran Uang

 1. Ketua PA membuat Penetapan Perintah Peringatah (Aanmaning) kepada tergugat yang melaksanakan/termohon eksekusi, agar putusan;

 2. Jurusita meminta permintaan eksekusi dan termohon eksekusi untuk menghadiri sidang (Insidentil) Aanmaning;

 3. Jika tenggang waktu Aanmaning sangat tinggi (8 hari) sedang termohon eksekusi tidak mau melaksanakan keputusan dengan sukarela, maka Ketua PA mengeluarkan Penetapan perintah kepada Panitera / Jurusita untuk melaksanakan Sita Eksekusi (Executorial Beslag);

4. Proses pelaksanaan sita eksekusi dilaksanakan sebagaimana proses pelaksanaan Sita Jaminan;

5. Dalam melaksanakan harus didhulukan barang-barang bergerak. Sekiranya tidak mencukupi keputusan, maka sita eksekusi dilakukan terhadap barang tidak bergerak;

Pelaksanaan Sita eksekusi yang telah berkekuatan hukum mengikat daya Eksekutorial.

Lelang Eksekusi

Pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat. Dalam praktek Pengadilan agama lelang sering dilakukan dalam melaksanakan penghargaan tentang pembagian harta bersama atau harta warisan, bila pembagian harta/barang tidak dapat dilakukan secara "in natura".

Sesuai ps.200 (1) HIR/ps.215 (1) RBg penjualan lelang barang tersita hanya dapat dilakukan oleh Kantor Lelang Negara, menurut ps.1 angka 4 Kep. Menkeu No.:45/KMK 01/2002 kantor lelang adalah Kantor Pelayan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Dalam pelaksanaan lelang eksekusi Ketua PA sebagai penjual mengajukan permintaan kepada KP2LN. Persyaratan yang harus dipenuhi sebagai persiapan lelang eksekusi :

1. Salinan/copy putusan PA

2. Salinan/copy penetapan Aanmaning

3. Salinan/fotokopi penetapan sita

4. foto/copy berita acara pelaksanaan sita

perpustakaan/salinan utang yang harus dipenuhi oleh termohon eksekusi

dan salinan pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi.

5. salinan bukti kepemilikan tidak dikuasai, harus ada pernyataan tertulis dari penjual bahwa barang-barang tersebut tidak disertai dengan bukti kepemilikan dengan alasan.

Setelah kita membaca secara seksama tentang prosedur yang harus dilalui dari proses penyitaan dan eksekusi tentu memerlykan waktu yang cukup panjang, karena mengingat penerapan hukum itu tetap memperhatikan hak masing-masing demi keadilan.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



 


Oleh : Lembaga Bantuan Hukum Adikara Pancasila  (LBH API)*

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat.

Syarat asimilasi bagi narapidana tindak pidana umum :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana.

Syarat bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkoba, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya :

1. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir.

2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana dengan paling singkat 9 (sembilan) bulan.

3. Telah mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bagi terpidana terorisme. Dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

4. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi terpidana tindak pidana korupsi.

Syarat asimilasi dibuktikan dengan dokumen berupa :

1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

2. bukti telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

3. laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas

4. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas

salinan register F dari Kepala Lapas

5. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas

6. surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

7. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, atau wali, atau lembaga sosial, atau instansi pemerintah, atau instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan:

 1. Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 2. membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Asimilasi

 3. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

 4. Bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi selain harus melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud diatas juga harus melengkapi surat keterangan telah membayar lunas denda dan/atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

 5. Bagi Narapidana warga negara asing selain memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud diatas, juga harus melengkapi dokumen :

 1. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Narapidana selama berada di wilayah Indonesia.

 2. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal.

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

 4. Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup

 5. Syarat asimilasi bagi anak:

berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir

 6. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik

telah menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan.

Syarat diatas dibuktikan dengan :

 1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan

laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala LPKA

 2. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.

 3. salinan register F dari Kepala LPKA

 3. salinan daftar perubahan dari Kepala LPKA

 4. surat pernyataan dari Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum

 5. surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, Lembaga Sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan Anak tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan membantu dalam membimbing dan mengawasi Anak selama mengikuti program Asimilasi.

 6. surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari kedutaan besar/konsulat negara dan Keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Anak selama berada di wilayah Indonesia.

 7. surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal

Bentuk-bentuk kegiatan dalam Asimilasi berupa

 1. kegiatan pendidikan

 2. latihan ketrampilan

 3. kegiatan kerja sosial

pembinaan lainnya di masyarakat

asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang dilaksanakan di lapas terbuka dengan perjanjian kerja sama

Asimilasi tidak diberikan kepada Anak yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana seumur hidup.

*Alamat Kantor :

Jl. Pelita No.mor 25, Tamansari Indah, Tamansari, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68216



AND1 Design

{facebook#https://web.facebook.com/AND1streetballer}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget